- Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) membangun pelindung pantai di Desa Jerowaru, Desa Paremas, Desa Pemongkong, Kecamatan Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat
- Pembangunan pelindung pantai itu di daerah-daerah yang rawan rob. Pembangunan itu untuk mencegah rob dan abrasi
- Para pegiat lingkungan menilai, pembangunan fisik masih mendominasi program perubahan iklim dan bencana. Padahal yang terpenting itu membangun ketahanan masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana
- Pemerintah maupun pelaksana proyek perlu memerhatikan kearifan lokal masyarakat dan bisa mengadopsi dan melakukan penguatan kawasan pesisir
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) membangun pelindungan pantai di pesisir selatan Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan panjang 330,3 meter. Pelindung tersebut dibangun di Desa Jerowaru sepanjang 75,4 meter berjenis struktur hybrid, di Desa Paremas sepanjang 136 meter berjenis talud, dan di Desa Pemongkong sepanjang 119 meter berjenis talud. Ketiga desa ini berada di wilayah Kecamatan Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.
Pelindung pantai yang dibangun di Desa Jerowaru berada di dua titik, yaitu Jor dan Poton Bako. Daerah ini memang dikenal rentan terhadap rob, apalagi posisi rumah warga persis di depan bibir pantai. Air laut kadang naik sampai badan jalan yang hanya berjarak kurang dari 5 meter dari air laut.
“Pelindung pantai yang dibangun akan melindungi pesisir Kabupaten Lombok Timur dari risiko abrasi dan erosi akibat gelombang, sehingga nantinya dapat membantu menjaga ekosistem pantai dan kawasan pemukiman masyarakat pesisir di sekitar,’’ kata Direktur Jendral Pengelolan Ruang Laut (Dirjen PRL) KKP RI, TB Haeru Rahayu dalam rilis yang diterima Mongabay Indonesia, akhir Januari 2021.
TB Haeru mengatakan, pembangun pelindung pantai di Kabupaten Lombok Timur merupakan bagian program Pengembangan Kawasan Pesisir Tangguh (PKPT) yang dilaksanakan pada tahun 2020. Program ini merupak wujud dari implementasi pengelolaan pesisir terpadu.
“Diharapkan dapat meningkatkan kualitas lingkungan hidup dan mendorong kemajuan kawasan pesisir di Lombok Timur,” ungkapnya. Selain itu, saat ini PKPT berfokus pada tiga aspek. Pertama, aspek manusia, yaitu meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menghadapi bencana dan dampak perubahan iklim.
Kedua, aspek siaga bencana dan adaptasi perubahan iklim. Pada aspek ini, KKP membangun sarana dan prasarana siaga bencana. Ketiga, aspek kelembagaan yang bertujuan agar masyarakat dapat aktif dan mandiri dalam organisasi.
baca : Abrasi Pesisir Terjadi, Apakah Mengancam Kedaulatan Negara?
Secara terpisah, Direktur Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil KKP Muhammad Yusuf menerangkan bahwa pembangunan pelindung pantai di Lombok Timur menggunakan struktur hybrid dan talud. Struktur hybrid dibangun dengan menggunakan bahan-bahan secara lokal seperti bambu dan ranting pohon. Sedangkan pembangunan talud dengan menggunakan material pasir dan semen.
Yusuf menambahkan bahwa struktur semipermeabel atau sering juga disebut hybrid engineering ini dapat mengumpulkan sedimen untuk mangrove agar tumbuh secara alami dan merevitalisasi lahan tambak.
“Pemasangan struktur hybrid sebelumnya telah dilakukan di kabupaten lain di utara Pulau Jawa, Nusa Tenggara, dan Sulawesi,” katanya.
Bagi warga yang tinggal di Desa Jerowaru, keberadaan pelindung pantai sangat dibutuhkan. Rob sudah menjadi langganan setiap tahun. Warga sampai diungsikan ke masjid atau pindah ke rumah tetangga yang tidak terkena rob. Hanya saja, keberadaan pelindung pantai yang dibangun saat ini belum terbukti efektif. Panjang pelindung tidak bisa melindungi sepenuhnya rumah warga yang kebetulan posisinya berada di tepi pantai.
“Kalau ombak naik, tetap air ke depan. Itu batas airnya (menunjuk batang pohon),’’ kata salah seorang warga, Cindrawati, Sabtu (23/1).
Rumah Cindrawati persis di bibir pantai. Bahkan saat pasang, halaman rumahnya adalah air laut. Karena itulah dia membangun pondasi rumah agak tinggi, yang setara dengan badan jalan. Ketika air laut masih di halaman rumah, dia biasanya bertahan di rumah. Jika sudah masuk dalam rumah, barulah sekeluarga pindah.
Menurut dia, pelindung dari bambu yang bawahnya diikatkan ranting kurang efektif jika ingin melindungi rumah warga dari terjangan rob. Dia juga ragu struktur itu bertahan lama. Deretan pelindung bambu yang persis di depan rumahnya, sudah mulai terlepas.
“Di bawah itu dulu ada kayu, sekarang semuanya sudah hilang,’’ katanya sambil menunjuk ke arah pelindung itu.
baca juga : Pemecah Gelombang Dibangun di Kota Maumere. Kenapa Abrasi Masih Terjadi?
Pembangunan pelindung bambu itu bagi Cindrawati kurang ampuh jika dibandingkan dengan mangrove. Di sekitar Jor ada beberapa mangrove yang masih bertahan. Menurut dia sebenarnya warga bisa dilibatkan dalam menanam mangrove. Jika mangrove sudah besar, kayunya bisa dimanfaatkan.
“Kalau yang ini saya tidak tahu siapa yang kerjakan, bukan warga di sini,’’ katanya.
Salah seorang nelayan Amaq Dani bilang, saat sosialisasi dijelaskan bahwa pelindung pantai dari bambu itu menahan lumpur ke laut. Lumpur dari arah jalan yang dibawa air hujan, maupun terkikis saat rob bisa ditahan oleh struktur itu. Di bagian bawah pelindung itu kini sudah mulai terlihat lumput yang tertahan.
“Tapi kalau ada ombak besar tetap masuk, tidak bisa ditahan air pasang,’’ katanya.
Bagi nelayan, keberadaan pelindung bambu itu di satu sisi membantu ketika angin kencang. Bambu itu bisa sedikit menghalangi angin, sehingga nelayan bisa membawa perahunya ke tengah. Tapi di sisi lain ketika pulang, dan angin kencang ke arah daratan, jika tidak hati-hati bisa membentuk dinding itu. Amaq Dani sendiri tidak mempermasalahkan pelindung itu, selama bisa bertahan lama.
“Yang penting kami bisa tetap melaut,’’ katanya.
baca juga : Abrasi Parah, Pulau Mensemut Terancam Tenggelam
Masyarakat Sudah Beradaptasi
Konsorsium untuk Studi Pengembangan dan Partisipasi (Konsepsi) NTB menilai progam pembangunan pelindung pantai di Lombok Timur harus tetap memerhatikan kondisi setempat. Jangan sampai program yang niatnya bagus, tapi kurang mendalam dalam menganalisa masalah di tempat tersebut, bisa mendatangkan masalah baru. Sebagai contoh di beberapa lokasi dibangun tanggul beton. Tanggul itu berfungsi mencegah rob. Hal tersebut terbukti efektif. Hanya saja, ketika terjadi hujan, rumah warga yang berada di pinggir pantai tergenang oleh air hujan.
“Seringkali analisa kurang maksimal, akhirnya yang dibangun strutkur (fisik) saja,’’ kata Direktur Konsenpsi Mohammad Taqiuddin, Jumat (29/1).
Baru-baru ini Konsepsi NTB menganlisa anggaran Pemerintah Provinsi NTB terkait perubahan iklim dan penanggulangan bencana. Konsepsi NTB membedah semua anggaran di organisasi perangkat daerah (OPD). Dari kata kunci perubahan iklim dan penanggulangan bencana itu, Konsepsi NTB menemukan Pemerintah Provinsi NTB sudah bagus dalam mengalokasikan dana, sebesar 20 persen dari anggaran pemerintah. Hanya saja ketika dibedah lebih dalam, anggaran itu sebagian besar untuk pembangunan fisik, yang selama ini kurang tepat dalam penguatan terhadap bencana dan perubahan iklim.
“Sebagian besar fisik. Padahal persoalan perubahan iklim dan bencana itu bukan semata diselesaikan dengan fisik (bangunan),’’ kata Taqiuddin yang juga dosen Universitas Mataram (Unram) ini.
Program yang menyangkut perubahan iklim dan bencana tidak semata melibatkan para teknisi yang akan membangun sarana dan prasarana. Perlu juga memerhatikan aspek sosial, termasuk juga kearifan lokal masyarakat di sana. Seperti kasus di Jor, Desa Jerowaru, Kecamatan Jerowaru, Lombok Timur. Sebenanrya masyarakat di sana sudah bisa beradaptasi dengan bencana (rob). Mereka juga tahu kalander musim kapan akan terjadi rob. Karena itulah, menjelang terjadinya rob mereka sudah siap-siap. Mengamankan barang, mengamankan perahu, dan begitu air laut naik, mereka sudah mengungsi ke tempat aman.
“Pengetahuan masyarakat sudah punya early warning system (sistem peringatan dini). Ini mestinya yang dikuatkan, dan meminta masukan mereka,’’ katanya.
perlu dibaca : Pesona Pantai Sembilan di Tengah Ancaman Abrasi Gili Genting
Sistem yang sudah terbangun di masyarakat inilah yang bisa diadopsi dan dikuatkan oleh pemerintah. Bukan seperti saat ini, datang dengan proyek, diberikan kepada rekanan, lalu membangun struktur itu. Pembangunan fisik itu penting, tapi itu setelah menyerap informasi dan aspirasi masyarakat. Taqiuddin mencontohkan dalam program penguatan petani garam di Desa Paremas. Masyarakat sangat bergantung hidupnya dari garam. Hujan adalah salah satu ancaman. Pembangunan rumah prisma (tempat jemur) kemudian menjadi solusi bersama. Masyarakat bisa memanfaatkan, sekaligus mereka bisa mengurangi risiko ancaman.
“Membangun masyarakat agar cepat pulih itu yang penting. Karena mereka tahu dengan tinggal di daerah berisiko itu akan selamanya terdampak, tapi mereka beradaptasi dan cepat pulih,’’ katanya.
Salah seorang warga di Telong-Elong, Desa Jerowaru, Nurul Laeli mengatakan, pembangunan tanggul di samping rumahnya melindunginya dari rob. Tapi yang lebih mengkhawatirkannya kini adalah hujan. Posisi rumahnya lebih rendah dari badan jalan, di satu sisi rumahnya ditembok oleh tanggul untuk mencegah rob. Rumahnya terjebak di antara air hujan dan air laut.
“Kalau hujan jadi kolam,’’ katanya. Dia berharap ada solusi dari pemerintah agar rumah warga yang berada di dekat tanggul bisa terhindar dari banjir pada musim hujan.
Sedangkan Direktur Lembaga Pengembangan Sumber Daya Nelayan (LPSDN) Amin Abdullah mengatakan, saat sosialisasi program itu dia diundang oleh KKP. Dinding bambu yang dibangun untuk menahan sedimen. Kelak diharapkan akan muncul daratan dari sedimen yang ditahan oleh bambu itu.
“Tapi apakah menjamin kualitasnya, sampai berapa lama bertahan,’’ kata Amin, Senin (1/2).
Amin merasa KKP kurang menggali aspirasi dari masyarakat. Dia juga menyorot pembangunan pelindung di Jor sempat menjadi debat. Ketika di tempat lain sudah rampung, pembangunan di Jor seperti terhenti.
“Jor itu sempat ramai (ribut), baru setelah itu dikerjakan oleh kontraktornya,’’ kata Amin.
Menurut Amin, pembangunan pelindung bambu maupun talud di beberapa daerah pesisir di Lombok Timur harus juga memerhatikan kelestarian mangrove. Mangrove harus masuk dalam program itu. Talud maupun dinding bambu itu akan lebih efektif jika diiringi dengan mangrove. Seperti di beberapa lokasi di Desa Paremas yang sudah tumbuh bagus mangrovenya, tanggul yang dibangun pemerintah bekerja efektif. Air laut yang naik ke permukiman dalam kondisi tenang.
“Konsepnya sih bagus, tapi pelaksanaan yang kacau,’’ kata Amin.
Karena program ini dilaksanakan pihak ketiga, tanpa melibatkan masyarakat sekitar, Amin mengingatkan agar pemerintah memikirkan pemeliharaan. Dia melihat beberapa ranting kayu penahan sudah terlepas. Tidak menutup kemungkinan dinding bambu juga akan lapuk. Kondisi tersebut justru mengancam nelayan. Bambu itu bisa ditabrak perahu, terinjak ketika masyarakat mencari kerang, atau mengganggu keluar masuk perahu nelayan.
“Sekarang, siapa yang harus memelihara. Sampai kapan pemeliharaan itu. Apakah setelah rusak dan roboh kelak, akan diganti lagi ,’’ tanya Amin.