- Polisi Daerah [Polda] Bengkulu menangkap tiga pelaku pedagang organ dan kulit harimau sumatera [Panthera tigris sumatrae] yang beroperasi di wilayah Bengkulu dan sekitar.
- Tiga pelaku itu ditangkap pada Senin [21/12/2020], di Desa Sulau wangi, Kecamatan Sulau, Kabupaten Bengkulu Selatan.
- Dari tangan para pelaku, disita tulang belulang harimau. Bahkan, ada juga kulit harimau yang masih utuh.
- Berdasarkan catatan Lingkar Institute, 2020 adalah tahun sepi penangkapan para pemburu dan pelaku perdagangan satwa liar. Salah satu alasannya, karena pandemi corona [COVID-19].
Penghujung tahun ini, Kepolisian Daerah [Polda] Bengkulu menangkap tiga pelaku yang memperdagangkan organ dan kulit harimau sumatera [Panthera tigris sumatrae], wilayah Bengkulu dan sekitar.
Tiga orang itu adalah, BB, SOH, warga Desa Tanjung Ganti, Kecamatan Padang Guci, Kabupaten Kaur, dan seorang calo berinisial SB, warga Desa Rantau Panjang, Semidang Alas, Kabupaten Seluma.
“Tim kami menangkap mereka, Senin [21/12/2020] sekitar pukul 23.15 WIB,” terang Kepala Bidang Humas Polda Bengkulu, Kombes Pol Sudarno, kepada Mongabay Indonesia, Ahad [27/12/2020].
Ketika itu, kata Sudarno, para pelaku sedang mengendarai sepeda motor matik, di Jalan Raya Bengkulu – Manna.
Tepat di Desa Sulau wangi, Kecamatan Sulau, Kabupaten Bengkulu Selatan, polisi segera menyergap.
“Saat mereka lewat, dengan ciri-ciri tepat seperti yang dicurigai sebelumnya, tim Subdit Tindak Pidana Tertentu (Tipidter) Direktorat Reskrimsus Polda Bengkulu langsung menangkap, pelaku tidak melakukan perlawanan,” lanjut dia.
Baca: Leher Kena Jerat Pemburu, Harimau Sumatera Ditemukan Mati di Bengkulu
Menurut Sudarno, penangkapan tengah malam itu berawal dari informasi masyarakat yang melaporkan, ada orang yang membawa organ dan juga kulit harimau sumatera.
Mendapatkan laporan tersebut, Personil Subdit Tipidter Dit Reskrimsus Polda Bengkulu bekerja sama dengan Polisi Hutan [Polhut] Resor Mukomuko dan Bengkulu Utara, Taman Nasional Kerinci Seblat [TNKS], melakukan pengintaian di lokasi yang dicurigai.
“Tim gabungan sudah mengawasi dari hari sebelumnya, namun baru Senin [21/12/2020] tim mendapati 3 pelaku membawa 2 karung yang sangat mencurigakan.”
“Ketika diperiksa, masing-masing karung berisikan tulang belulang harimau. Ada juga kulit harimau utuh,” tutur Sudarno.
Dua karung itu disita polisi sebagai barang bukti, bersama 1 unit sepeda motor yang mereka kendarai.
Informasi yang diterima polisi dari tersangka, kulit dan tulang belulang [satu ekor harimau] tersebut akan dijual seharga Rp110 juta ke warga Bengkulu.
“Ketiga tersangka dijerat Pasal 40 ayat 2 Jo pasal 21 ayat 2 huruf b Undang Undang No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Ancaman pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak seratus juta Rupiah.”
Baca: Membusuk Akibat Jerat Pemburu, Kaki Harimau Sumatera Ini Diamputasi
Polda diminta kembangkan kasus
Penangkapan pelaku perdagangan satwa liar oleh Polda Bengkulu diapresiasi sejumlah pegiat lingkungan.
Namun begitu, Direktur Lingkar Institute, Iswadi menekankan agar polisi tidak langsung puas dengan tiga pelaku saja.
“Mereka sudah lama dipantau. Mereka bagian jaringan perdagangan satwa liar antar-provinsi, maka harus ada pengembangan kasus sampai ke akarnya,” katanya.
Apalagi, lanjut Iswadi, informasi yang didapat saat ini, ketiga pelaku sudah sering melakukan perburuan di berbagai hutan lindung di Bengkulu. Lokasinya, mulai di Tanaman Nasional Bukit Barisan Selatan [TNBBS] dan sekitar, Taman Nasional Kerinci Seblat [TNKS] dan sekitar, di Kabupaten Lebong, hingga ke Provinsi Jambi.
“Mereka harus diperiksa intensif.”
Iswadi menjelaskan, dari penelurusan Lingkar Institute, para pelaku perdagangan satwa liar di Bengkulu sering bertransaksi di Lampung dan Palembang [Sumatera Selatan].
“Makanya, ini kesempatan polisi untuk menggali semaksimal mungkin.”
Baca juga: Konflik Manusia dengan Harimau, Harmoni Kehidupan yang Perlahan Hilang
Tahun sepi penangkapan
Dari catatan Lingkar Institute, 2020 adalah tahun sepi penangkapan para pemburu dan pedagang satwa liar. Salah satu alasannya, karena musim pandemi corona [COVID-19].
“Namun dengan sepinya statistik penangkapan, bukan berarti tidak ada perburuan dan perdagangan satwa liar di hutan,” lanjut Iswadi.
“Saya yakin betul, perburuan tak pernah sepi walau pandemi. Apalagi, informasi dari tim patroli sapu jerat harimau sumatera di TNKS, menunjukkan bahwa jerat-jerat itu tetap ditemukan hingga kini.”
Sebelumnya, awal tahun 2020, terjadi konflik harimau dengan manusia, tepatnya akhir Februari.
Saat itu, seekor harimau betina ditemukan mati karena jerat pemburu di Kawasan Hutan Produksi Terbatas [HPT] Bukit Kandis, Kabupaten Seluma.
Harimau malang itu berumur sekitar dua tahun. Mati terjerat di bagian leher.
“Penangkapan tiga pelaku memberi kesempatan baik untuk membongkar jaringan perdagangan satwa liar di Bengkulu, yang pergerakannya sangat licin,” ujarnya.