- Aktivitas usaha pertambangan nikel di hulu Sungai Waleh, Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara menjadi pangkal pencemaran aliran sungai yang terjadi di bulan Juni 2020 lalu.
- Penyebabnya fasilitas bak penampung limbah (sedimend pond) milik perusahaan PT Bakti Pertiwi Nusantara (PT BPN) yang berdekatan dengan aliran sungai bobol dan masuk ke aliran sungai.
- Warga ada yang merasakan gatal-gatal setelah mandi di sungai. Warga lalu protes dan melaporkan PT BPN, yang ditindaklanjuti oleh DPRD dan Pemda Halteng dengan pemberhentian operasi perusahaan sampai fasilitas pengolahan limbah dapat diselesaikan.
- Izin IUP pertambangan di Halteng 62 persen luas daratan kabupaten ini. Dengan meningkatnya aktivitas pertambangan di masa akan datang, resiko rusaknya ruang hidup dan bentang alam akan semakin meningkat.
Bulan Juni 2020 yang lalu menjadi saat yang tidak dapat dilupakan oleh sebagian warga Trans Waleh, Weda Utara, Kabupaten Halmahera Tengah (Halteng). Bagaimana tidak, Ake (Sungai) Waleh tempat mereka menggantungkan diri untuk mandi, mencuci dan mengambil air, seketika berubah menjadi merah kecoklatan.
Warga lalu mengaitkan pencemaran aliran tersebut dengan aktivitas pertambangan nikel yang dilakukan oleh PT Bakti Pertiwi Nusantara (BPN). Wilayah operasi perusahaan ini berada dekat hulu Sungai Waleh.
Mengacu pada ESDM Onemap, perusahaan ini mengantongi izin operasi di Halteng dengan luas wilayah operasi 1.232 hektar.
“Kalau bulan Juni lalu, warna air merah, sekarang sudah agak mendingan. Apalagi di atas [hulu sungai] ada aktivitas tambang,” jelas Dede Efendi (42), seorang warga saat dijumpai awal November lalu. Dia sudah bermukim selama 12 tahun terakhir ini sebagai transmigran di Trans Waleh.
Di permukiman ini, sekitar 200 KK Trans Waleh memanfaatkan air Sungai Waleh untuk kebutuhan harian, -yang akan meningkat selama musim kemarau. Aliran sungai ini jaraknya memang relatif dekat, hanya sekitar 50 meter dari permukiman warga.
“Kami memanfaatkan sungai ini untuk minum, mencuci, mandi, dan irigasi,” lanjut Dede.
Dede bilang, hulu Sungai Waleh sudah rusak, hutannya banyak yang telah mengalami penggundulan. Terlebih sebutnya, sejumlah perusahaan tambang terus mengeruk sumber-sumber mineral di hulu Sungai Waleh.
Baca juga: Menyoal Pengembangan Baterai Nikel bagi Lingkungan Hidup dan Sosial
Di tahun 2017, -mengutip laporan Korsup Minerba KPK, setidaknya ada 66 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang sedang ‘mengepung’ daratan Halteng. Izin operasi seluruh perusahan ini luasnya 142,964,79 hektar dan diperkirakan akan terus bertambah, seiring pembebasan lahan warga oleh perusahaan.
Jika dibandingkan dengan luas daratan Kabupaten Halteng, yang luasnya 227.683 hektar, maka 62 persen wilayah Halteng adalah area IUP tambang.
Saat ini, perusahaan pemegang izin yang sudah dan tengah bersiap melakukan operasi diantaranya PT Takindo Energi, PT Weda Bay Nickel (WBN), PT First Pasific Mining, PT Zong Hai, dan PT Bakti Pertiwi Nusantara (BPN). Proyek pembangunan smelter dan PLTU pun sedang dilakukan PT Indonesia Weda Industrial Park (IWIP).
Berdasarkan analisis data dari Forest Watch Indonesia (FWI) total deforestasi Kabupaten Halteng periode tahun 2000-2017 mencapai 48.388 hektar.
Lokasi terjadinya deforestasi ini tersebar di beberapa titik seperti area tambang seluas 16.232 hektar, area Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) seluas 3.510 hektar, dan lahan tumpah tindih seluas 8.723 hektar. Tertinggi deforestasi terjadi di lahan di luar izin seluas 19.923 hektar. Adapun luas hutan produksi yang dapat dikonversi adalah 27.280 hektar.
Untuk wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) Ake Waleh Halteng, luasnya 19.622 hektar, selama periode 2000-2017 deforestasi terjadi di area seluas 4.540 hektar.
“Warga Trans Waleh yang paling terdampak, karena kami sangat dekat dengan areal sungai.” Dede bilang beberapa kali pihak perusahaan datang mengecek air Sungai Waleh pasca kejadian.
Muara Ake Waleh disebut Dede, menjadi jalur masuk perahu nelayan asal Desa Waleh dan Trans Waeh. Sekarang saat memancing, warga kerap mengeluhkan air sungai yang keruh. Tentu saja ini berpengaruh buat tangkapan ikan mereka.
Baca juga: Orang Tobela Dalam Khawatir Perusahaan Tambang Rusak Hutan Ake Jira
Mandi di Sungai, Pulang Gatal-Gatal
Alaudin Kasim (52), bersila di teras rumahnya di Trans Waleh. Sore itu, dia menuturkan bagaimana dampak limbah perusahaan yang menjadi pusat keluhan warga.
Ketua Dusun 3 Trans Waleh itu, memiliki pengalaman langsung dampak limbah cemaran sejak awal bulan Juni 2020 lalu. Dia menceritakan pengalamannya saat hendak mandi di sungai.
“Pas turun ke air, saya melihat air sudah berwarna kemerahan. Saya putuskan tidak jadi mandi, cuci kaki saja. Begitu pulang, kaki saya langsung gatal-gatal,” sebutnya. Alaudin curiga sedimen merah di sungai, datang dari limbah perusahaan nikel.
Warga pun lalu melakukan protes kepada perusahaan PT BPN, yang ditindaklanjuti lewat kunjungan Komisi III DPRD Halteng. Hasilnya ada indikasi pencemaran di hulu, yang berlokasi di Gunung Moro-moro, Waleh, Weda Utara.
Seperti diliput oleh media lokal, maka saat menerima Komisi III di kantornya (11/06/2020), manajemen PT BPN mengaku lalai dan dan membuat lepasnya sedimentasi akibat aktivitas mining perusahaan. Meski demikian, keterangan resmi dari pihak perusahaan terkait fenomena pencemaran tersebut tidak dipublikasikan kepada publik.
Atas dasar temuan itu, DPRD berkesimpulan PT BPN telah terbukti melakukan pelanggaran aturan lingkungan hidup, sesuai laporan DPRD Halteng Nomor 170/171/DPRD-HT/2020.
Dinas Pertambangan dan ESDM Provinsi Malut melakukan tindak lanjut monitoring aktivitas tambang PT BPN di bulan Juli 2020,. Hasilnya, pencemaran sungai terjadi karena bak penampung limbah (sedimend pound) yang berdekatan dengan aliran sungai bobol sehingga ia masuk ke aliran sungai.
Hasyim Daeng Barang, Kepala Dinas Pertambangan dan ESDM, Provinsi Maluku Utara, membenarkan adanya bukti pencemaran yang dilakukan perusahaan bernomor SK: 540/KEP/253/2012 itu.
Selain areal sungai, pencemaran juga tersebar di sepanjang pesisir pantai Desa Waleh, yang lokasinya berdekatan berada di bagian hilir sungai. Bak penambung limbah perusahaan yang jebol membuat masalah limbah terkontaminasi dengan air dan merugikan warga.
Ahmad Rusydi Rasjid, Direktur Walhi Maluku Utara seperti dilansir fajarmalut.com, menyebut limbah tailing dapat menimbulkan kontaminasi tanah dan air, termasuk air bawah tanah.
Sebutnya larutan logam berat oleh air hujan yang teroksidasi udara pun dapat memperluas pada lahan cemaran.
“Pengolahan limbah akhir seperti slag nikel tergolong limbah B3 sesuai pasal 146-170 dan PP nomor 101/2014. Di daratan pulau-pulau kecil seperti di Halteng itu amat berisiko mencemari tangkapan air di sekitar areal pertambangan yang menjadi pasokan air utama bagi perkampungan di sekitar, di dalam hutan, maupun pesisir,” jelasnya seperti dikutip oleh media yang sama.
Terkait dengan pencemaran Ake Waleh, Munadi Kilkoda, Sekretaris Komisi III DPRD Halteng, menilai pihak perusahaan melakukan praktik sembrono, yang tidak dilengkapi kajian yang matang sebelum dilakukannya aktivitas penambangan.
Terlebih, tidak tersedianya sistem perencanaan tambang dan studi kelayakan yang dimiliki perusahaan sebagai ikhtiar dalam proses penambangan, dinilainya merupakan kelalaian terhadap yang berbuah mengancam lingkungan dan masyarakat.
“Apalagi beberapa sediment pond yang ada itu ternyata baru dibangun, padahal semestinya dibangun sejak tahapan konstruksi,” jelas Munadi seperti dikutip halmaherapost.com.
Atas pelanggaran itu, Pemkab Halteng lalu memberhentikan sementara proses operasi PT BPN di Weda Utara. Pernyataan pemberhentian ini dinyatakan langsung oleh Wakil Bupati Halteng, Abdurahim Odeyani.
Selama masa pemberhentian, Pemda Halteng mewajibkan 5 aturan pelaksanaan bagi PT BPN. Pelaksanaan itu antara lain memperbaiki dan memperbanyak fasilitas pengolahan limbah di areal penambangan biji nikel serta melaporkan hasilnya melalui DLH Kabupaten Halteng.
Mencermati terjadinya pencemaran aliran sungai akibat aktivitas tambang tentu membuat sebagian warga khawatir. Saat alihfungsi lahan diprediksi akan semakin meningkat di tahun mendatang, aktivitas tambang berlanjut dan deforestasi terjadi, akan berakibat pada timbulnya ancaman kerusakan lingkungan dan gangguan kehidupan masyarakat.
* Rian Hidayat Husni, penulis adalah pegiat media di Lembaga Pers Mahasiswa (lpmmantra.com), berdomisili di Ternate. Artikel ini didukung oleh Forest Watch Indonesia (FWI), Universitas Pattimura dan Mongabay Indonesia.
***
Foto utama: Ilustrasi aktivitas pertambangan nikel yang dilakukan di Sulawesi Tenggara. Foto: Ian Morse