- Berbagai kalangan dari pegiat lingkungan hidup sampai pakar menyatakan, banjir dan langsor bukan sekadar karena curah hujan tetapi dampak kerusakan lingkungan hidup, seperti hutan di hulu terus menyusut, atau DAS kritis karena beralih fungsi buat beragam peruntukan. Mereka mendesak, harus ada langkah perbaikan serius agar bencana tak terus berulang.
- Sumiati Surbakti, Direktur Eksekutif Yayasan Srikandi Lestari, mengatakan, banjir di Kota Medan dan Deli Serdang bukan hanya curah hujan tinggi, namun sudah tidak ada lagi hutan penyanggah yang mampu menahan dan menyimpan air. Deforestasi, katanya, hampir terjadi di seluruh wilayah Sumatera Utara.
- Wina Khairina, Peneliti Articula mengatakan, BPBD Kota Medan sebaiknya menggunakan pendekatan berbasis hak dengan melibatkan partisipasi masyarakat dan komunitas rentan bencana dalam menyusun desain disaster risk reduction.
- Onrizal, pakar konservasi dan ekologi hutan dari Fakultas Kehutanan, Universitas Sumatera Utara (USU) mengatakan, faktor utama penyebab banjir karena tutupan hutan berkurang. Sebagian besar DAS di Sumatera Utara dalam kondisi kritis.
Awal Desember lalu, bencana banjir dan longsor melanda beberapa kabupaten dan kota di Sumatera Utara. Di Medan, misal, banjir menyebabkan lima orang meninggal dunia, dua hilang dan belasan ribu orang terdampak. Berbagai kalangan dari pegiat lingkungan hidup sampai pakar menyatakan, banjir dan langsor bukan sekadar karena curah hujan tetapi dampak kerusakan lingkungan hidup, seperti hutan di hulu terus menyusut, atau DAS kritis karena beralih fungsi buat beragam peruntukan. Mereka mendesak, harus ada langkah perbaikan serius agar bencana tak terus berulang.
Raditya Jati, Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB mengatakan, intensitas hujan tinggi membuat Sungai Deli, Sungai Babura dan Sungai Denai, meluap. Kecamatan terdampak banjir yaitu Medan Johor, Medan Maimun, Medan Sunggal dan Medan Tuntungan.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Medan bersama tim gabungan, mengevakuasi 181 jiwa, antara lain, 67 anak-anak dan lansia 26 orang. Kerugian, 1.493 rumah, satu mesjid dan 69 hektar lahan terendam.
Dia bilang, masyarakat dapat mengakses aplikasi Info BMKG untuk mendapatkan prakiraan cuaca sampai tingkat kecamatan. Langkah ini, katanya, dapat membantu kesiapsiagaan diri dan anggota keluarga.
“Masyarakat diimbau selalu waspada terhadap potensi bahaya bencana hidrometeorologi seperti banjir, banjir bandang, tanah longsor dan angin kencang,” katanya.
Basuki Hadimuljono, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, ketika kunjungan kerja ke sejumlah lokasi banjir bandang cukup besar di Sumut
mengatakan, dengan meninggikan dasar sungai agar arus tidak terlalu deras, hingga tidak menghantam kiri kanan tebing ketika air deras datang. Target pembangunan dia taksir selesai selama tiga pekan.
“Saya diperintahkan bapak presiden untuk melihat kondisi banjir di Sumut. Ini salah satu solusi terbaik yang bisa kita lakukan untuk mencegah banjir susulan yang kemungkinan datang lagi.”
Untuk para korban yang tinggal di bantaran sungai, katanya, akan dibangun rumah susun. Masyarakat diminta pindah dari situ agar terhindar dari banjir.
Lingkungan hidup rusak
Sumiati Surbakti, Direktur Eksekutif Yayasan Srikandi Lestari, mengatakan, banjir di Kota Medan dan Deli Serdang bukan hanya curah hujan tinggi, namun sudah tidak ada lagi hutan penyanggah yang mampu menahan dan menyimpan air. Deforestasi, katanya, hampir terjadi di seluruh wilayah Sumatera Utara.
“Alih fungsi hutan dan lahan terjadi masif, baik sebagai hotel, tempat hiburan, penelantaran daerah aliran sungai, bahkan proyek strategis nasional turut menyumbang hingga terjadi banjir, ” kata Mimi, biasa Sumiati disapa.
Pembukaan lahan di Lau Simeme, katanya, juga berperan dalam kerusakan ini hingga banjir bandang tak terelakkan. Lau Simeme, dibuka untuk pembangunan bendungan beserta sarana pendukung seperti jalan dan lain-lain.
Longsor terjadi di beberapa kabupaten. Longsor menuju wilayah pariwisata di Berastagi menyebabkan jalan utama dari Medan ke Kabupaten Karo, putus total.
Yang terkena dampak, katanya, tentu rakyat. Perempuan dan anak, katanya, merupakan kelompok paling rentan dan terdampak musibah ini. Kalau tak ada upaya seriius menjaga lingkungan hidup, katanya, antara lain, dengan perbaikan proses perizinan dan mempertimbangkan luasan hutan dan wilayah resapan air, maka bencana akan berulang.
“Tinjau ulang izin terhadap perusahaan yang berpotensi merusak lingkungan menimbulkan bencana alam.”
Reantina Novaria Gurusinga, Direktur Yayasan Pijer Podi (Yapidi), mengatakan, hutan di sepanjang Jalan Letjend Jamin Ginting, Deli Serdang menuju Karo banyak rusak dan tak terjaga.
“Di pinggiran banyak pembangunan. Sebagian terlihat hutan dari pinggiran masih terjaga, ketika ke dalam banyak gundul. Setiap hujan jadi langganan longsor,” katanya.
Dia bilang, sekitar daerah aliran sungai terambah hingga tidak heran kalau kemarau sungai mengering, saat penghujan meluap. Kala air tidak tertampung, katanya, air akan dikirim ke daerah lebih rendah, seperti Medan dan sekitar.
Kabupaten Karo, katanya, jadi tempat wisata dan hotel sampai ke perbukitan-perbukitan seperti Juma Raja, Puncak 2000, Deleng Barus, Deleng Sibayak dan banyak lagi.
Wina Khairina, Peneliti Articula mengatakan, BPBD Kota Medan sebaiknya menggunakan pendekatan berbasis hak dengan melibatkan partisipasi masyarakat dan komunitas rentan bencana dalam menyusun desain disaster risk reduction. Komunitas-komunitas rentan, katanya, harus mereka libatkan dalam mengidentifikasi, menilai dan mengurangi risiko bencana serta memastikan keadilan lingkungan.
“Setidaknya, ini bisa mengurangi kerentanan sosial ekonomi terkait bencana, dan memastikan bahaya lingkungan maupun bahaya lain terhindari.”
Gerakan Masyarakat Sipil Peduli Banjir Medan, katanya, adakan pengalangan bantuan untuk meringankan penderitaan korban. Mereka beri bantuan sembako, alat tulis bagi siswa sekolah, dan lain-lain.
Ariffani, Ketua Forum Masyarakat Sipil Sumut, menyatakan, rehabilitasi harus diikuti program rekonstruksi dengan mengedepankan kepentingan terbaik bagi warga, khusus program perlindungan anak di masa pandemi COVID-19.
Gerakan masyarakat sipil peduli banjir Medan, mendesak Gubernur Sumut ambil langkah serius penyelamatan lingkungan hidup termasuk hutan. Pertama, segera relokasi korban banjir di bantaran sungai. Di sana, titik-titik banjir, antara lain, Perumahan D’Flamboyan, Tanjung Selamat, Kota Medan. Lalu, Perumahan Nusa Tiga Tanjung Selamat, Kota Medan, Desa Lalang, Deli Serdang, Gg Medeka, Kelurahan Sei Mati, Kota Medan.
Kedua, mendesak bantuan darurat dan pemulihan ekonomi bagi korban banjir. Ketiga, mendesak Pemerintah Sumut membentuk tim independen yang melibatkan gerakan masyarakat sipil peduli banjir Medan untuk investigasi penyebab banjir bandang.
Keempat, mendesak BPBD Sumut dan BPBD Medan mendorong rencana disaster risk reduction dengan melibatkan partisipasi masyarakat sipil dan kelompok rentan terdampak banjir.
Kelima, mendesak Pemerintah Provinsi Sumatera Utara untuk melaksanakan evaluasi kepada para pengembang usaha perhotelan dan tempat hiburan terkait tanggung jawab rehabilitasi dan reboisasi terhadap hutan di area izin konsesi miliknya.
“Mendesak Pemerintah Sumut mencabut izin kantor pemerintahan, perusahaan, tempat hiburan dan hotel yang berada DAS dan merusak hutan.”
Sementara itu, mengatasi banjir bandang di Kota Medan saat hujan turun pemerintah mengambil sejumlah langkah-langkah antara lain perbaikan dasar sungai dan pemadatan tanggul dengan geobag.
Onrizal, pakar konservasi dan ekologi hutan dari Fakultas Kehutanan, Universitas Sumatera Utara (USU) mengatakan, bencana banjir ini bukan kejadian pertama. Tahun lalu juga terjadi awal tahun baru.
Dia bilang, seringkali orang menganggap banjir karena hujan. “Hujan jadi salah satu faktor yang tertuduh, padahal yang namanya hujan adalah peristiwa alam,” katanya.
Kalau hanya berhenti sampai di curah hujan, seolah-olah hanya itulah penyebab banjir. Padahal, faktor utama karena tutupan hutan berkurang.
Dia sebutkan, seperti Daerah Aliran Sungan (DAS) Deli, 10 tahun lalu tutupan hutan kurang dari 5%. Sebagian besar, katanya, hutan beralih jadi lokasi industri dan daerah pertanian juga perkebunan.
Kondisi ini, tak hanya terjadi di DAS Deli. Rata-rata hampir 70% tutupan DAS di Sumatera Utara kurang dari 30%. Kalau tutupan DAS lebih 30%, katanya, hanya di DAS Batang Serangan, DAS Besitang, DAS Singkil– termasuk wilayah Sumut dan DAS Wampu.
“Hanya empat DAS itu yang tutupan hutan di atas 30%. Ini tahun 2010, sekarang mungkin lebih parah, ” kata Onrizal.
Tidak ada program pemerintah yang serius berupaya memperbaiki tutupan hutan. DAS Deli, katanya, kunci mengatasi banjir, dengan hulu di Kabupaten Karo, tengah di Deli Serdang dan hilir di Medan.
“Banjir menunjukkan ada masalah lain di belakangnya.”
Lahan terbuka telah terbangun perumahan dan industri serta lain-lain itu bukan pekerjaan alam. Yang bisa mengubah, katanya, itu manusia.
Para pengambil kebijakan yang melepas, membolehkan pembukaan lahan tutupan hutan menjadi perkebunan dan industri serta perumahan, kata Onrizal, merupakan pihak paling bertanggung jawab jawab atas kehilangan tutupan hutan ini. “Tutupan hutan tinggal 5% itu sangat mengerikan.”
Model perilaku pengambil kebijakan, saat mengabaikan Undang-undang tata ruang nomor 26 tahun 2007 minimal harus memiliki tutupan hutan 30% bukti pelanggaran nyata. Ancaman bencana bisa makin parah, katanya, kala dalam UU Cipta Kerja keharusan 30% tak ada lagi.
Di masyarakat, katanya, masih ada pikiran untuk apa menjaga hutan, karena tidak ada hasil. Padahal, katanya, akan banyak kerugian terjadi kalau bencana datang.
Pemerintah, katanya, harus serius menata kawasan yang harus terlindungi kalau salah urus maka bencana akan terus terjadi dan berulang.
Untuk mengantisipasi bencana, katanya, ada beberapa catatan Onrizal. Pertama, pemerintah harus lebih serius menata mana daerah kawasan lindung yang harus dilindungi dan harus dijalankan kalau tidak bencana menanti.
Kedua, upaya perbaikan secara signifikan harus segera dilakukan. Ketiga, daerah resapan air di Kota Medan yang jadi perumahan dan pemukiman harus dievaluasi ulang.
Keempat, kemauan rendah untuk mentaati aturan perundang-undangan. Kelima, tegakkan hukum bagi para pelaku kejahatan perusak lingkungan baik perusahaan pemegang kebijakan maupun masyarakat.
Masyarakat, kata Onrizal, bisa menggunakan hak untuk menggugat hak hidup aman dari bencana alam. Dampak ulah manusia, setiap 10 tahun sekali bencana banjir bandang besar berulang. “Ini karena upaya perbaikan tak signifikan”
Keterangan foto utama: Basuki Hadimuljono, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, meninjau lokasi banjir karena sungai-sungai di Sumatera Utara meluap. Foto: Ayat S karokaro/ Mongabay Indonesia