- Setelah kebijakan penghentian ekspor benih bening lobster (BBL), harga benih turun sampai 100 persen di tingkat nelayan
- Nelayan budidaya juga kesulitan untuk menjual hasil budidaya mereka karena pandemi COVID-19 yang berdampak pada permintaan dari luar negeri, termasuk juga sektor pariwisata yang mati suri
- Di masa pandemi dan penghentian ekspor benih bening lobster ini, pemerintah diharapkan bisa memberikan peningkatan kapasitas pada nelayan budidaya, termasuk dukungan untuk pelatihan pembuatan pakan
- Satuan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (SPSDKP) Lombok Timur berharap semua pihak ikut mengawasi agar tidak terjadi penyelundupan BBL secara illegal. Penyelundupan ini merugikan negara dan bisa terjerat kasus hukum
Hasan Saipul Rizal seolah pamer. Pagi-pagi buta dia mengirim video yang memperlihatkan dia sedang panen lobster. Ukuran jumbo. Satu ekor saya perkirakan beratnya lebih dari 1 kg. Satu persatu dia mengangkat lobster, menunjukkan beratnya. Diselingi promosi agar siapa saja yang berminat untuk membeli lobster bisa menghubunginya. Mumpung sedang murah.
Di media sosial Facebook, dia juga aktif mempromosikan panen lobster, harga dan kondisi nelayan budidaya lobster yang ada di Kecamatan Jerowaru, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB).
“Sekarang (penjualan lobster) mengandalkan pasar lokal. Alhamdulillah stok ini sudah habis dikirim ke Jakarta,’’ kata Hasan, Rabu (10/2).
Pemuda yang akrab disapa Hasan Gauk ini memang cukup fenomenal untuk urusan lobster, khususnya di awal-awal keran ekspor benih bening lobster (BBL) dibuka. Bersama para aktivis di Lombok Timur, dia bergabung dalam salah satu koperasi. Membantu para nelayan agar mendapatkan izin untuk penangkapan BBL, termasuk juga agar koperasi bisa menjadi pemasok ke perusahaan-perusahaan. Belakangan tidak berjalan mulus, Hasan banting setir. Dia kini lebih aktif menyuarakan nelayan budi daya.
“Bukan hanya lobster, tapi (hasil perikanan dari) nelayan Lombok bagian selatan pada umumnya,’’ katanya.
baca : Ekspor Benih Lobster Berhenti Pasca Penangkapan Menteri KP, Masalah Tetap Ada
Belajar dari pengalaman urusan benih lobster, posisi nelayan sangat lemah. Harga dipermainkan orang-orang yang ditunjuk perusahaan. Nelayan hanya mendapatkan untung sedikit. Di satu sisi, janji dari perusahaan dan pemerintah untuk membantu nelayan tidak kunjung datang.
Hingga kemudian skandal suap ekspor BBL mencapai klimaks dengan ditangkapnya Menteri Kelautan dan Perikanan dan beberapa pihak terkait. Nelayan penangkap benih lobster dan pembudidaya resah. Menunggu kepastian kebijakan dari menteri yang baru. Bersama teman-temannya, aktivis dan nelayan, Hasan Gauk menginisasi Serikat Nelayan Independen (SNI) Lombok.
“Pengalaman kemarin-kemarin menjadi pelajaran berharga bagi kami,’’ katanya.
Pasca penghentian sementara kegiatan ekspor BBL oleh KKP melalui Surat Penetapan Waktu Pengeluaran (SPWP) No. B.22891/DJPT/PI.130/XI/2020, nelayan lobster resah. Sebagian nelayan sudah terlanjur investasi di keramba, pocong, mesin genset, dan perlengkapan lainnya. Mereka berharap keran ekspor tetap dibuka.
Di sisi lain, setelah penghentian ekspor, harga BBL sangat murah. Para nelayan penangkap BBL tidak memiliki informasi yang cukup. SNI Lombok berusaha menjembatani antara nelayan penangkap BBL dan pembudidaya. Terkait harga memang terjadi penurunan setelah ekspor ditutup. Tapi ada jaminan benih yang ditangkap bisa terbeli.
baca juga : Akankah Menteri KP Baru Hapus Kebijakan Ekspor Benih Lobster?
Penjualan Digital
Begitu juga dengan nelayan pembudidaya. Mereka selama ini menunggu pengepul, karena tidak memiliki akses untuk menjual lobsternya. Mereka juga tidak tahu cara mempromosikan lobster budidaya mereka. Di satu sisi, ketika pandemi COVID-19, para pengepul yang biasa mengambil lobster, berhenti beroperasi. Permintaan menurun seiring rendahnya permintaan dari luar negeri, khususnya China. Sementara di pasar lokal, dari sektor pariwisata juga sedang tiarap.
“Karena itulah kami gencar membantu nelayan jualan. Termasuk kami menyasar para kelas menengah di Lombok,’’ ujarnya.
Hasan juga memanfaatkan marketplace, termasuk juga sistem Cash On Delivery (COD). Dia punya tim, anak-anak muda yang mengantarkan pesanan lobster ke pembeli. Dalam sepekan kadang bisa menjual hingga 10 kilogram. Jumlah ini cukup untuk menghidupi dapur para nelayan.
“Sistem ini dulu mungkin tidak pernah dipikirkan nelayan. Mereka tahunya budi daya, nanti ada pengepul yang ambil hasilnya,’’ kata Hasan.
Saya membuktikan ucapan Hasan. Saya memesan lobster, termasuk juga orderan salah seorang teman. Tiga jam kemudian pesanan datang. Dalam kondisi hujan lebat, tim pengantaran pesanan tiba di Mataram.
“Kita berdayakan anak-anak muda di sini,’’ katanya.
Kebijakan penghentian ekspor BBL merugikan nelayan. Di satu sisi, penjualan lobster dewasa sedang lesu akibat pandemi. Sebenarnya, jika sistemnya baik hingga ke bawah, ekspor BBL itu mampu mensejahterakan nelayan. Menurut Hasan harus ada kepastian pembukaan ekspor lobster. Belajar dari pengalaman tahun 2020, perusahaan yang diberikan kuota harus benar-benar selektif. Termasuk juga memperketat pengawasan di bawah.
Karena belum ada kepastian ekspor, seharusnya pemerintah fokus pada nelayan budidaya. Kendala nelayan budidaya yang paling berat adalah pakan. Harga pakan tinggi, teknologi pembuatan pakan belum dikuasai nelayan. Selain itu keramba yang mereka bangun sendiri kondisinya kurang bagus.
“Semestinya jangan diam, berikan program ke nelayan budidaya,’’ katanya.
perlu dibaca : Saat Nelayan Bicara tentang Kebijakan Ekspor Lobster, Apa Katanya?
Harga BBL Anjlok
Pasca penghentian ekspor, harga BBL turun drastis terjadi di semua tempat di Lombok. Nelayan di Selong Belanak, Kecamatan Praya Barat Daya, Kabupaten Lombok Tengah juga merasakan dampak penutupan ekspor. Di desa-desa nelayan, banyak oknum yang memanfaatkan penutupan ekspor itu untuk menekan harga.
“Pasca penutupan kran ekspor BBL banyak oknum yang memanfaatkan isu tersebut untuk menekan harga BBL di tingkat nelayan tangkap, yang tentu saja membuat pendapatan nelayan tangkap makin terpuruk, apakah solusi untuk masalah ini,’’ kata salah seorang nelayan Sarjan.
Nelayan tangkap BBL memang sangat tergantung pada ekspor. Mereka belum memiliki jejaring untuk menjual benih ke nelayan budidaya. Jumlah nelayan budidaya juga terbatas. Mereka khawatir benih yang mereka tangkap tidak bisa tertampung seluruhnya.
“Ke manakah seharusnya hasil tangkapan BBL ini distribusikan saat ini? Jika untuk kebutuhan budi daya apakah pembudidaya mampu menampung seluruh hasil tangkapan nelayan setiap harinya,’’ katanya.
Nelayan lainnya, Mariana bilang, harga BBL saat ini terlalu rendah. Biaya investasi yang dikeluarkan untuk membangun keramba dan perlengkapannya, termasuk bahan bakar tidak sebanding dengan penghasilan. Untuk BBL jenis pasir, saat ini harganya Rp3.000/ekor, dan jenis mutiara Rp10.000/ekor. Terjadi penurunan 100 persen dari harga ketika ekspor BBL masih dibuka.
“Kami tidak pernah tahu tentang apa masalah pemerintah di pusat. Kami hanya ingin pemerintah, terutama KKP untuk menstabilkan masalah harga BBL di tingkat nelayan tangkap yang sangat murah,’’ katanya.
baca juga : Pemerintah Harus Alihkan Program Prioritas dari Ekspor Benih Lobster
Saatnya Budi daya
Pasca terbitnya kebijakan penghentian sementara ekspor benih lobster, jajaran KKP turun sosialisasi. Pekan lalu, Satuan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (SPSDKP) Lombok Timur mengumpulkan nelayan tangkap BBL se-Lombok Tengah. Salah satu isu yang berkembang di nelayan bahwa setelah penghentian ekspor. Nelayan dilarang menangkap benih lobster. Satuan PSDKP menegaskan, nelayan masih bisa menangkap benih lobster untuk dimanfaatkan pribadi dan dijual di para pembudidaya.
“Yang dilarang sekarang itu ekspor,’’ kata Kepala Satuan PSDKP Lombok Timur Yudi Gusworo Saputro.
Yudi bilang, kemungkinan besar Permen KP No.12/2020 tetap berlaku namun regulasinya akan mengalami perbaikan-perbaikan. Fokus menteri saat ini memaksimalkan kegiatan budidaya agar Indonesia tidak tergantung pada penjualan benih.
“Sampai saat ini keberpihakan pemerintah tetap dan masih kepada nelayan, terbukti dengan tidak adanya pelarangan kegiatan penangkapan namun jalur distribusi harus sama-sama kita awasi jangan sampai ada kegiatan illegal seperti penyelundupan,’’ kata Yudi.
Terkait harga jual BBL hasil tangkapan nelayan yang sangat rendah saat ini, ada dua faktor yang menyebabkan.Pertama, penutupan kran ekspor membuat jumlah BBL hasil tangkapan sangat melimpah di pasaran.Tentunya para pembeli tidak tahu akan mendistribusikan ke mana BBL tersebut, selain ke pelaku budidaya.
Dalam kondisi ini akan berlaku hukum pasar, barang melimpah harga rendah, barang sedikit harga akan tinggi. Kedua, adanya oknum yang dengan sengaja memanfaatkan situasi saat ini untuk kepentingan sendiri. Mereka menyebar isu di tengah nelayan jika BBL itu tidak bisa dijual. Sehingga nelayan mau melepas dengan harga rendah.
“Kami mengajak seluruh elemen masyarakat terutama nelayang tangkap BBL untuk bersinergi dan bersama-sama bekerjasama mengawasi segala hal yang terkait dengan BBL terutama alur distribusinya,’’ katanya.
***
Keterangan foto utama : Benih lobster yang sudah muncul pigmennya seperti ini tidak laku untuk dijual ke perusahaan eksportir. Mereka menjual ke pembudidaya lokal atau melepas di keramba milik mereka. Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia