- Margaretha Mala, perempuan Dayak Iban dari Kalimantan Barat ini menggagas kegiatan Srikandi Pelestari Tradisi dan Konservasi. Mala jadi pembimbing bagi kelompok Ibu-ibu yang ingin belajar menemun di Dusun Sadap, Desa Menua, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Tenunan dengan pewarna alami.
- Mala bikin kebun etnobotani seluas tiga hektar di Dusun Sadap. Ada sekitar 160 tanaman dengan berbagai jenis pewarna alami seperti engkerebai, leban, durian, daun salam, randu, ulin rambutan hingga pepaya dan lain-lain. Di lokasi lain, Mala dan warga dusun menggagas demonstration plot (demplot) untuk membudidayakan rengat padi dan rengat akar juga bahan pewarna alami.
- Ketertarikan Mala terhadap tenun sejak berusia 10 tahun. Kala itu, Mala melihat bagaimana tangan ibu dan neneknya asyik menghasilkan kain khas ini. Dari situlah, Mala bertekad mempelajari kerajinan ini hingga menguasai tenun sejak usia 15 tahun.
- Pada penghujung November lalu, Mala mendapatkan Kehati Award 2020 untuk kategori Tunas Kehati (Generasi Muda). Ini sebuah penghargaan bagi para pegiat lingkungan hidup yang karyanya dianggap penting dalam kelestarian keragaman hayati. Mala mengalahkan 153 calon lain berasal dari 29 provinsi.
Namanya, Margaretha Mala. Sosok ini gigih berupaya melestarikan menjaga tradisi tenun Dayak Iban sekaligus menjaga tanaman-tanaman pewarna alaminya.
Perempuan Dayak Iban dari Kalimantan Barat ini menggagas kegiatan Srikandi Pelestari Tradisi dan Konservasi. Dalam bahasa aslinya, kegiatan ini bernama “Dara Labu Anya Ngemata Ka Pengawa Ari Aki-Inek Bansa Iban Ngan Ngenanka Menua.” Mala jadi pembimbing bagi kelompok Ibu-ibu yang ingin belajar menemun di Dusun Sadap, Desa Menua, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.
Baca juga: Rubama dan Semangat Perempuan Penjaga Hutan Aceh
Mala bilang, menenun ini jadi satu upaya melestarikan tradisi turun temurun yang mulai jarang. Bagi dia, kepedulian kaum muda penting guna memberikan inovasi baru baik dari unsur motif hingga warna. Mala pun dipercaya Ibu-ibu di dusunnya untuk jadi pembina.
“Jadi, saya kasih variasi, kalau dulu tenun hanya garis satu, ketika sudah ikut pelatihan di sini, saya coba ubah motif dan kualitas juga,” katanya kepada Mongabay, baru-baru ini.
Sejak berdiri 2018, kegiatan ini sudah menggaet 28 perempuan Dusun Sadap jadi perajin tenun. Sebagian hasilnya, dijual dengan penghasilan mencapai lebih Rp50 juta selama dua tahun.
“Setiap hasil tenun itu pasti terjual dan bisa bantu ekonomi ibu-ibu di sana,” kata Mala.
Sejak kecil
Ketertarikan Mala terhadap tenun sejak berusia 10 tahun. Kala itu, Mala melihat bagaimana tangan ibu dan neneknya asyik menghasilkan kain khas ini. Dari situlah, Mala bertekad mempelajari kerajinan ini hingga menguasai tenun sejak usia 15 tahun.
Sejak itu, Mala rajin bikin kain tenun. Selama ini, hasil tenunan Mala simpan untuk kegiatan ritual dan budaya Dayak Iban.
Siapa sangka, kreativitas Mala ini justru menarik minat ibu-ibu di dusun yang secara tidak sengaja melihat galeri hasil tenun Mala saat bertandang ke rumahnya.
Dia diminta mengajari mereka. Mala tidak menolak. “Saya justru bersyukur bisa mewarisi kebudayaan dari nenek moyang, pendahulu saya. Melestarikan sesuatu yang sudah ada itu sangat penting,” katanya.
Mala menamakan kelompok ini Endo Segadok. Rupanya kegiatan sama juga ada di dua dusun lain di Desa Menua, hanya kelompok dari desa lain ini sering mempercayakan pemasaran pada Mala di Dusun Sadap.
Harga tenun bervariasi, mulai syal Rp75.000 hingga kain panjang lebih Rp1 juta. “Tergantung ukuran, motif atau warna yang seperti apa, kita kan menyesuaikan pesanan dan harga,” katanya.
Budaya dan pewarna alami
Sejak usia 10 tahun perempuan yang kini berusia 25 tahun ini tidak hanya belajar menenun, juga filosofi di balik kerajinan itu. Setidaknya, kata Mala, perlu ritual dalam setiap tenun yang hendak dibuat. Ada semacam sesajian harus disiapkan sebelum menenun.
“Ada ritualnya, tergantung motif. Kalau tidak ritual kami bisa mengalami mimpi buruk.”
Lewat tenun ini dia katakan bukan hal sembarangan. Sejak zaman dahulu, tenun mereka pakai untuk kegiatan-kegiatan ritual Dayak Iban.
“Jadi, ketika ada anak muda seperti saya yang promosikan kain tenun ini ke luar, tidak sedikit yang tertarik dan memesan dari kami,” katanya.
Yang jadikan kain tenun Maya berbeda adalah pewarnaan yang menggunakan bahan alami. Untuk urusan satu ini, Mala pakai warna alami dari tumbuhan, seperti rengat, engkerebai hingga mengkudu.
Kebun tanaman pewarna alami
Pengetahuan akan pewarna alami dari tanaman ini merupakan tradisi turun menurun leluhur. Bagi Maya, menggeluti tenun berarti harus tahu tentang pewarna alami ini.
“Ini sudah kebudayaan khas sini, maka aku punya kebun pribadi yang isinya tanaman-tanaman ini,” kata Mala.
Mala pun bikin kebun etnobotani seluas tiga hektar di Dusun Sadap. Di sini, ada sekitar 160 tanaman dengan berbagai jenis pewarna alami seperti engkerebai, leban, durian, daun salam, randu, ulin, rambutan hingga pepaya dan lain-lain.
Di lokasi lain, Mala dan warga dusun menggagas demonstration plot (demplot) untuk membudidayakan rengat padi dan rengat akar juga bahan pewarna alami. Demplot ini berukuran satu hektar dan kerjasama dengan Forclime, sebuah program iklim hasil kerjasama pemerintah Indonesia dan Jerman.
“Saya sangat bersyukur memiliki alam ini, lingkungan dan tumbuhan di sekitar saya ini bisa dilestarikan dan dimanfaatkan untuk menambah penghasilan,” katanya.
Sulit ajak kaum muda
Apa yang dilakukan Mala bukan tanpa hambatan. Meskipun bukan halangan langsung, tetapi keterlibatan anak muda minim di kelompok penenun ini merupakan hal yang mengganjal bagi Mala.
Menurut dia, mengajak generasi muda seperti hal sulit. Mala masih bergumul dengan ini. Padahal, kalau mereka bisa meluangkan waktu ikut menenun di kala senggang, bisa mendapatkan penghasilan dari kain tenun untuk menambah biaya sekolah.
“Yang paling penting adalah mereka, anak muda, ikut melestarikan budaya yang sudah turun temurun ini,” kata Mala.
Tidak sedikit, katanya, remaja dan anak muda Iban sudah kurang tradisi menenun ini. Padahal, katanya, melestarikan suatu kebudayaan adalah hal penting dilakukan generasi muda.
Mala mempercayakan penjualan tenun ini kepada Myra Widiono, Ketua Warna Alam Indonesia (Warlami) yang merupakan perkumpulan para perajin, pelaku kriya tekstil, akademisi dan pemerhati tekstil.
Dari sini, hasil tenun dijual ke luar dusun menggunakan segala macam saluran iklan, termasuk internet.
“Setiap hasil yang dikerjakan ini pasti terjual dan bisa bantu ekonomi para ibu-ibu ini,” kata Mala.
Kehati Award
Aksi Mala ini merupakan hal luar biasa. Tak pelak, dia pun mendapatkan Kehati Award 2020 untuk kategori Tunas Kehati (Generasi Muda) yang diumumkan 27 November lalu. Ini sebuah penghargaan bagi para pegiat lingkungan hidup yang karyanya dianggap penting dalam kelestarian keragaman hayati. Mala mengalahkan 153 calon lain berasal dari 29 provinsi.
Bagi Mala, penghargaan ini bukanlah akhir dari apa yang sudah dia kerjakan buat Dayak Iban dan alam. Setelah ini, dia berniat membuat galeri hasil tenun dan menata kembali tanaman-tanaman pewarna alami yang sudah tua.
“Yang paling penting, membuat kelompok khusus yang seusia saya.”