- Kelik Suparno dulu merupakan pemburu burung dan pembabat hutan yang kini getol memberdayakan warga sekitar membangun ekonomi berkelanjutan di Desa Jatimulyo, Kulon Progo, Yogyakarta.
- Saat jadi pemburu burung, Kelik tidak mengetahui perburuan yang membuat burung-burung menghilang berpengaruh kepada ekosistem lingkungan desanya
- Kini di hutan Jatimulyo, tercatat 105 spesies burung. Bahkan beberapa spesies burung yang sulit ditemukan yang endemik Pulau Jawa masih bisa ditemukan di Jatimulyo. Tercatat juga ada 90 jenis kupu-kupu dan 30 capung yang betah menetap di sana.
- Selain pertanian organik berupa kopi dan tanaman lain di lahan hutan Jatimulyo, juga dikembangkan program adopsi sarang untuk melestarikan burung di habitatnya
Musim dingin, membuat gerak matahari begitu lambat di langit Jatimulyo, Kulon Progo, Yogyakarta. Pagi itu, kabut tipis pelan-pelan turun melarut dalam secangkir kopi robusta yang diramu Kelik Suparno.
Di pojokan kedai berukuran 12 x 6 meter itu, Kelik intim dengan kopi. Setidaknya, sejak 5 tahun lalu, ia merasa kopi seperti panggung orasi. Meski, pria 44 tahun tak pernah mengorbitkan diri sebagai orator. Namun, pengalaman pahit-manis bergantian jadi cerita utama. Mulai dari menjadi pemburu burung, pembabat hutan hingga kini getol memberdayakan warga sekitar membangun ekonomi berkelanjutan.
“Kopi ibarat anjangsana mas…,” kata Kelik saat dijumpai beberapa waktu lalu. Ia punya hipotesa bahwa, “Kadang orang senang membicarakan atau mendengarkan sesuatu kalau diawali dengan kopi.”
Tapi yang benar-benar membuat tempat ini berdiri, ialah karena kampung ini ingin repot mengurusi burung-burung di sana. Setidaknya, potret indukan burung bercorak biru sedang memberi makan anakan di sarang yang di panjang membelakangi bar kopi lengkap dengan gelas, cangkir, poci dan lain-lain adalah buktinya.
baca : Menikmati Celoteh Cekakak Jawa di Hutan Desa di Yogyakarta

Mungkin karena itu, peminum kopi yang singgah ke kedai adalah mereka yang punya selera seragam. Sama-sama penyuka burung. Dan agaknya, pelanggan yang datang ke kedai benar-benar menganggumi, karena mereka mengerti.
Kelik memang pemburu burung awalnya. “Tapi itu dulu, sekarang sudah tobat mas,” katanya terkekeh. Para pemburu menangkap induk burung apa saja sehingga mereka musnah. Akibatnya, karena pohon jadi merana setelah ditinggal burung-burung, ladang menjadi kering karena mata air juga tumpas akibat tanah gersang.
Bertahun-tahun menjadi pemburu burung, ia baru tahu jika hilangnya burung bisa bikin murung. Mungkin juga Kelik setengah mengerti kalau serasah di hutan-hutan di bawah pegunungan Menoreh, pegunungan kapur yang memanjang dari timur ke barat itu hanya kering dan tak menjadi kompos akibat tak ada lagi kotoran burung sebagai pupuk yang membusukkannya. Itu karena burung-burung menghilang dari pohon-pohon karena diburu orang desa untuk dijual ke kota.
Bahkan, Kelik mampu memecahkan rekor yang barangkali dibuatnya sendiri. Kira-kira menangkap seratus ekor burung dalam waktu tak terlalu lama, “Itu jumlah bisa kami kumpulkan satu rukun tetangga.”
Lewat indera yang menempel di daun telinga, Kelik terlatih menerka jenis burung hanya dengan bunyinya. Dan cicitan burung itu, “Mudah mengetahui burung itu sedang bertelur atau punya anakan,” terangnya.
Lama-lama ia menemukan pagi tanpa kicau Anis merah (Geokichla citrina), Kucica hijau (Copsychus saularis), Sikatan cacing (Cyornis banyumas) sampai Sulingan atau Tledekan. “Di situlah waktu dimana saya merasa malu mas…,” imbuh Kelik. Lagi pula menjual burung tak melulu menghasilkan banyak cuan yang berkisar Rp750.000 hingga Rp1.500.000 per satu burung itu, “Ya memang, bagi warga Jatimulyo, hasil penjualan burung buruan bisa menambah penghasilan mereka sebagai petani.” Kelik menghela nafas, “Tapi, itu cara yang keliru dan tak bagus mas…”
baca juga : Ternyata Ada Desa Konservasi di Yogyakarta

Merawat aturan
Situasi di Desa Jatimulyo berubah setelah pemerintah desa mengeluarkan Peraturan Desa No.8/2014 tentang Pelestarian Lingkungan Hidup. Peraturan berisi 68 pasal itu bertujuan menuntun siapapun yang datang agar menghormati alam. Menurut omongan orang yang datang ke kedai, katanya, aturan itu contoh baik bagaimana pemimpin yang bekerja sesuai porsi dan semestinya dengan cara yang efektif. Dalam aturan ini, manusia dilarang merusak lingkungan dan menangkap burung dan satwa lainnya seperti trenggiling (Manis Javanica) dan musang (Paradoxurus hermaphroditus).
Sebermula itu, setidaknya sampai hitungan terakhir di tahun 2020 lalu, tercatat populasi burung sudah ada 105 spesies burung yang berhasil ditemukan di desa yang memiliki luas 1.609 hektare itu. Ini jumlah luar biasa, karena separuh dari total 227 spesies burung di Kulon Progo hidup di kampung yang di kepung pemburu itu.
Kelik menyebut beberapa spesies burung yang sulit ditemukan di Yogyakarta seperti Pijantung gunung (Arachnothera affinis) dan Ciung air jawa (Macronus flavicollis) yang endemik Pulau Jawa masih bisa ditemukan di Jatimulyo. Tercatat juga ada 90 jenis kupu-kupu dan 30 capung yang betah menetap di sana.
Apa yang ia serukan, apa yang ia dorong terus menerus menyangkut sesuatu yang memang tak akan tumpas dalam waktu yang singkat itu membikin Kelik panjang akal dan panjang pikiran. Walau, sejak aturan itu dibuat pelanggaran tetap ada, “Tapi yaa tetap harus diperjuangkan,” katanya.
Pertanyaan yang kerap muncul kenapa peraturannya haris diikuti? Kelik tak bisa menjawab. Ia hanya mesem-mesem. Mungkin ia juga tak tahu kenapa ia mau mematuhi.
perlu dibaca : Bertahun-tahun dalam Rehabilitasi, Akhirnya Elang Bido dan Alap-alap Kembali ke Alam

Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia
Kelik bukan orang yang rumit dengan teori. Keinginan untuk menjadi ideal, menelurkan harapan lewat kelompok pengamat burung Masyarakat Pemerhati Burung Jatimulyo (MPBJ). Isinya adalah para mantan pemburu burung di Desa Jatimulyo. Mereka diberdayakan sebagai jasa pemandu dalam kegiatan birdwatching.
“Karena menjadi ideal tanpa dorong finansial usaha tak akan berjalan lama,” tutur Kelik.
Berjejaring dengan Yayasan Kutilang Indonesia dan Komunitas Peduli Menoreh, penduduk Jatimulyo kian mantap menatap masa depan lebih baik. Kini, Jatimulyo dikenal desa konservasi burung. Dan setelah itu, kata Kelik, makin banyak penggemar burung atau bird watcher singgah dan ngopi ke Jatimulyo. Betapa kini realitas telah menunjukan bahwa mempertahankan kelestarian lingkungan ternyata membuka banyak celah cuan yang bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Memetik hasil baik
Dengan modal sosial yang tumbuh di setiap orang-orang Jatimulyo seperti itu, plus cara pandang mereka terhadap arti penting lingkungan membuahkan hasil baik. Mereka sudah menerapkan pertanian organik dalam membudidayakan kopi dan tanaman lain di lahan hutan perkebunan mereka.
Mereka juga bisa berhemat karena tak pakai pupuk kimia yang hari ini sedang melambung harganya itu. Unsur hara tanah pun sudah kembali dijatuhi kotoran burung. Dan petani senang sebab sudah dapat menggembala ternak lagi karena rumput mudah tumbuh. Dan kompos dari kandang kambing, penduduk gunakan untuk menyemai biji kopi hingga menuai bahagia karena kualitas meningkat.
“Dulu satu kilogram biji kopi yang harganya Rp2000 meningkat jadi Rp6000,” ujar Kelik. Tercatat hingga tahun 2019 panen kopi petani mencapai 7,5 ton dengan nilai Rp41 juta.
Pendapatan dari panen biji kopi itu pun mampu menggantikan pendapatan warga dari berburu burung. “Hasil dari penjualan kopi untuk kegiatan konservasi,” kata Ketua Kelompok Tani Hutan Wanapaksi itu.
baca juga : Cetak Sejarah, Citizen Science Indonesia Terbitkan Atlas Burung

Kini Kelik dan 52 anggota lainnya sedang sibuk menggagas program adopsi sarang, melestarikan burung di habitatnya dengan memberikan cuan kepada warga. Tentu saja, kegiatan itu untuk membuat perubahan. Hasilnya, mereka berhasil menjaga 28 sarang, menerbangkan 43 ekor anakan dari 6 jenis burung.
Tak cuma itu, ada juga program pendidikan lingkungan untuk anak-anak dan membiayai skripsi mahasiswa yang mengangkat isu flora-fauna di Desa Jatimulyo.
Agaknya, kebajikan hidup semacam itu orang menjalani keseharian secara arif dan tertib, di bawah kabut yang tak lekas kisut. Dan Kelik belum ingin berhenti meramu kopi. Setidaknya 20 tahun lagi, katanya.