- Empat perusahaan sawit anggota Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) di Kalimantan Tengah, terindikasi melanggar komitmen restorasi gambut.
- Tri K Atmaja, project leader pemantauan ini menyebut, keempat kebun perusahaan ini berada di areal gambut, dekat sungai dan dekat kubah gambut.
- Empat perusahaan tetap dimonitor karena konsesi berada di satu lokasi prioritas untuk restorasi gambut, yaitu Kawasan Hidrologi Gambut Sungai Pukun-Sungai Mentaya dan Sungai Pukun-Sungai Kelua Besar. Di areal KHG itu juga terbakar pada musim kemarau 2015 dan 2019.
- Harapan mereka dari hasil kajian ini jadi masukan bagi pemerintah untuk mengevaluasi perizinan di Kalteng. Dari evaluasi itu, ketika berada dalam gambut dalam, ciutkan izin untuk restorasi atau pemulihan gambut.
Setidaknya empat perusahaan sawit anggota Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) di Kalimantan Tengah, terindikasi melanggar komitmen restorasi gambut. Indikasi itu telihat dalam temuan monitoring Walhi Kalteng, Pantau Gambut, World Resource International (WRI) Indonesia dan Save Our Borneo, di Kotawaringin Timur dan Seruyan, tahun ini.
Keempat perusahaan itu adalah PT Gawi Behandep Sawit Mekar (GBSM), PT Sarana Titian Permata (STP), dan PT Rimba Harapan Sakti (RHS) yang berlokasi di Kabupaten Seruyan. Satu perusahaan lagi, PT Maju Aneka Sawit di Kabupaten Kotawaringin Timur. GBSM merupakan bagian dari Triputra Group. STP dan RHS merupakan anak perusahaan Grup Wilmar dan MAS bagian dari Grup Musimas.
“Keempat perusahaan ini anggota RSPO yang seharusnya tunduk di bawah prinsip-prinsip RSPO, termasuk mengenai komitmen restorasi dan perlindungan lahan gambut. Fakta lapangan justru kebalikannya,” kata Dimas Novian Hartono, Direktur Walhi Kalteng, juga Koordinator Simpul Jaringan Pantau Gambut di Bumi Tambun Bungai itu dalam temu media daring 15 Desember lalu.
Walhi Kalteng, katanya, mengonfirmasi lokasi perusahaan yang terbakar pada 2015 dan 2019. Tim juga menemukan bukti, perusahaan membuka dan menanam di areal yang melampaui batasan kedalaman gambut.
Bekas karhutla
Tri K Atmaja, project leader pemantauan ini menyebut, keempat kebun perusahaan ini berada di areal gambut, dekat sungai dan dekat kubah gambut. Dia mengatakan, salah satu perusahaan pernah jadi tersangka kebakaran hutan dan lahan pada 2019. GBSM, katanya, pernah jadi tersangka oleh Polda Kalteng terkait kebakaran lahan.
Berdasarkan data kebakaran 2015 dan 2019, tim menemukan bukti bekas api itu ada di sana. “Tim mendatangi titik bekas kebakaran dan menemukan tanda-tanda bekas terbakar. Seperti sawit yang gosong, bekas tumbuhan terbakar, dan sawit-sawit itu tidak tumbuh sesuai titik-titik tumbuhnya. Jadi (jaraknya) jarang.”
Artinya, kata Tri, lahan yang terbakar ini sudah tidak dibuka lagi oleh GBSM tetapi bekas kebakaran masih terlihat jelas.
Tri bilang, konsesi perusahaan itu juga kawasan gambut dalam. Dia menguji kedalaman gambut dengan metode pengeboran. “Dalam pengeboran itu ditemukan lahan masih berupa gambut berjenis fibrik sedalam lima meter,” katanya.
“Gambut sedalam lima meter ini masih ditanami, dikelola, dipungut hasilnya.”
Fakta itu, katanya, melanggar fungsi ekologis gambut lindung karena seharusnya jadi kawasan konservasi, tetapi malah ditanami. Temuan tim di konsesi GBSM rata-rata gambut yang tak direstorasi pada kedalaman dua sampai empat meter.
Tanpa sekat kanal
Hal serupa juga ditemukan pada dua anak perusahaan Wilmar Group, STP dan RHS. Di STP, tim menemukan sumur bor di atas kebun yang sudah ditanami sawit di area nilai konservasi tinggi (NKT).
“Padahal berdasarkan peta arahan kegiatan restorasi oleh Badan Restorasi Gambut, ini (harusnya) dibangun sekat kanal, bukan sumur bor, sebagai salah satu langkah restorasi ekosistem gambut.”
Areal gambut di STP diketahui pada kedalaman sekitar 4,5 meter dan tak ada sekat kanal. Menurut Tri, yang ada kanal yang bisa menyebabkan gambut cepat mengalami kekeringan.
“Sama dengan RHS. Pada titik-titik yang seharusnya dibangun sekat kanal, tidak satu pun dibuat. Malahan ada kanal yang ditimbun untuk jalur panen.”
Di konsesi RHS, katanya, mereka lakukan tiga titik uji pengeboran. Dari sana diketahui kedalaman 2,2 meter dengan jenis gambut saprik, yang sudah matang. “Gambut ini juga ditanami sawit. Namun karena ditanam di atas lahan gambut, sawit yang ditanam ini agak kerdil dan miring. Hampir tumbang sebagian. Sawit ini ditanam sekitar 2013.”
Di MAS, Tri menyebut banyak sekat kanal dalam keadaan rusak. Ada pula ditemukan sekat kanal dibuat seadanya. “Dibuat dengan karung-karung berisi pasir, hanya ditahan kayu-kayu kecil.”
Juga ditemukan penanaman sawit dengan metode yang disebut ‘tapak timbun’. Tapak timbun, kata Tri, biasa dilakukan perusahaan ketika menanam sawit pada media lahan gambut dalam.
Mereka menimbun tanaman sawit dengan tanah agar dapat tumbuh. “Ini menunjukkan MAS telah melakukan penanaman di atas lahan gambut.”
Adapun dari pengeboran di empat titik konsesi MAS, mereka mendapati kesimpulan fungsi ekologis gambut pada kategori lindung, dengan kedalaman setengah meter, tiga meter, empat, hingga 4,10 meter.
Pada titik pengeboran itu, juga sudah ditanami sawit. “Bisa dipastikan MAS melakukan pelanggaran dengan tidak merestorasi fungsi ekologis gambut. Malah merusak dengan penanaman sawit di atasnya.”
“Hal ini bertolak belakang dengan penghargaan yang diraih MAS yaitu penghargaan program penilaian peringkat kinerja perusahaan dalam pengelolaan lingkungan hidup atau Proper 2019 dengan peringkat Hijau.”
Bukan pemain baru
Empat perusahaan itu bukan pemain baru dalam industri perkebunan sawit di Kalteng. GBSM, kata Tri, sudah memperoleh hak guna usaha (HGU) sekitar 2007-2008. “Sawitnya sudah tinggi-tinggi. Sebagian wilayah dalam peta gambut itu juga di lapangan sudah tidak lagi jadi gambut karena sudah lama dikelola, dan ditimbun.”
Dimas menambahkan, GBSM memperoleh arahan lokasi pada 2004. Izin lokasi dan usaha perkebunan (IUP) pada 2006. “GBSM juga memiliki izin pelepasan kawasan hutan di tahun sama 2006 dan HGU tahun 2008.”
GBSM pada September 2019, pernah ditetapkan sebagai tersangka kebakaran hutan dan lahan oleh polisi. Ketika itu mereka menyanggah tuduhan sebagai pelaku karhutla dengan menyebut api berasal dari luar konsesi perusahaan.
Sedangkan RHS disebut memperoleh arahan lokasi pada 2004, izin lokasi 2007, IUP 2015, pelepasan kawasan hutan 2005, dan HGU 2011. “Ini menarik, IUP 2015, atau mungkin salah ketik dari pendataan. Karena data yang kami miliki data dari Dinas Perkebunan Kalimantan Tengah.”
Adapun arahan lokasi STP terbit pada 2004 dan izin lokasi 2004. MAS, katanya, mendapat arahan lokasi pada 2004 dan 2005, izin lokasi 2005, IUP 2006 dan 2014. “Pelepasan kawasan hutan belum ada. Bisa jadi karena lokasi ada di area penggunaan lain. Sudah memiiki HGU pada 2007-2008.”
Meski begitu, menurut Dimas, empat perusahaan ini tetap dimonitor karena konsesi berada di satu lokasi prioritas untuk restorasi gambut, yaitu Kawasan Hidrologi Gambut Sungai Pukun-Sungai Mentaya dan Sungai Pukun-Sungai Kelua Besar. Di areal KHG itu juga terbakar pada musim kemarau 2015 dan 2019.
“Keinginan kita sebagai CSO (civil society organisation) adalah bagaimana mengevaluasi izin-izin itu. Dari evaluasi itu, ketika berada dalam gambut dalam, diciutkan izin untuk restorasi atau perbaikan gambut.”
Dari hasil kajian ini, katanya, bisa jadi masukan bagi pemerintah untuk bisa mengevaluasi perizinan di Kalteng.
Apa kata perusahaan?
Teuku Kanna, Senior Manager PT Maju Aneka Sawit (MAS), menyangkal temuan Walhi itu. “Sebagai perusahaan yang menjunjung tinggi prinsip keberlanjutan, tuduhan sebagaimana yang disampaikan dalam artikel (siaran pers) Walhi Kalteng itu tidaklah benar,” tulis Kanna, melalui Whatsapp, Kamis (17/12/20).
MAS, katanya, tetap berkomitmen menerapkan prinsip keberlanjutan mengikuti standar RSPO, Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), International Sustainability and Carbon Certification (ISCC) dan Palm Oil Innovation Group (POIG).
Kata Kanna, sejak 2009, MAS telah menjalani assessment HCV (High Conservation Value). Pada 2017, MAS juga sudah menjalankan HCV re-assessment dan HCS assessment yang terintegrasi dan telah melalui proses HCVRN dengan status satisfactory dan complete pada 2018.
Adapun Wilmar yang membawahi STP dan RHS, secara tertulis pada Mongabay Jumat (18/12/20) menyatakan, Walhi Kalteng belum memberi rincian dan bukti tuduhan.
“Pemeriksaan di lapangan, pendekatan berbasis sains, dan analisis ahli penting dalam menentukan lahan dan dampak kegiatan, untuk mendukung setiap tuduhan.”
“ Seperti yang kami lakukan, Wilmar menyambut pemangku kepentingan seperti Walhi untuk melibatkan kami dengan cara yang lebih konstruktif, untuk berbagi perhatian, membantu kami mengidentifikasi potensi risiko, dan mengembangkan solusi,” kata Ravin Tranpshah, Sustainability Communications Wilmar.
Menurut Ravin, mereka sejalan dengan komitmen NDPE ((no deforestation, no peat, no exploitation). RHS dan STP, katanya, telah menerapkan praktik pengelolaan terbaik di wilayah yang terdapat gambut, seperti memasang bendung atau sekat kanal untuk menjaga ketinggian air di gambut.
“Adapun pembangunan sumur bor yang dilaporkan Walhi, menjadi bagian dari upaya mitigasi hanya untuk pengelolaan kebakaran agar sumber air tersedia pada area rawan kebakaran, terutama pada musim kemarau.”
Penentuan titik dalam pembuatan sumur bor ini, katanya, juga melalui kajian mendalam, dari segi ekologi, maupun drainase di sekitar area sumur bor.
“Kami melanjutkan pendekatan berbasis sains dengan bimbingan dari para ahli gambut, termasuk Dr Param yang studi gambut semi detail di RHS dan STP. Menjadi perkebunan bersertifikat RSPO juga berarti auditor eksternal terakreditasi yang diakui oleh RSPO menilai operasi kami berdasarkan Prinsip & Kriteria (P&C) RSPO untuk memastikan kepatuhan berkelanjutan kami.”
Sementara GBSM, belum mau banyak komentar. Rudy Prasetya, Manager Sustainability Triputra Group, induk perusahaan GBSM mengatakan, masih menunggu laporan kajian Walhi Kalteng itu. “Supaya kami memahami dengan lebih baik indikasi yang dimaksud dalam unggahan di website Walhi Kalteng,” tulisnya melalui pesan Whatsapp, Rabu (16/12/20).
Rudy bilang, mereka bersurat kepada Walhi Kalteng untuk mendiskusikan masalah ini. “Spirit dan komitmen yang sama untuk perlindungan lingkungan baik dari Walhi, Mongabay maupun dari kami Gawi Bahandep Sawit Mekar.”
Tiur Rumondang, Direktur RSPO Indonesia, melalui email mengatakan, akan menanggapi laporan Walhi ini pekan depan. “Kami mungkin baru bisa memberikan tanggapan sekitar awal atau pertengahan minggu depan, karena beberapa orang kunci yang terkait hal ini sudah masuk dalam masa cuti,” tulis Tiur.
Keterangan foto utama: Ilustrasi. Sawit terindikasi dihasilkan dari gambut-gambut dalam. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia