- Energi matahari, angin, air dan sumber energi terbarukan lain melimpah di Indonesia. Sayangnya, dalam pemanfataan, berbagai energi bersumber terbarukan lain secara keseluruhan masih terbilang kecil dibandingkan energi fosil dan batubara. Sampai 2020 ini, Indonesia masih menghadapi tantangan besar untuk melakukan transisi energi.
- Kajian lembaga kajian internasional Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menunjukkan proyek DME dari batubara akan menimbulkan kerugian US$377 juta atau sekitar Rp5 triliun per tahun. Dengan kata lain ia perlu biaya lebih banyak dari pada impor LPG.
- Greenpeace merekomendasikan Indonesia segera menghentikan pembangunan PLTU batubara dan gas baru, mendorong target 50% energi terbarukan, dan memperbaiki pasar khusus menghilangkan harga yang terkait dengan batubara bersubsidi.
- Ekonom Senior Faisal Basri mengatakan, konsumsi energi per kapita Indonesia masih rendah. Kalau terus mengandalkan energi fosil, pada 2040 Indonesia akan mengalami defisit perdagangan US$80 miliar.
Sekolah-sekolah, kantor pemerintahan sampai beberapa perusahaan mulai gunakan matahari dalam mendukung keperluan energi mereka, tetapi itu masih dalam jumlah kecil. Begitu juga energi dari air, angin, bimassa, dan lain-lain. Dalam pemanfaatan, berbagai energi bersumber terbarukan ini secara keseluruhan masih terbilang kecil dibandingkan energi fosil dan batubara. Sampai 2020 ini, Indonesia masih menghadapi tantangan besar untuk melakukan transisi energi.
Hasil koordinasi Sekretariat Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN), pusat data dan informasi dan unit teknis Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada Agustus 2020 mencatat porsi energi terbarukan dalam bauran energi baru 10,90%. Ia paling rendah dibanding minyak bumi (34,38%) dan gas (19,36%). Batubara masih dominan dengan 35,36%.
Baca juga: Mengapa Omnibus Law Untungkan Pebisnis Batubara dan Potensi Hambar Energi Terbarukan?
Djoko Siswanto, Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) mengatakan, tantangan grand strategy energi ke depan yakni permintaan energi meningkat namun kapasitas pasokan terbatas. Kondisi ini, katanya, karena produksi minyak mentah turun, dan negara harus terus mengimpor minyak mentah maupun gas.
“Sementara LPG masih impor dan infrastruktur gas dan listrik belum terintegrasi,” katanya.
Solusi mengatasi masalah produksi minyak mentah yang menurun, katanya, pemerintah akan meningkatkan produksi minyak mentah dan kapasitas kilang, mempercepat pemanfaatan energi terbarukan dengan dominasi pembangkit listrik tenaga surta (PLTS) dan bahan bakar nabati (BBN). Juga optimalisasi pemanfaatan gas bumi dan meningkatkan penggunaan kendaraan listrik.
Baca juga: Jawa Terus Bangun PLTU, Tersandera Pembangkit Batubara
Impor gas yang membebani keuangan negara akan diatasi dengan meningkatkan produksi domestik, meningkatkan pembangunan jaringan gas kota, mendorong pemanfaatan kompor listrik dan mengembangkan produksi batubara ke gas atau dymethil ether (DME), dan methanol.
Untuk pengembangan energi terbarukan, kata Djoko, akan ada penambahan pembangkit seiktar 38 gigawatt pada 2035 yang membuka peluang ekspor listrik energi terbarukan melalui ASEAN power grid atau jaringan listrik Asia Tenggara.
Energi terbarukan, katanya, akan prioritas untuk PLTS karena biaya investasi yang makin rendah. Karena itu, ada inisiasi Nusa Tenggara Timur (NTT) sebagai lumbung energi surya.
Upaya percepatan dengan implementasi Peraturan Presiden terkait harga energi terbarukan, pengembangan biomassa melalui hutan energi, limbah pertanian dan sampah kota. Juga dengan sinergi perizinan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) terkait UU Sumber Daya Air, pungutan dan retribusi air dan penyediaan lahan.
Baca juga: Pembangkit Nuklir Bukan Solusi, Belajar dari Tragedi Fukushima
Ada juga rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) skala kecil di sistem remote. Pemerintah juga sedang mengusulkan pembangunan transmisi gas melalui APBN untuk ruas Cirebon-Semarang dengan anggaran sekitar Rp3,5 triliun, dan Dumai-Sei Mangkei senilai Rp4,5 triliun.
Dukungan pembangunan transmisi listrik US$11 miliar, juga termasuk transmisi NTT ke Paiton sepanjang 923 kilometer dengan anggaran PLN dan badan usaha lain.

Lebih mahal dan rugikan pemerintah
Kajian lembaga kajian internasional Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menunjukkan proyek DME dari batubara akan menimbulkan kerugian US$377 juta atau sekitar Rp5 triliun per tahun. Dengan kata lain ia perlu biaya lebih banyak dari pada impor LPG.
“Biaya produksi DME akan dua kali lipat dari biaya impor LPG. Total biaya membangun fasilitas produksi DME Rp6,5 juta per ton atau US$470 per ton,” kata Ghee Peh, analis keuangan IEEFA yang menulis laporan ini.
Angka itu, katanya, hampir dua kali lipat dari biaya yang Indonesia keluarkan untuk mengimpor LPG yang sejauh ini paling banyak untuk kebutuhan rumah tangga.
Salah satu perusahaan yang menawarkan membangun hilirisasi ini adalah Bukit Asam (PTBA). PTBA mengusulkan proyek US$2 miliar di Sumatra Utara untuk konstruksi gasifikasi batubara menjadi DME.
Menurut IEEFA, satu hal dilupakan perencanaan ini, bahwa meskipun secara teknis ini memungkinkan namun secara ekonomi belum tentu bisa bertahan.
Pengalaman negara lain menunjukkan industri ini tak bisa dikembangkan dalam skala besar.
“Pemerintah Indonesia saat ini sudah dibebankan dengan pemulihan ekonomi nasional dan permintaan keringanan yang diajukan industri batubara. Rasanya tidak bijak apabila beban ini ditambah dengan keharusan mendukung proyek yang hanya akan menyebabkan kerugian,” katanya.
Rencana PTBA menghasilkan 1,4 juta ton DME, menggunakan 6,5 juta ton batubara per tahun. Jumlah ini untuk menggantikan 980 kiloton impor LPG.
Dengan harga LPG saat ini US$365 per ton harga DME akan dipangkas sekitar 30% menjadi US$256 per ton. IEEFA mendapatkan biaya dasar dengan menggunakan rata-rata produksi DME non-batubara pada 2016-2019 di Tiongkok, dengan harga US$300 per ton, dan rata-rata biaya produksi batubara di Indonesia US$37 per ton. Dari situlah didapatkan angka USD470 per ton untuk biaya operasi PTBA.
Proyek PTBA ini, katanya, diasumsikan berasal dari pinjaman dengan bunga 3,8% per tahun atau sekitar US$76 juta. Jadi, akan ada kerugian US$215 per ton untuk 1,4 juta ton produksi. Atau total kerugian mencapai US$301 juta. Kalau ditambah bunga pinjaman proyek, dari situlah proyek DME ini akan rugi US$377 juta per tahun.
Meskipun biaya ini kemudian diimbangi dengan penghematan dari impor LPG yang berkurang sekitar US$358 juta, proyek ini tetap akan menyebabkan kerugian bagi pemerintah Indonesia US$19 juta.
Menurut Ghee, rencana ini tentu tak lepas dari kebijakan pemerintah memberikan bebas royalti pada perusahaan yang melakukan kegiatan nilai tambah batubara atau hilirisasi sesuai UU Omnibus Law.
Kalau merujuk pada rata-rata royalti yang dibayar delapan perusahaan batubara pada 2019, untuk memperkirakan subsidi royalti yang diberikan atas rencana proyek hilirisasi PTBA, kalau perusahaan pakai 6,5 juta ton batubara per tahun, penghematan biaya royalti US$32 juta.
“Bandingkan royalti sekitar US$32 juta dengan kerugian US$377 juta?”
Kondisi ini, katanya, jadi lebih buruk, karena pembayar pajak Indonesia yang menanggung kerugian ini, juga membayar untuk energi lebih sedikit, karena DME berisi 6.900 kcal bandingkan LPG yang berisi 11.100 kcal. Dengan kata lain, memasak dengan DME akan perlu waktu lebih lama daripada pakai LPG.

Ongkos perubahan iklim
Greenpeace Indonesia juga menyoroti berbagai kebijakan energi yang seharusnya menjadi kunci mengatasi krisis iklim. Pada 2010 sektor kehutanan menjadi penyumbang emisi terbesar (47,8%) disusul sektor energi (34,9%). Pada 2030 diperkirakan sektor energi akan jadi penyumbang emisi terbesar.
Sebuah laporan Greenpeace yang terbit tahun ini “Southeast Asia Power Sector Scorecard” menganalisa dan membandingan kemajuan sektor kelistrikan negara-negara di Asia Tenggara untuk berada pada jalur 1,5 derajat celcius sesuai laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC).
Laporan ini menganalisis perkembangan delapan negara–Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Burma, Filipina, Thailand dan Vietnam—dalam membangun PLTS dan PLTB dalam program pemulihan ekonomi nasional.
Hindun Mulaika, Manager Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia menjelaskan, ada persoalan-persoalan kunci dalam kelistrikan di Asia Tenggaran. Pertama, batubara masih meracuni. Terkait dengan rencana dan konstruksi PLTU batubara terbesar kedua setelah Tiongkok dan terkait korupsi, kepentingan energi fosil dan hambatan kelembagaan.
Kedua, target energi terbarukan lemah, 23%, dibandingkan target energi terbarukan yang disebut dalam IPCC yakni 50% pada 2030.
Menurut laporan ini, kesulitan mencapai target itu karena masa operasi PLTU batubara dan gas yang menghambat pengembangan energi terbarukan.
Ketiga, pertumbuhan permintaan energi tinggi. Menurut IEA, pertumbuhan akan mencapai 60% antara 2018-2040. Karena itu, ia jadi tantangan dalam perencanaan energi, mencapai 100% elektrifikasi, pilihan biaya terendah dan 100% energi bersih.
Keempat, laporan ini menyoroti soal mitos energi terbarukan mahal, berisiko dan unbankable. Kalau melihat Vietnam, kata Hindun, mampu membangun PLTS dari 134 gigawatt menjadi 5,5 gigawatt dari 2018-2020.
“Kalau Vietnam mampu mengapa Indonesia tidak?” katanya.
Kelima, hambatan pengembangan energi matahari dan angin, lebih kepada desain pasar, pengembangan pasar dan jaringan. Hindun mencontohkan, pengembangan pasar yang baik di Thailand tidak diikuti kesiapan dan pengembangan jaringan (grid).
Keenam, risiko dari pembangkit tenaga air skala besar yang berdampak pada sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Ketujuh, ketahanan energi dan hegemoni regional yang menyoroti tren kerjasama regional dalam sektor kelistrikan.
Kedelapan, krisis COVID-19 menyebabkan penurunan permintaan energi dan peningkatan kelebihan kapasitas terutama untuk PLTU batubara, dan banyak proyek kelistrikan tertunda.
Dari laporan ini diketahui, Vietnam memiliki nilai terbaik dengan C minus, disusul Filipina, Malaysia dan Thailand dengan nilai D plus.
Indonesia, memiliki nilai terendah di Asia Tenggara dengan nilai F, di bawah Laos, Kamboja, dan Burma. Setelah dianalisa hanya Laos berada di jalur tepat dalam mencapai target 23%. Indonesia, Malaysia, dan Thailand, meski mengejar dengan best case renewable energy, dikatakan tak akan mampu mencapai target ini.
Hanya Malaysia dan Burma yang punya pengembangan energi matahari dan angin sebagai bagian dari program pemulihan dari pandemi.
Namun, PLTU batubara dan bahan bakar fosil yang sudah beroperasi dengan waktu panjang menjadi beban untuk mencapai target 1,5 derajat seperti dialami Indonesia, Malaysia dan Thailand.
Kabar baiknya, kata Hindun, kalau semua negara memulai segera pengembangan energi matahari dan angin serta mengeksklusi bahan bakar fosil di sektor kelistrikan, semua negara dapat mencapai target IPCC.
“Tapi Indonesia mustahil mencapai target tanpa perubahan sistem,” katanya.
Dengan skenario business as usual, kapasitas PLTU batubara akan meningkat sekitar dua kali lipat pada 2030. Meskipun dengan kasus best renewable energy yang ambisius, Indonesia hanya mampu memncapai 26% energi terbarukan, masih jauh dari target 50% dalam IPCC.
Padahal, katanya, Indonesia punya potensi energi matahari 200-500 gigawatt dan baru dimanfaatkan sekitar 0,02%.

Penghambat
Apa penghambatnya? “Kepentingan elit batubara yang mengganggu transisi energi dan menyebabkan kegagalan sistemik,” kata Hindun.
Selain juga kelebihan kapasitas dan subsidi untuk batubara, serta harga penetapan, kerangka kebijakan dan pengambilan kebijakan yang sifatnya ad-hoc.
Karena itu, Greenpeace merekomendasikan Indonesia segera menghentikan pembangunan PLTU batubara dan gas baru, mendorong target 50% energi terbarukan, dan memperbaiki pasar khusus menghilangkan harga yang terkait dengan batubara bersubsidi.
Negara-negara yang mereka observasi memiliki risiko penurunan produk domestik bruto (PDB) dampak krisis iklim. Tren ini diprediksi memburuk, pada 2050 akan lebih banyak negara dengan persentase penurunan PDB.
“Ketahanan iklim dan kelestarian lingkungan merupakan kekuatan ekonomi. Kelompok masyarakat miskin akan lebih terdampak,” kata Hindun.
Hal ini dibenarkan Ekonom Senior Faisal Basri. Konsumsi energi per kapita Indonesia masih rendah. Kalau terus mengandalkan energi fosil, kata Faisal, pada 2040 Indonesia akan mengalami defisit perdagangan US$80 miliar.
“Makin tidak mandiri kalau kita mengandalkan fossil fuel. Its not solution untuk memenuhi tantangan kebutuhan kita ke depan. Serevolusioner apapun eksplorasi akan sangat berat. Tak ada pilihan lain transisi energi harus dipercepat,” katanya.
Kalau tidak, kata Faisal, sederhananya Indonesia tak akan punya anggaran untuk terus membiayai energi fosil. Karena dari sisi pendapatan Indonesia mengandalkan ekspor produk dengan nilai tambah relatif rendah seperti sawit, kopi dan komoditas ekstraksi lain.
Berbeda dengan Jepang, misal, yang membeli energi untuk kebutuhan produktif dengan nilai tambah tinggi. Hingga transaksi perdagangan surplus.
Faisal juga menyoroti data pencapaian energi terbarukan versi KESDM 10,9 % dengan data BP Statistical Review of World Energy Vision yang menyatakan, bauran energi di Indonesia baru 4,4%.
Mengutip majalah Economist, Faisal mengatakan, saat ini banyak PLTU batubara di dunia yang dipensiunkan dini. Hal ini tak lain guna menciptakan dunia jauh dari kemungkinan bencana dampak krisis iklim.
Di Indonesia, justru target produksi batubara sampai 500 juta ton. “Karena kepentingan oligarki ini mengcengkeram. They don’t create value. Yang mereka lakukan adalah value extraction. Tak perlu otak, perlunya otot, dukungan partai dan penguasa.”
Padahal, sisi lain, sudah terbukti industri energi terbarukan menciptakan lapangan kerja.
“Bukan dengan Omnibus Law tapi dengan new economy. Transisi energi ini bukan ancaman buat para pekerja. Kalau bengkel motor berkurang, akan muncul bengkel sepeda motor listrik., solar panel,” katanya.
Pemerintah harus mempertimbangkan tren negara lain seperti Jepang yang akan melarang mobil dengan bahan bakar bensin pada 2030 dan menginstall 30% energi terbarukan tahun depan.
Perusahaan otomotif besar seperti Marcedes akan beralih ke kendaraan listrik. BMW juga akan melarang penggunaan bahan bakar fosil pada produknya. Malaysia, sudah tak menjual bahan bakar dengan oktan rendah, bahkan harga Pertamax plus di Malaysia lebih murah dari pada premium di Indonesia.
“Saatnya putting people at the center. Ini adalah kunci untuk pembangunan berkelanjutan.”
Keterangan foto utama: Instalasi energi surya. Foto: Ahmad Supardi/ Mongabay Indonesia