- Pantai Sesai Panjang di Desa Simpang Ayam, Kecamatan Bengkalis, Kabupaten Bengkalis, Riau, menjadi salah satu tujuan pengunjung untuk melihat Selat Malaka. Keberadaanya perlu dikembangkan menjadi destinasi wisata.
- Lebih-lebih di pantai ini terdapat jembatan yang dibuat dari kayu meranti (shorea), panjangnya sekitar 25 meter menuju pangkal mampu menjadi daya tarik tersendiri.
- Suripno Bin Narsi, petani sekaligus pelopor tercetusnya nama Pantai Sesai Panjang mengakui jika jembatan yang dibangun bersama rekan-rekan petani maupun nelayan setempat secara swadaya tersebut memang masih jauh dari sempurna.
- Salah satu kendala yang dihadapi di pantai Sesai Panjang yaitu abrasi. Untuk itu, warga setempat berharap ada perhatian dari pemerintah.
Siang yang mendung dengan gerimis bercucur tak menghalangi kegirangan sejumlah anak kecil yang berkejaran di tengah pematang tanah gambut, kawasan perkebunan nanas (Ananas comosus) yang menuju tepi Perairan Selat Malaka, di pesisir Desa Simpang Ayam, Kecamatan Bengkalis, Kabupaten Bengkalis, Riau.
Bersama rombongan orang dewasa, anak-anak itu terlihat ceria tatkala daratan pantai yang dihantam ombak tersebut sudah terlihat di depan mata. Lebih-lebih di pantai ini terdapat jembatan yang terbuat dari kayu meranti (Shorea), panjangnya sekitar 25 meter menuju pangkal, di atas perairan dengan ombak cukup kencang.
Anak-anak yang berkejaran riang tampak tak sabar untuk segera sampai di tujuan. Akan tetapi di belakang, orang dewasa berusaha mengingatkan agar mereka lebih hati-hati melewati jembatan yang biasa dilalui nelayan untuk pergi melaut.
Jembatan sederhana yang dibangun secara swadaya oleh masyarakat setempat memang licin di tengah gerimis siang itu. Jika air pasang, para nelayan ini mendaratkan perahunya di bebatuan pemecah ombak yang dibangun oleh pemerintah sebagai penghalang abrasi laut ke daratan.
baca : Saat Predator Puncak Bertamu ke Laut Anambas
Penggugah Selera
Kurang lebih 10 menit berjalan, para rombongan ini kemudian sampai di bebatuan pemecah ombak yang landai. Mereka kemudian menggelar bekal makanan siang di tengah cuaca dengan awan setengah gelap yang menggantung.
“Anak-anak senang jika makan di alam terbuka. Seleranya jadi berbeda. Apalagi disini kan bisa kena angin laut,” ucap Nuryana di sela menyantap santapan sederhana yang sudah dia persiapkan sebelumnya untuk makan di luar rumah, Sabtu (02/01/2021).
Dikatakannya, bukan hanya keluarganya saja yang melakukan hal itu. Biasanya banyak pengunjung lain juga melakukan hal sama, makan dan bersenang-senang dengan keluarga di tempat itu. Ada yang memancing, ada yang sekedar melihat ombak, dan ada pula yang bermain di taman sekitar. Untuk keluarga Nuryana sendiri memilih makan di lingkungan terbuka ini seringkali dilakukan, paling tidak sebulan dua kali.
Makan siang di pantai menjadi penggugah selera tersendiri bagi keluarga perempuan berumur 50 tahun ini, sebab anak-anaknya justru yang meminta hal itu padanya. Sehinggga saat makan di pantai mereka bisa begitu lahap menyantap makanan yang dibawanya.
baca juga : Cerita Para Perempuan Penjaga Tesso Nilo
Di tengah gerimis dan deburan ombak yang sesekali memercik ke bebatuan, menambah kenikmatan mereka menghabiskan nasi, ikan dan sayuran yang mereka jadikan perbekalan.
“Kalau makan di pantai itu meski lauknya ikan asin sama sambal sudah terasa nikmat, enaknya itu ya bisa sambil melihat pemandangan. Suasana alam juga bagus bisa mengubah awak (saya) jadi lebih seger setelah dari sini,” imbuh Nuryana dibarengi keluarga, adik-adik, anak, ipar.
Sementara pengunjung lain, Humidatun Nisa yang mengaku dari Surabaya menuturkan jika pengalamannya berkunjung ke Perairan Selat Malaka Kabupaten Bengkalis ini memberikan pengalaman yang sedikit unik. Keunikan itu menurutnya terdapat pada air laut warnanya yang tampak sangat berbeda dengan pantai yang pernah dia datangi, yang kebanyakan adalah laut selatan Jawa.
“Airnya keruh sekali ini saya kira air limbah apa, ternyata ini karena airnya banyak mengandung pasir tanah gambut. Bagi saya ada kekhasan tersendiri,” ujar perempuan berhijab ini.
baca juga : Panorama Air Terjun Bukit Betabuh Nan Indah yang Terkepung Sawit
Selain itu, bagi dia yang menarik di pantai ini adalah bisa melihat aktifitas nelayan yang perahunya banyak bersandar di bebatuan pemecah ombak. Apalagi di tengah hari itu bertepatan dengan nelayan yang sedang bersiap berlayar mencari udang. Dia begitu asik melihat persiapan demi persiapan sebelum perahu perahu kecil para nelayan siap berlayar di tengah ombak yang masih pasang.
Sikap masyarakat setempat yang ramah juga memberi kesan tersendiri bagi dia. Deretan pohon nipah (Nypa fruticans) yang tumbuh di lingkungan hutan bakau atau daerah pasang-surut dekat tepi laut yang melambai-lambai nantinya akan menjadi kenangan istimewa.
Menurut Nisa panggilan akrabnya, untuk keselamatan pengunjung jembatan sederhana yang menjadi akses ke ujung selat yang berupa bebatuan landai yang dijadikan salah satu ikon di pantai ini perlu diperbaiki kembali. Wisatawan yang perlu diwaspadai terutama adalah anak-anak, sebab masih terdapat celah terbuka cukup lebar pada beberapa susunan kayu yang menjadi jembatan tersebut.
“Saya agak ngeri membayangkan kalau anak-anak tidak diawasi dengan benar oleh orang dewasa yang membawanya bisa gampang kepleset itu, apalagi kalau sedang licin begini,” ucapnya.
baca juga : Air Terjun Batu Dinding, Keindahan Tersembunyi Kabupaten Kampar
Dibangun Swadaya
Suripno Bin Narsi, petani sekaligus pelopor tercetusnya nama Pantai Sesai Panjang mengakui jika jembatan yang dibangun bersama rekan-rekan petani maupun nelayan setempat secara swadaya tersebut memang masih jauh dari sempurna. Hal ini karena dananya yang terbatas. Kayu yang digunakan untuk membuat jembatan dia yang mengambil sendiri dari hutan. Sementara pakunya berasal dari iuran warga.
Menurut dia, potensi di Desa Simpang Ayam satu-satunya yaitu pantai. Karena itu bapak tiga anak ini tertarik untuk mengembangkan menjadi tempat jujukan wisatawan. “Jadi dengan adanya potensi yang masih serba kekurangan ini yang membuat saya tertarik mengelola sejak tahun 2008 sampai sekarang,” kata Surip, panggilan akrabnya.
Dulu, lanjut dia, awal mula kawasan ini merupakan hutan alam. Namun, karena terjadi kebakaran hutan pada tahun 2005 pada akhirnya banyak pohon yang mati. Setelah itu dia mulai mengelola lahan tersebut bersama rekan-rekannya dengan ditanami nanas (Ananas comusus). Selain itu mereka juga menanam ubi kayu (Manihot esculenta).
Karena lahannya berdekatan dengan pantai alhasil keberadaan pantai itu pun turut menjadi perhatian. Karena dirasa berpotensi untuk dikembangkan menjadi tempat wisata, seiring berjalannya waktu pantai itu kemudian dilengkapi dengan taman bermain untuk anak-anak, jembatan kayu dan tempat untuk swafoto.
“Setiap hari pasti ada yang berkunjung. Apalagi kalau hari Sabtu dan Minggu pengunjungnya lebih banyak,” pungkasnya. Hanya, baginya yang masih menjadi kendala yaitu abrasi. Untuk itu dia berharap ada perhatian dari pemerintah setempat.