- Mangrove berperan dalam hal ketahanan mitigasi dan adaptasi nasional terhadap perubahan iklim karena mangrove menyimpan karbon 800-1200 ton setara karbon/ha atau 4-5 kali dari hutan daratan
- Kemenko Maritim dan Investasi menjadi koordinator rehabilitasi mangrove di Indonesia bersama lembaga lain seperti KLHK, KKP dan BRGM
- Sepanjang tahun 2021-2024 BRGM memiliki mandat rehabilitasi prioritas seluas 600 ribu hektar yang tersebar di 9 provinsi, dengan anggaran Rp18,5 triliun untuk persiapan dan Rp5,8 triliun untuk biaya tahunan.
- KLHK menjadi walidata mangrove yang dirangkum dalam one map mangrove sebagai acuan pengelolaan dan rehabilitasi lahan kritis mangrove bersama. Selain itu, perlu pembagian peran, standar harga satuan, dukungan anggaran.
Indonesia adalah dengan negara dengan luasan mangrove terbesar dan keragaman jenis tertinggi di dunia, dengan seluas 3,49 juta ha atau sekitar 21 persen mangrove dunia seluas 16,53 juta Ha. Sayangnya terdapat sekitar 1,82 juta ha yang dalam kondisi rusak.
Dengan situasi ini maka Indonesia pun memiliki tanggung jawab besar dalam merehabilitasi mangrove
“Ini menambah alasan kenapa kita secara politis dan secara bersama-sama merehabilitasi mangrove yang ada dan mempertahankan yang masih ada. Yang kritis memang harus segera direhabilitasi dan yang sudah ada dipertahankan,” ungkap Budi S. Wardhana, Deputi Perencanaan dan Kerjasama Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), dalam media gathering online 2021 bertema ‘Konservasi Mangrove, Mitigasi Bencana dan Perubahan Iklim’ yang dilaksanakan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) bersama the Society of Indonesia Enviromental Journalist (SIEJ), Kamis (11/2/2021).
Menurut Budi, ekosistem mangrove dan gambut harus direhabilitasi dan direstorasi karena mempengaruhi ketahanan adaptasi nasional terhadap perubahan iklim. Dalam hal ini mencegah terjadinya subsiden, banjir, kebakaran hutan dan lahan dan memperkuat ketahanan wilayah pantai dari abrasi dan kenaikan muka air laut.
Gambut dan mangrove juga menyediakan berbagai macam jasa ekosistem, termasuk siklus nutrisi, regulasi air, pembentukan tanah, produksi kayu, tempat pemijahan ikan, ekowisata dan penyimpanan karbon.
“Jadi rehabilitasi, perlindungan dan pengelolaan lestari mangrove merupakan solusi berbasis alam atau nature base solution. Selain itu juga bertujuan untuk melindungi, mengelola, keanekaragaman hayati, juga fungsi-fungsi kehidupan lainnya yang berada di dalam dua ekosistem penting ini,” katanya.
baca : Ini Upaya Kalimantan Barat untuk Jadi Pusat Mangrove Dunia
Menurut Budi, upaya rehabilitasi adalah langkah yang terakhir, sementara yang terpenting adalah pengelolaan mangrove yang berkelanjutan.
“Jadi strategi rehabilitasi juga kita lakukan bertahap, yang pertama, mengurangi faktor penyebab degradasi. Jadi kalau kita bisa mengurangi faktor degradasi mungkin natural regeneration itu akan terjadi.”
Dengan natural regeneration itu, lanjut Budi, dapat menunjang faktor-faktor kemungkinan dimana mangrove bisa merehabilitasi sendiri. Contohnya dengan menahan supaya tidak terjadi degradasi lebih lanjut dengan mengubah pola penggunaan lahan.
“Paling berat adalah totally artificial refutation. Memang perlu pendanaan yang sangat besar kalau sampai pada tahapan ini, karena secara kondisi pertumbuhan mangrove mungkin sudah berubah sama sekali, dari tadinya secara bertahap terjadi suksesi dari Api-api ke Sonneratia, terus Rhizophora dan Bruguiera ke arah pantai dan daratan dimana beberapa kondisi yang memungkinkan struktur mangrove-nya tumbuh secara alami sudah tidak ada,” tambahnya.
Sepanjang tahun 2021-2024 BRGM memiliki mandat rehabilitasi prioritas seluas 600 ribu hektar yang tersebar di sembilan provinsi, dengan anggaran Rp18,5 triliun untuk persiapan prakondisi, perencanaan, membangun data base. Sedangkan biaya untuk pemeliharaan, pendampingan dan penguatan ekonomi masyarakat sebesar Rp5,8 triliun.
Menurut Budi, meski terlihat besar, namun dianggap sangat efisien dalam pengendalian perubahan iklim ini dibandingkan sektor kehutanan, yaitu tiap pengeluaran biaya satu dolar AS dapat menghindari emisi sebesar rata-rata 1,2 ton dibanding sektor kehutanan hanya 117 kg per satu dolar AS-nya.
“Ini dihitung dari potensi penggunaan emisi sebesar 655 juta ton dengan estimasi kebutuhan biaya 5,56 miliar dolar. Rehabilitasi dan regulasi dua ekosistem ini (gambut dan mangrove) untuk pendekatan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim memang memegang peranan sangat penting,” tambahnya
baca juga : Harapan Baru Rehabilitasi Mangrove di Lokasi Kritis
Kus Prisetlahadi, Deputi Pengelolaan Perubahan Iklim dan Kebencanaan Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi juga menjelaskan pentingnya peran mangrove dalam meredam laju perubahan iklim.
Konservasi mangrove menurutnya dapat mengurangi 10 hingga 31 persen dari estimasi emisi tahunan dari sektor penggunaan lahan di Indonesia. Dimana mangrove menyimpan karbon 800-1200 ton setara karbon/ha atau 4-5 kali dari hutan daratan, sementara 80 persen karbon tersimpan di dalam tanah.
“Mangrove juga menjadi pelindung daratan dari naiknya permukaan air laut, angin kencang, ombak besar akibat perubahan iklim. Namun di sisi lain, konversi mangrove menjadi tambak baru akan menyebabkan karbon yang tersimpan di dalam tanah juga terekspose ke udara, sehingga menghasilkan emisi yang tinggi,” tambahnya.
Kemenko Marves sendiri menargetkan rehabilitasi mangrove di tahun 2021 seluas 150.000 ha. Usulan provinsi yang menjadi prioritas program rehabilitasi mangrove dengan kombinasi kriteria lahan kritis, daerah yang rawan bencana tsunami, daerah terancam abrasi pantai dan memiliki pelabuhan Green Port/CSR perusahaan.
Meski potensinya besar, namun menurut Muhammad Ilman, Direktur Program Kelautan YKAN, Indonesia juga negara dengan kerusakan mangrove terluas sehingga membutuhkan pendekatan khusus dalam penanganannya.
“Dengan restorasi mangrove ini kita secara langsung berkontribusi pada upaya-upaya internasional yang kita sepakati bersama antara lain dengan SDGs,” katanya.
perlu dibaca : Padat Karya Penanaman 600 Ribu Hektare Mangrove di 34 Provinsi Dimulai
Peta Lahan Kritis
Sebagaimana BRGM, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga dimandatkan melakukan berbagai upaya rehabilitasi dan pemberdayaan masyarakat yang berada di sekitar kawasan mangrove.
“Dari lahan krisis yang tersisa 637 ribu hektar, tahun kemarin kita sudah melakukan melalui pemulihan ekonomi nasional pola padat karya seluas 1.704 hektar. Kami membuat road map-nya dengan sasaran setiap tahun ada 150 ribu hektar (rehabilitasi lahan kritis) sampai 2024. Tapi ini akan tergantung pendanaan dan kami sangat terbantu oleh Kemenko Marves untuk mendorong semua pihak mengerjakan bersama,” ungkap Sri Handayaningsih, Direktur Pengendalian Kerusakan Perairan Darat KLHK.
KLHK sendiri, lanjut Sri, selama ini menjadi walidata mangrove yang memiliki data-data terkait dengan potensi dan kondisi eksisting mangrove di Indonesia, yang dirangkum dalam one map mangrove, yang disusun pada tahun 2019.
“Namun untuk data kondisi mangrove ini sifatnya dinamis sehingga kita selalu melakukan review dari tahun ke tahun dan ini per pulau, sehingga tidak menutup kemungkinan pada tahun ini kita juga masih on going review dan kondisinya tiap tahun berubah,“ tambahnya.
Menurut Sri, dengan adanya one map mangrove ini dapat diketahui kondisi mangrove yang dalam kondisi baik dengan parameter pada kerapatan tajuk. Kerapatan 50 ke atas dianggap baik, sementara kerapatan di bawah 50 dianggap kritis.
“Dari situ kami melakukan suatu tindakan untuk kondisi kritis. Kita melakukan pemulihan dan rehabilitasi, misalnya dengan penanaman dan pemeliharaan kemudian penyadartahuan masyarakat tentang pentingnya ekosistem mangrove.
Untuk mangrove dalam kondisi baik maka akan dipertahankan dan dimanfaatkan.”
menarik dibaca : Kisah Tuna Netra Menanam Mangrove
Menurut Sri, KLHK selama ini melakukan pengelolaan mangrove secara terpadu dengan menggandeng berbagai pihak, baik itu kementerian dan lembaga terkait pusat dan daerah, pemegang izin, CSR perusahaan, LSM dan lain sebagainya.
Dari lahan krisis yang tersisa 637 ribu hektar, tahun 2020 KLHK sudah melakukan rehabilitasi melalui pemulihan ekonomi nasional pola padat karya seluas 1.704 hektar.
“Nah ini memang kita membuat road map-nya itu kita sasaran sampai 2024, setiap tahun ada 150 ribu hektar.”
Untuk di luar kawasan hutan, mandat pengelolaan mangrove berada di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), mencakup 27 persen dari luasan mangrove yang ada. Sehingga KKP ditargetkan untuk melakukan rehabilitasi mangrove sebanyak 1.800 hektar hingga tahun 2024. Untuk tahun ini ditargetkan menanam mangrove seluas 400 hektar di 22 kawasan.
“Selain melakukan penanaman juga pemberdayaan masyarakat, masyarakat sekitar kawasan mangrove perlu kita dekati dengan pendekatan ekonomi karena kalau tidak mereka akan merusak mangrove. Kalau di kehutanan tentunya regulasinya lebih keras, sehingga masyarakat tidak akan berani, tetapi di luar kawasan hutan masih ada yang merusak sehingga kami mendekati masyarakat dengan berbagai cara,” ungkap Muhammad Yusuf, Direktur Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil KKP.
Yusuf menekankan perlunya satu peta lahan kritis mangrove yang bisa digunakan bersama. Selain itu, perlu pembagian peran, standar harga satuan, dukungan anggaran.
***
Keterangan foto utama : Warga Puntondo, atas dukungan WWF-Indonesia dan PPLH Puntondo melakukan penanaman mangrove menggunakan ‘polybag organik’, berupa anyaman dari daun lontar, yang disebut leko’tala, sebagai pengganti polybag plastik pada Juni 2020. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia