- Pada tulisan sebelumnya, menceritakan soal tambang batu gamping dan pabrik semen akan masuk ke Desa Satar Punda. Belum beroperasi saja, di masyarakat sudah terjadi masalah sosial. Warga terpecah, ada pro dan kontra. Mereka jadi tak saling tegur. Bahkan, warga yang menolak pun dicoret dari lingkaran adat dan tidak dilibatkan dalam setiap ritual adat.
- Perkampungan pun akan tergusur atau istilah halusnya relokasi atas kehadiran tambang batu gamping yang jadi bahan baku pembuatan semen ini. Rumah contoh sudah dibuat. Warga yang menolak tak mau pindah. Mereka akan tetap bertahan di tanah warisan leluhur.
- Agas Andreas, Bupati Manggarai Timur, bilang, awalnya mendapat informasi, masyarakat tidak mau relokasi tetapi ketika mereka melihat rumah contoh relokasi jadi mau pindah.
- Umbu Wulang Tanamahu Paranggi, Direktur Eksekutif Walhi NTT, mengatakan, dalam Perda RTRW Manggarai Timur, wilayah itu bukan masuk kawasan industri. Keberatan itu sudah Walhi NTT sampaikan pada sidang amdal.
Pagi itu, cuaca cerah berawan. Sesekali rintik hujan membasahi tanah Flores. Menuju Kampung Lengko Lolok, Desa Satar Punda, jalanan berbatu menanjak. Praktis masyarakat di kampung yang pernah dikepung tambang mangan ini hanya mengandalkan sepeda motor sebagai satu-satunya alat transportasi.
Sebuah mobil perusahaan tiba dan parkir di areal lapang, samping rumah adat. Pagi pekan pertama Januari itu suasana tampak sepi. Sebagian warga masih beraktivitas di kebun dan mencari kayu bakar.
“Desa Satar Punda terkenal sebagai penghasil kayu bakar jenis Lamtoro,” kata Klemens Salbin,warga Kampung Lengko Lolok,Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur saat ditemui Mongabay.
Hampir setiap hari, katanya, ada mobil datang ke kampung membeli kayu bakar dari masyarakat untuk dijual ke Ruteng dan daerah lain. Lamtoro jadi sumber penghasilan tambahan selain jambu mete.
Kampung Lengko Lolok, dibangun di dataran dengan keliling perbukitan nan hijau. Di bagian timur dan barat kampung ini masih terlihat bekas eksploitasi tambang mangan.
Kini, mau hadir perusahaan, PT Istindo Mitra Manggarai (IMM) yang akan mengambil batu gamping untuk jadi bahan baku semen. Kehadiran tambang ini membuat kehidupan masyarakat terbelah. Ada pro dan kontra kehadiran tambang.
Isfridus Sota, warga Lengko Lolok, terang-terangan menolak kehadiran tambang. Dia tak gentar, walau hanya berdua saudaranya yang menolak.
“Saya tidak menjual lahan. Seandainya lahan saya jual ke perusahaan, bagaimana kehidupan anak cucu saya ke depan? Apalagi tambang sudah mencakupi hampir seluruh Lengko Lolok,” katanya.
Sejak ada tambang, katanya, antar warga bertikai. Dulu, kata Isfrisdus, warga tak pernah bersengketa tetapi sejak ada tambang warga kampung sering berselisih paham hingga berujung ke pengadilan bahkan ada yang dipenjara.
Dulu, dia masuk di kepengurusan adat tetapi sejak menolak tambang dikeluarkan dari lingkaran adat. Tindakan ini, katanya, membuat dia kesal karena tak sesuai pesan leluhur mereka.
Isfridus menyebutkan, ketua adat secara sepihak mengeluarkan dari tatanan adat. Padahal, katanya, pendirian kampung adat Lengko Lolok berkat peran dari kakek dan orangtuanya.
“Saya merasa diasingkan dari lingkaran adat dan dimusuhi tetangga yang menerima kehadiran tambang. Sampai kapanpun kami tidak akan bersatu lagi dalam komunitas adat.”
Dia bilang, hidup sudah berkecukupan dari bertani dan beternak. Hasil panen padi dan jagung, katanya, cukup untuk makan mereka setahun. Ternak sapi, katanya, dia jual buat membiayai kebutuhan keluarga selain hasil panen jambu mete.
“Bagaimana kami mau menjual lahan padahal kami saja kekurangan.Lebih baik kami hidup sebagai petani dan peternak, itu sangat cocok dengan kemampuan kami,” katanya.
Tahur Matur Gusmustamin, Tua Teno–pemangku adat urusan tanah adat, upeti adat dan ritual adat–Lengko Lolok, mengakui, beberapa kali ritual adat ‘pemberian’ (bagian persembahan) untuk ritual adat dari Isfridus tidak diterimanya.
“Isfridus om saya dan dia dengan adiknya saja yang menolak kehadiran tambang. Saya ketemu dengan dia di jalan saja tidak saling tegur. Saya tidak tahu juga alasan mereka berdua menolak tambang.”
Baca juga: Kala Tambang dan Pabrik Semen Bakal Masuk Manggarai Timur [1]
Perubahan tata ruang
Kalau melihat dari RTRW Manggarai Timur, peruntukan kawasan juga bukan untuk tambang batu gamping.
Berdasarkan Perda Nomor 6/2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Manggarai Timur 2012-2032 dan hasil tumpang susun IUP IMM dengan peta pola ruang RTRW Manggarai Timur 2012-2032 disebutkan IUP IMM seluas 599 hektar.
IUP IMM ini, masuk kawasan lahan kering seluas 500,459 hektar, permukiman 12,899 hektar, kawasan resapan air 75,633 hektar dan sempadan pantai 10,160 hektar.
IUP eksplorasi yang diusulkan jadi IUP operasi produksi oleh IMM seluas 585,70 hektar. Wilayah sempadan pantai tak masuk dalam usulan IUP operasi produksi hingga terjadi penciutan wilayah 13,3 hektar.
Rekomendasi dari Tim Koordinasi Penataan Ruang Daerah Manggarai Timur Nomor Ekbang.610/751/IX/2020 menyebutkan, koordinat lokasi memiliki peruntukan ruang sebagai kawasan pertambangan non logam batu gamping.
Umbu Wulang Tanamahu Paranggi, Direktur Eksekutif Walhi NTT, mengatakan, dalam Perda RTRW Manggarai Timur, wilayah itu bukan masuk kawasan industri.
“Keberatan itu sudah kami sampaikan di sidang amdal. Kami menolak menandatangani berita acara amdal karena tidak sesuai tata ruang,” katanya kepada Mongabay.
Agas Andreas, Bupati Manggarai Timur, mengaku, soal tambang batu gamping sudah ada rekomedasi dari badan pertimbangan di Manggarai Timur untuk tata ruang.
Setelah ada pertimbangan itu, katanya, dia mengeluarkan izin lokasi baru dan pembayaran tanah di masyarakat mulai jalan.
Senada dengan Heremias Dupa, Ketua DPRD Manggarai Timur. Dia bilang, peruntukan tambang mangan sudah sesuai Perda RTRW.
Baca juga: Gubernur NTT Didesak Batalkan Izin Tambang dan Pabrik Semen di Manggarai Timur. Kenapa?
Relokasi warga?
Bagaimana nasib warga yang rumah dan lahan masuk dalam area tambang? Relokasi mulai terlihat. Sebuah rumah contoh dibangun di Serise, depan pintu masuk eks dermaga perusahaan tambang mangan.
Peta Geologi Detail dalam lampiram andal IUP eksplorasi IMM jadi IUP operasi produksi menggambarkan bawah perkampungan Lengko Lolok masuk dalam kawasan ini.
Tahur bilang, sudah meminta Kampung Lengko Lolok tidak boleh jadi areal tambang. Kalau lokasi tambang dekat perkampungan maka mereka akan relokasi.
Menurut dia, pemangku adat sudah sepakat dengan perusahaan tambang. Mereka meminta agar rumah adat, tugu kampung di depan dan belakang, sumur maupun pemakaman umum tak dibongkar.
“Kalau direlokasi, saat ritual adat kami kembali lagi ke kampung karena kampung juga tetap ada. Ini kesepakatan antara ketua adat bersama enam suku dengan perusahaan,” katanya.
Tahur meminta, pemukiman jangan dibongkar tetapi dipagari meskipun warga relokasi ke tempat lain.
Perusahaan, katanya, nanti membangun rumah bagi 75 keluarga, keluarga lain yang baru usul, perusahaan hanya menyiapkan lahan.
“Biaya pemasangan listrik di semua rumah di kampung ini juga dibayar perusahaan. Hanya dua orang yang membayar sendiri karena menolak tambang.”
Isfridus lantang katakan, tak ingin relokasi. Kampung Lengko Lolok, susah payah didirikan leluhur mereka apalagi sudah dibasahi dengan darah hewan kurban. Dia akan tetap bertahan, tak mau menjual lahan apalagi relokasi.
Baca juga : Warga dan WALHI NTT Tolak Tambang dan Pabrik Semen di Manggarai Timur. Kenapa?
Warga Kampung Luwuk, Maksimus Rambung juga senada dengan Isfridus. Dia menolak relokasi karena akan membuat warga adat tercerabut dari tata nilai budaya Manggarai.
Budaya Manggarai, katanya, ditopang tiga tungku yakni uma peang (tanah ulayat/kebun), wae teku (sumber air), dan beo (kampung).
“Nilai-nilai tak terukur ini yang kami khawatirkan bakal hilang jika tambang batu gamping dan pabrik semen datang,” katanya.
Bupati bulan lalu bilang. mendapat informasi awalnya masyarakat tidak mau relokasi tetapi ketika melihat rumah contoh mereka mau pindah.
“Warga Kampung Luwuk memang tidak akan relokasi tetapi masyarakat juga sepertinya perkembangan terakhir bersedia untuk relokasi juga,” katanya.
Melky Nahar, Kepala Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) kepada Mongabay mengatakan, dari data yang mereka peroleh, wilayah izin perusahaan itu mencakup perkampungan warga Lengko Lolok, yang membuat relokasi kampung jadi tidak terhindarkan.
Bupati pun, katanya, telah menyatakan dukungan soal relokasi itu. Melky bilang, relokasi tak sekadar soal pindah rumah, tetapi komunitas tercerabut dari kampung mereka yang punya nilai budaya dan historis.
“Relokasi itu juga berpotensi melahirkan masalah sosial baru, ada resistensi dari warga-warga di kampung sekitar lokasi baru, yang kini mulai mencuat.” (Selesai)
*Tulisan ini merupakan liputan Fellowship Pasopati, kolaborasi Mongabay Indonesia dan Yayasan Auriga Nusantara.
*****
Foto utama: Masyarakat Kampung Lengko Lolok, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur,NTT sedang mengumpulkan kayu lamtoro untuk dijual menjadi kayu bakar. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.