Kisah Kota Kapur, Tentang Timah yang Terus Digali

 

  • Kota Kapur, sebuah desa di Pulau Bangka, Kepulauan Bangka Belitung, yang cukup dikenal terkait sejarah Kedatuan Sriwijaya, sepanjang sejarahnya selalu digali timahnya.
  • Setelah Reformasi 1998, penambangan timah di Kepulauan Bangka Belitung, termasuk di Kota Kapur cukup marak. Namun penambangan timah ini tampaknya gagal memakmurkan warga Desa Kota Kapur.
  • Demi mendapatkan timah, sejumlah warga Desa Kota Kapur mencoba menambang timah di situs Kota Kapur.
  • Tidak semua penambang timah di Kepulauan Bangka Belitung hidupnya berakhir bahagia. Banyak yang meninggal dunia, bangkrut [miskin], atau terserang sejumlah penyakit.

 

Kota Kapur, sebuah desa di Pulau Bangka, Kepulauan Bangka Belitung, cukup dikenal luas masyarakat terkait sejarah Kedatuan Sriwijaya. Namun, desa yang menghadap Selat Bangka ini seperti “dikutuk”. Sepanjang sejarahnya selalu menghadapi persoalan timah, mengapa?

“Setelah reformasi 1998, penambangan timah di sini [Kota Kapur] cukup marak,” kata Badarudin, pemuda Desa Kota Kapur, kepada Mongabay Indonesia, akhir Januari 2020 lalu.

Saat ini, penambang timah di Kota Kapur mulai berkurang. “Disebabkan menambang tidak menguntungkan. Banyak ruginya. Jadi, banyak warga beralih profesi,” jelasnya.

Misalnya seseorang menambang timah sukses atau menghasilkan keuntungan. Lalu, keuntungan tersebut digunakan untuk membuka lahan baru. “Ternyata di lahan tersebut tidak menghasilkan. Jadinya merugi. Penasaran. Buka lagi tambang. Tetap merugi. Akhirnya bangkrut atau memiliki utang. Seperti itu nasib penambang timah di sini,” katanya.

Baca: Bukan Timah atau Sawit, tapi Lada dan Durian yang Membuat Warga Kota Kapur Kembali Bergairah

 

Candi Kota Kapur yang berada di tengah perkebunan karet Kota Kapur di Pulau Bangka, Kepulauan Bangka Belitung. Foto: Nopri Ismi/ Mongabay Indonesia

 

Kenapa? Mereka mencari lokasi tambang berdasarkan “tebakan” tidak menggunakan teknologi. Mereka mencari lokasi berdasarkan eks tambang di masa Belanda dan PT. Timah. Misalnya, kawasan Sawah Lama, Telok Baok, Kelekak Cempedak, dan Air Batu.

“Saat ini masih ada satu-dua lokasi penambangan, di dalam desa,” ujarnya.

Pola penambangan ini dilakukan warga Desa Kota Batu, umumnya setelah ada pihak yang mau meminjamkan dana. Uang digunakan untuk membeli mesin diesel dan biaya operasional.

Para penambang ini selain membayar utang, juga berkewajiban menjual hasil timah kepada si pemberi pinjaman.

“Tahun 2005 merupakan masa puncak hasil penambangan timah di desa kami. Sekitar 80 persen warga terlibat,” katanya.

Desa Kota Kapur yang masuk Kecamatan Mendo Barat, Kabupaten Bangka, memiliki luas 88,38 kilometer persegi dengan jumlah penduduk 2.183 jiwa.

Baca: Melacak Pemburu Burung Kicau di Kota Kapur

 

Lubang-lubang eks tambang di Desa Kota Kapur. Di lokasi ini masyarakat menemukan berbagai benda sejarah, seperti peralatan menambang timah di masa Belanda atau keramik kuno. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Situs Kota Kapur

Demi mendapatkan timah, sejumlah warga Desa Kota Kapur berani melakukannya di mana saja. Termasuk, di situs Kota Kapur.

September 2017, masyarakat desa sempat terkejut ketika sejumlah warga mencoba menambang timah di situs sejarah terkait Kedatuan Sriwijaya tersebut. “Untungnya warga lain mencegah mereka. Para penambang itu berdalih melakukannya untuk mengatasi persoalan ekonomi,” kata Badaruddin.

Situs Kota Kapur merupakan tempat ditemukannya Prasasti Kota Kapur yang dibuat Kedatuan Sriwijaya. Prasasti ini dibuat tahun 686 Masehi, ditemukan J.K. van der Meulen pada Desember 1892. Penemuan prasasti ini jauh sebelum penemuan prasasti penting lainnya milik Kedatuan Sriwijaya, seperti Prasasti Kedukan Bukit, Prasasti Talang Tuwo, dan Prasasti Telaga Batu.

Selain situs Kota Kapur, para penambang timah juga berupaya menambang di Bukit Besar [200 meter] yang masih berada di Desa Kota Kapur. Padahal dalam kepercayaan masyarakat, Bukit Besar merupakan kawasan hutan larangan. Artinya, akan ada dampak gangguan jiwa jika membuka hutan bukit tersebut.

“Belum ada yang menambang di bukit, tapi sudah ada di kaki bukit,” kata Badarudin.

Sebagai wilayah permukiman tua, para penambang banyak juga menemukan benda-benda purbakala seperti keramik atau benda kuno lainnya. Bahkan, di lokasi penambangan rakyat yakni Sawah Lama dan Air Tebat, ditemukan sejumlah alat penambangan dari masa Belanda, seperti sekop dodos yang terbuat dari kayu dan keramik.

Baca: Selain Rusak Lingkungan, Tambang Timah di Bangka Juga Makan Korban Jiwa

 

Kawasan Sawah Lama di Desa Kota Kapur yang timahnya terus digali dari masa kolonial Belanda. Setelah reformasi, ratusan masyarakat menambang timah di sini. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Bambang Budi Utomo, arkeolog lahan basah, kepada Mongabay Indonesia, mengatakan penaklukan Kota Kapur oleh Kedatuan Sriwijaya, bukan hanya terkait pelabuhan, juga keberadaan timah.

Sebab timah saat itu merupakan logam yang sangat dibutuhkan oleh berbagai suku bangsa di dunia, sebagai bahan baku peralatan rumah tangga dan keagamaan yang terbuat dari perunggu. Sementara perunggu adalah campuran timah dan tembaga.

Kekayaan timah di Kota Kapur dan sekitarnya, di masa lalu juga dimanfaatkan oleh Kesultanan Palembang hingga Inggris dan Belanda. Sebagai informasi, timah kali pertama digunakan sebagai bahan baku perunggu kemungkinan di wilayah Kaukasus di Eurasia sekitar 5800- 4600 SM.

Sementara tradisi pengelolaan perunggu ini dikenal masyarakat Yunnan di China sekitar 1.400 SM. Seperti diketahui manusia awal [di Nusantara] sebagian berasal dari Yunnan.

“Jadi sangat mungkin jika sebaran manusia dari Yunnan ke wilayah Kepulauan Selatan [Nusantara] terkait potensi logam seperti timah, selain besi dan emas. Dengan begitu kemungkinan besar Pulau Bangka dan Belitung sudah dikunjungi para pendatang jauh sebelum masehi,” kata Jessix Amundian, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] Bangka Belitung.

Baca: Dampak Radioaktif Tambang Timah, Masyarakat Bangka Rentan Terpapar Corona?

 

Sungai Menduk di Kota Kapur merupakan sungai di masa Kedatuan Sriwijaya hingga Pemerintahan Belanda yang ramai dengan aktivitas perdagangan. Sungai ini bermuara ke Selat Bangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Hanya penderitaan

Jessix Amundian menjelaskan apa yang dialami eks penambang timah di Desa Kota Kapur, juga terjadi di beberapa wilayah lain di Kepulauan Bangka Belitung.

“Kami tengah mendata persoalan tersebut. Misalnya terkait korban jiwa yang dialami para penambang timah,” katanya.

“Mereka yang menjadi korban [tewas] tentunya menyisakan kedukaan dan penderitaan bagi keluarga yang ditinggalkan. Anak-anak selain kehilangan sosok ayah, juga biaya hidup dan pendidikan,” jelas Jessix.

Belum lagi kondisi kesehatan para penambang timah itu. Sebab saat ini jumlah penyakit tertentu, seperti kanker dan TBC mulai meningkat.

Baca juga: Lempah Kuning, Harmonisnya Manusia dengan Alam dalam Kuliner

 

Bukit Besar yang tingginya sekitar 200 meter, yang dulunya hutan larangan masyarakat Desa Kota Kapur, tak luput dari perambahan untuk kebun sawit dan tambang timah. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Pada 2020, perkiraan insiden TBC di Bangka Belitung sekitar 5.923 kasus dengan skala 390 per 100.000 penduduk.

Sementara penderita kanker terus meningkat. Erzaldi Rosman, Gubernur Kepulauan Bangka Belitung, pernah mengatakan jumlah penderita penyakit kanker di Bangka Belitung setiap tahunnya mengalami peningkatan. “Tahun 2015, terdata sekitar 16 pasien, 2016 [44 pasien], 2017 [206 pasien] dan 2018 [800 pasien]. Penderita kanker otak cukup banyak,” katanya, dikutip dari babelprov.go.id, edisi 24 Januari 2019.

Memang harus ada penelitian, apakah para pekerja tambang mengalami berbagai penyakit seperti TBC dan kanker tersebut. “Tapi karena penambangan timah melepaskan banyak unsur radioaktif alamiah ikutan timah, seperti zirkon, monasit, xenotim, ilmenit dan lainnya, sangat mungkin para pekerja menderita sejumlah penyakit. Tapi ini harus dibuktikan,” papar Jessix.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,