- Pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di Indonesia, masih jauh dari harapan. Untuk wilayah saja, sampai awal 2021 ini baru sekitar 50.000 hektar penetapan hutan adat. Padahal, pengajuan peta indikatif wilayah adat ke pemerintah sudah lebih 10 juta hektar. Kasus perampasan wilayah termasuk hutan adat maupun kerusakan lingkungan adat sampai kriminalisasi masih terjadi di berbagai daerah. Belum lagi, hingga kini, sejak beberapa periode pembahasan, RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat belum juga selesai.
- Maria S. W. Sumardjono, Guru Besar Hukum Agrara Universitas Gadjah Mada, mengatakan, pengabaian terhadap pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak masyarakat adat mempersulit penyelesaian konflik yang melibatkan masyarakat hukum adat.
- Yando Zakaria, Peneliti dari Pusat Kajian Etnografi Komunitas Adat (Pustaka) mengatakan, perlu sebuah minibus law untuk mampu mengubah nasib masyarakat adat di Indonesia. Isinya, antara lain mencabut Pasal 67 ayat (2) UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan. Dalam aturan itu menyebutkan, penetapan masyarakat adat melalui perda.
- Erasmus Cahyadi, Deputi Urusan Politik dan Hukum AMAN mengusulkan, perlu ada Komisi Nasional Masyarakat Adat, lembaga ini penting mengingat proses pengakuan hak-hak masyarakat adat masih harus melalui Menteri Dalam Negeri dan ada aturan tumpang tindih.
“Di kampung kami tetap semangat. Hutan tetap kami jaga,” kata Effendi Buhing, Ketua Adat Laman Kinipan, beberapa bulan lalu usai bebas dari tahanan polisi kepada Mongabay.
Masyarakat Laman Kinipan, satu komunitas adat yang hingga kini hidup dalam was-was karena hutan mereka bisa terus tergerus karena belum ada pengakuan dan perlindungan.
Dalam beberapa tahun ini, komunitas adat ini berjuang melawan perusahaan sawit yang mendapat izin di Kabupaten Lamandau, melewati lahan-lahan adat termasuk Kinipan.
Sepanjang 2020, di tengah pandemi, warga Kinipan alami masa berat. Mereka yang berupaya mempertahankan hutan adat berhadapan dengan jerat hukum.
Hingga kini, perlindungan terhadap wilayah adat, termasuk hutan mereka, belum ada kejelasan walaupun mereka sudah mengajukan sejak lama ke Bupati Lamandau, kemudian langsung ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
“Kami akan masuk penjara terus kalau begini. Harus ada upaya dari pemerintah. Supaya ada kejelasan,” kata Buhing.
Komunitas Adat Laman Kinipan, satu contoh dari begitu banyak wilayah adat yang belum mendapat perlindungan negara. Janji-janji pengakuan dan perlndungan pemerintah suarakan dari tahun ke tahun baru sebatas janji.
Sampai awal 2021, baru sekitar 50.000 hektar dari 10 jutaan hektar peta partisipatif wilayah adat yang surat Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) serahkan ke pemerintah.
Bahkan, Rancangan Undang-undang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (RUU Masyarakat Adat), belum ada kejelasan walaupun berulang kali masuk dalam program legislasi nasional dalam beberapa periode ini. Prolegnas 2021 juga masuk. Organisasi masyarakat sipil dan para pakar mendesak agar utang-utang ini dapat pemerintah penuhi dengan pelibatan publik.
“Pengabaian terhadap pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak masyarakat adat dalam UU sektoral ini mempersulit penyelesaian konflik yang melibatkan masyarakat hukum adat,” kata Maria S. W. Sumardjono, Guru Besar Hukum Agrara Universitas Gadjah Mada, saat catatan awal tahun AMAN, baru-baru ini.
Baca juga: Ketika Aturan Datang Abai Warga, Kakek 75 Tahun di Soppeng Terjerat Hukum Perusak Hutan
Dia bilang, ada utang negara kepada masyarakat adat sampai saat ini belum terlihat kesungguhan untuk memenuhinya, antara lain, pengesahan RUU Masyarakat Adat.
Dengan ada UU ini, katanya, diharapkan jadi jalan dalam mempercepat pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak masyarakat adat.
Sayangnya, RUU ini bernasib malang. RUU ini sudah masuk dalam pembahasan bersama DPR sejak Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, hingga kini tak juga selesai.
Pembahasan selalu berulang. Sejak 2013, kata Maria, dalam setiap periode pemerintahan selalu memiliki hambatan sama, walau masuk prolegnas tetapi tak ada jaminan ada pengesahan.
“Perlu pengesahan RUU ini melanjutkan upaya penyelesaian konflik yang bersifat extra ordinary berskala luas, lintas sektor, berdampak luas dan berpotensi terjadi pelanggaran HAM,” katanya.
Mengapa pengesahan RUU ini jadi utang negara, katanya, karena jelas dalam Pasal 18 B ayat 2 UUD 1945 membebankan pengakuan masyarakat hukum adat kepada negara.
Pemerintah, katanya, terlihat ada keinginan dalam melunasi utang ini tetapi belum ada kepastian soal prioritas, jadwal dan batas waktu penyelesaian.
Di tengah belum ada kejelasan UU Masyarakat Adat, katanya, muncul omnibus law. UU ini, kata Maria, malahan melanggengkan sektoralisme pengaturan tentang masyarakat hukum adat dan hak-haknya, antara lain tidak mengubah rumusan dalam UU asalnya terkait frasa subyek dan obyek masyarakat hukum adat.
“Fatalnya, ada kekeliruan memahami esensi pengakuan hukum adat dalam Pasal 18 B ayat 2 yang menganggap penetapan masyarakat adat itu bersifat konstitutif. Seharusnya, sudah diakui dan selesai. Yang belum tuntas adalah penatausahaan saja.”
Maria mengatakan, perlu mempertimbangkan pembentukan Komisi Penyelesaian Konflik Agraria yang sebenarnya pernah terumuskan dalam RUU Pertanahan versi 2013 yang kemudian hilang setelah itu.
“Melunasi utang pengakuan masyarakat hukum adat itu tidak hanya bermakna menjalankan kewajiban negara sesuai Pasal 18 B ayat 2 UUD 1945 sekaligus menjalankan tujuan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, yakni tercapainya keadilan sosial bagi seluruh masyarakat.” Selain itu, katanya, juga upaya menjalankan program reforma agraria secara konsisten.
Baca juga: Berawal Konflik Lahan, Berujung Jerat Hukum Orang Kinipan
Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal AMAN mengatakan, RUU Masyarakat Adat yang berpihak pada pengakuan dan perlindungan masyarakat adat mendesak segera disahkan.
Kebijakan pemerintah, lewat UU Cipta Kerja dinilai sangat mengancam keberadaan masyarakat adat. “Tanpa ada UU itu, kita masih mengalami kriminalisasi. Apalagi, dengan hadirnya UU yang kemudian mereduksi dan menghapuskan seluruh mekanisme perlindungan masyarakat adat yang sudah ada.”
Berdasarkan catatan AMAN, pada 2020, ada 40 kasus masyarakat adat yang terlaporkan, yakni, 10 kasus melawan perkebunan, lima kasus dengan pertambangan, dan enam kasus dengan proyek bendungan dan PLTA. Kemudian, lima kasus dengan pemerintah dan pemda, enam kasus dengan KPH, tiga dengan perkebunan kayu, satu dengan TNI dan empat kasus pencemaran di wilayah adat.
“Jumlah ini yang resmi kami tangani. Masih banyak sekali masyarakat adat yang karena tidak punya akses terhadap komunikasi, tidak melaporkan,” katanya.
Dari 40 kasus itu, katanya, 39.069 warga adat dengan 18.372 keluarga mengalami kerugian, baik ekonomi, sosial, maupun moral karena mereka terdampak tindakan intimidatif, kekerasan dan kriminalisasi.
Rukka sebutkan, salah satu kasus mencuat dalam 2020 adalah upaya persekusi aparat terhadap Effendi Buhing, tokoh adat Laman Kinipan di Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah. Juga kasus masyarakat Besipae, diusir aparat keamanan karena dianggap menduduki lahan pemerintah.
“Politik pengakuan setengah hati oleh negara terhadap masyarakat adat inilah yang menjadi penyebab konflik berkepanjangan hingga hari ini.”
Sisi lain, katanya, di tengah gempuran berbagai masalah di masa pandemi COVID-19 ini, masyarakat adat memperlihatkan resiliensi atau kekuatan dan kemampuan beradaptasi dalam situasi sulit.
“Di masa pandemi, masyarakat adat masih menjaga wilayah adat di tengah krisis. Saat krisis pangan, ratusan kampung bergerak menanam dan mencoba membangun strategi ekonomi baru dan ekonomi lokal,” kata Rukka. Warga adat, katanya, bisa bertahan, mandiri pangan bahkan bisa membantu pihak lain.
Baca juga: Penetapan Hutan Adat Tombak Haminjon Susut, Teralokasi buat Food Estate
Atura belum mendukung?
Secara terpisah, Agung Wibowo, Koordinator Eksekutif Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologi (Huma) mengatakan, produk hukum masih belum berpihak pada perlindungan dan pemenuhan hak masyarakat adat secara utuh.
“Setidaknya ada empat kebijakan berkaitan dengan masyarakat adat tidak menunjukkan ketidakberpihakan pemerintah maupun DPR dalam legislasi nasional,” katanya dalam peluncuran Outlook Huma.
Dia sebutkan, ada UU Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja, UU Nomor 3/2020 tentang Perubahan Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), RUU Masyarakat Adat dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).
UU Cipta Kerja dan revisi UU Minerba dia nilai berdampak buruk bagi masyarakat adat. Kebijakan ini malahan memperlebar ketimbangan penguasaan sumber daya alam antara industri dan masyarakat adat.
Perampasan wilayah adat dan kerusakan lingkungan hidup, katanya, akan makin mudah dan berpotensi kriminalisasi masyarakat adat.
“Terjadi paradoks dalam legislasi nasional. Pemerintah dan DPR menunjukkan itikad tidak baik dalam upaya perlindungan hak masyarakat adat dengan mengesahkan UU yang bermasalah.”
Untuk itu, kata Agung, RUU Masyarakat Adat dan UU PKS masuk prolegnas perlu dikawal karena masih sarat kepentingan politik dan isu sektoralisme.
DPR dan pemerintah pun harus memastikan, substansi dalam RUU Masyarakat Adat sesuai aspirasi masyarakat adat. Selain itu, juga mendesak substansi yang berkaitan dengan pemulihan hak-hak masyarakat adat.
“Hak kolektif perempuan adat pun perlu diatur dalam bab sendiri dalam RUU Masyarakat Adat mengingat masifnya diskriminasi terhadap perempuan adat.”
Devi Anggraini, Ketua Umum Persekutuan Perempuan Adat AMAN menyebutkan, produk hukum saat ini cenderung mendisktiminasi perempuan adat yang menyebabkan perampasan hak atas tanah, hak atas pengetahuan dan identitas politik. Perempuan adat pun, katanya, rentan mengalami kekerasan seksual.
I Gusti Agung Made Wardhana, dosen Departemen Lingkungan Fakultas Hukum UGM mengatakan, dalam UU Cipta Kerja dan UU Minerba, menyebutkan, masyarakat yang terkena dampak langsung dari usaha pertambangan berhak memperoleh ganti rugi layak sebagai akibat kesalahan dari perusahaan atau penanggung jawab kegiatan.
“Itu tanda upaya mereduksi konflik antara masyarakat dan perusahaan tambang dinilai hanya sebagai konflik keperdataan. Masyarakat pun diarahkan negosiasi dengan perusahaan. Faktanya, justru mustahil menciptakan hasil negosiasi yang adil.”
Kalau masyarakat hendak mengajukan ganti rugi, katanya, perlu membuktikan ada kesalahan dari pengusaha tambang dalam kegiatan usaha mereka. Padahal, kata Gusti, seringkali masyarakat adat tidak memiliki pengetahuan terkait proses industri pertambangan.
“Ini menjadi ketimpangan relasi kuasa dan ketidakadilan negara dalam menyelesaikan konflik.” Untuk itu, mendesak upaya kuat dan serius dalam mendorong pengakuan perlindungan dan pemenuhan HAM melalui RUU Masyarakat Adat.
Minibus Law
Yando Zakaria, Peneliti dari Pusat Kajian Etnografi Komunitas Adat (Pustaka) mengatakan, perlu sebuah minibus law untuk mampu mengubah nasib masyarakat adat di Indonesia. Isinya, antara lain mencabut Pasal 67 ayat (2) UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan. Dalam aturan itu menyebutkan, penetapan masyarakat adat melalui perda.
“Inilah biang keladi, sampai sekarang pengakuan hak masyarakat adat itu rendah. Dosanya yang kemudian tak berubah dalam MK 35 (putusan Mahkamah Konstitusi No 35), hak masyarakat adat terhadap tanah dan sumber daya alam diakui kalau masyarakat adat itu ditetapkan melalui perda,” katanya. Padahal, Yando bilang, penyusunan perda itu berbiaya mahal dan perlu waktu lama.
Selain UU Kehutanan, perlu juga mencabut Pasal 109 UU Nomor 6/2014 tentang Desa. Ada 150 desa adat yang sudah penetapan di beberapa kabupaten tetapi tidak bisa teregistrasi oleh Kementerian Dalam Negeri karena peraturan provinsi terkait desa adat tidak ada di wilayah kabupaten.
Selain kedua pasal itu, kata Yando, perlu juga memastikan Rancangan Peraturan Pemerintah sektor pertanahan menganulir kerangka hukum Perpres No. 71/2002 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Juga Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN No. 18/2019 tentang Tata Cara Penatausahaan Tanah Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat yang mengikuti logika sesat UU Kehutanan.
Kemudian, katanya, perlu mempercepat penetapan UU Masyarakat Adat dengan merombak total draf RUU. Dalam realitas hukum di Indonesia, katanya, bukan mengakui hak masyarakat adat, justru menyingkirkan pengakuan itu.
”Kalau draf RUU Masyarakat Adat sekarang di DPR ditetapkan alih-alih memenangkan masyarakat adat, menurut saya bisa lebih membunuh masyarakat adat. Karena akan jauh berat proses dan mekanisme dibanding UU Kehutanan. Banyak logika keliru.”
Dia menyebutkan, draf RUU saat ini perlu rombak total karena pendekatan masih politik.
“Masih ada verifikasi dan sebagainya, kemudian ada pengabsahan setiap lima tahun sekali. Jadi, jika subyek hilang, masyarakat adat dibubarkan dan tanah kembali ke negara.”
Padahal, kata Yando, seharusnya andai masyarakat tak ada lagi itu menjadi tanah individual. “Itu mengingkari pemahaman sosial terhadap masyarakat. Jika memang begitu, logika apa yang digunakan?”
Hal paling krusial, katanya, harus mengubah pendekatan politik yang menekankan subyek, harus lebih sosio administratif soal pengakuan terhadap hak dan wilayah adat, hak atas identitas budaya, hak penyelenggaraan pemerintah, agama leluhur, pendidikan dan kekayaan intelektual tradisional.
Erasmus Cahyadi, Deputi Urusan Politik dan Hukum AMAN mengatakan, RUU Masyarakat Adat dalam prolegnas prioritas membutuhkan keberpihakan politik agar tidak ada lagi pengabaian. Pada pembahasan Prolegnas 2021, hanya Fraksi Golkar yang menolak RUU Masyarakat Adat.
“Pentingnya pengesahan RUU ini karena masyarakat adat terhimpit. Pengesahan RUU ini akan jadi dasar dari peraturan perundang-undangan sektoral untuk mengakui hak-hak masyarakat adat.”
Sepandangan dengan Yando, Erasmus bilang, isi RUU belum sesuai dengan usulan masyarakat. Kondisi ini, katanya, malah berpotensi memberikan dampak negatif bagi masyarakat adat.
Berbagai hal yang berpotensi memberatkan itu, katanya, antara lain, proses pengakuan hak masyarakat adat masih sulit dan rumit ada evaluasi terhadap keberadaan masyarakat adat.
Sedang hal penting belum ada, adalah bagaimana merespon konflik yang ada dan percepatan mengurus kawasan adat dalam kawasan hutan.
Erasmus mengusulkan perlu ada Komisi Nasional Masyarakat Adat, lembaga ini penting mengingat proses pengakuan hak-hak masyarakat adat masih harus melalui Menteri Dalam Negeri dan ada aturan tumpang tindih.
******
Foto utama: Hamparan tanah sudah bersih, yang sebelumnya hutan adat Malind Anim di Desa Zanegi, Merauke, Papua. Foto: Nanang Sujana