- Selama ini, ada beberapa perusahaan tambang sudah beroperasi di Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur. Ketika ada tambang, warga bekerja di perusahaan-perusahaan itu. Tambang usai atau setop operasi. tanah yang dulu merela berian ke perusahaan tanpa ganti rugi itu tidak bisa lagi jadi lahan pertanian.
- Banyak perusahaan tambang masuk, tetapi jalanan di Desa Satar Punda, masih jalan tanah berbatu. Bahkan, hutan desa yang seharusnya terjaga, kini tiada berganti jadi lokasi pertambangan.
- Melky Nahar, Kepala Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) meminta masyarakat mesti belajar dari masa lalu soal bagaimana rakusnya industri tambang selama belasan tahun di sejumlah lokasi di Manggarai, Manggarai Barat dan Manggarai Timur.
- Heremias Dupa, Ketua DPRD Manggarai Timur, sebutkan perusahaan tambang di Satar Punda izin keluar sebelum ada pembentukan Manggarai Timur hingga jadi tanggung jawab kabupaten induk. Heremias katakan, perusahaan mengaku akan reklamasi setelah izin selesai 2027.
Jalan berbatu menanjak menuju Kampung Lengko Lolok, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur, NTT. Kampung ini punya pengalaman dengan perusahaan tambang. Beberapa perusahaan tambang mangan sempat beroperasi di Desa Satar Punda termasuk sekeliling kampung ini.
Di Lengko Lolok, bekas tambang terlihat jelas saat berada di ujung barat dan timur kampung. Jalan tanah membelah hutan yang didominasi kayu lamtoro (Leucaena leucocephala) menuju lokasi bekas tambang mangan.
“Di balik pepohonan ini ada lubang bekas tambang mangan yang berhenti beroperasi tahun 2017,” kata Isfridus Sota, warga Lengko Lolok saat bersua Mongabay di kebunnya, Januari lalu.
Rata-rata warga Lengko Lolok pernah bekerja di perusahaan tambang mangan. Bahkan sebagian warga yang bekerja puluhan tahun pernah diajak kerja di tambang milik perusahaan sama di Pulau Jawa.
Klemens Salbin, warga Lengko Lolok, mengenang masa-masa tambang beroperasi. Sekitar 1980, ada PT Aneka Tambang, pada 1990-an masuk PT Arumbai Mangan Bekti. Kemudian, sekitar tahun 2009 ada PT Aditya Bumi Pertambangan, mendapat izin usaha pertambangan (IUP) operasi produksi mangan di lahan seluas 2.222 hektar.
Pada tahun sama Istindo Mitra Perdana mendapat IUP operasi produksi mangan di lahan sekitar 736,30 hektar di Kampung Serise. Perusahaan sama juga mendapat IUP eksplorasi mangan, di Kampung Serise bagian utara di lahan seluas 515,8 hektar.
“Kalau Istindo, ya perusahaan Arumbai itu. Saya bekerja di Arumbai sejak 2000-2015. Banyak warga desa bekerja di tambang sebagai harian lepas maupun karyawan tetap,” katanya.
Saat tambang mangan beroperasi, katanya, tidak ada ganti rugi lahan kepada masyarakat tetapi perusahaan membantu pembangunan sarana umum.
Dia sebutkan, Arumbai ada empat lokasi tambang di Satarmini, Watu Lancip, Borowani dan Blok E. Perusahan berhenti operasi sekitar 2015.
“Saya juga tidak tahu alasan penutupan, kami juga diberikan pesangon. Saat ada tambang, ketika gajian masyarakat bisa membeli berbagai keperluan. Saya bisa membangun rumah tembok sejak bekerja di perusahaan,” katanya.
Baca juga: Kala Tambang dan Pabrik Semen Bakal Masuk Manggarai Timur [1]
Kini, lahan bekas tambang, katanya, jadi lokasi warga mengambil kayu bakar dan mengikat ternak. Lahan itu, tak bisa lagi buat berkebun.
Isfridus pun berpendapat serupa. Tak ada ganti rugi lahan untuk warga hanya dibantu fasilitas umum. Tanah bekas tambang tidak bisa diolah lagi jadi lahan pertanian. Lubang masih menganga di lahan itu, katanya, hanya ditumbuhi rerumputan liar.
Kala itu, untuk pasokan air, perusahaan minta warga gali sumur atau perusahaan bantu penggalian. Sedang listrik, perusahaan bantu generator ukuran lima kw dan sudah rusak.
Dia bilang, kehadiran perusahaan, seperti Arumbai sekitar 1997-2015, membuat kehidupan mereka tidak nyaman dan terganggu. “Peledakan yang dilakukan menimbulkan suara bising dan getaran,” katanya.
Fransiskus Hadilaus, Kepala Desa Satar Punda membenarkan soal tambang mangan Arumbai yang pernah beroperasi. Untuk Istindo, katanya, warga hanya mengenal perusahaan dengan nama Arumbai.
Laus, sapaannya Hadilaus mengenang, tambang mangan juga masuk di Tana Neni, hutan desa mereka. Ini disebut hutan desa karena lembaga adat manapun belum memilikinya. Masyarakat, katanya, tidak bisa mengambil kayu di hutan itu. Sayangnya, kala perusahaan masuk, hutan desa pun hilang.
“Kalau hutan desa warga tidak bisa menebang kayu.Tapi sekarang sudah tidak ada hutan desa karena sudah jadi lokasi tambang mangan semua,” katanya.
Baca juga: Ketika Tambang Masuk Manggarai Timur Rusak Kehidupan Sosial sampai Ancaman Budaya Tercerabut [2]
Jauh dari kata sejahtera
Warga Desa Satar Punda yang bekerja di tambang mangan di wilayah itu mengakui hanya mendapatkan gaji dari perusahaan. Mereka nilai tak ada peningkatan taraf hidup signifikan.
Isfridus bilang, dulu saat sosialisasi dikatakan kehadiran tambang membawa kesejahteraan, kenyataan tidak terjadi.
Kini, perusahaan batu gamping dan pabrik semen mau masuk lagi ke desa mereka. Janji serupa juga muncul. Dia teringat pernyataan Bupati Manggarai Timur, pada pertemuan di Kampung Luwuk, bahas soal tambang mau masuk lagi, pada 21 Januari 2020. Bupati bilang, kehadiran perusahaan membawa ksejahteraan.
“Saya menentang karena berdasarkan pengalaman saya hidup dengan tambang bahkan bekerja di perusahaan tambang mangan, kami tidak merasakan kesejahteraan,” katanya.
Bupati, katanya, juga menjanjikan perusahaan akan mengaspal jalan, kenyataan sejak dulu ada beberapa perusahan tambang mangan saja, jalan tidak pernah teraspal.
“Saya bertanya kepada pemerintah, apakah tidak ada cara lain membuat masyarakat sejahtera selain dengan menghadirkan tambang? Menurut saya tidak mesti orang lain membuat kami sejahtera sebab kita sendiri yang bisa membuat hidup kita sejahtera,” katanya.
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan, ada sekitar sembilan izin tambang kepada tiga perusahaan ini dengan luas melebihi 37.000 hektar. Izin operasi ini berada di wilayah produktif yang merupakan sumber kehidupan masyarakat.
Isfridus bilang, setelah tambang hadir itu kehilangan sumber air. Sepanjang perusahaan tambang beroperasi, katanya, sumber air hilang.
Sebelum tambang, air deras mengalir ke kampung dari sumber mata air, kini berkurang. Debit air menurun drastis hingga bak-bak air yang dibuat sejak 2000-an menjadi mubazir.
Maksimus Rambung, warga Luwuk, senada mengatakan, tambang tak membawa dampak positif bagi masyarakat.
Masyarakat bahkan sebagian trauma. Selama 20 tahun tambang mangan beroperasi di desa mereka, katanya, warga terpecah belah, dan tak ada pemberdayaan masyarakat. Belum lagi, pertanian terdampak, termasuk sumber air berkurang.
“Dua tahun sawah kami tidak berproduksi maksimal dan bak air di kampung tidak terpakai karena ada tambang mangan di puncak di wilayah Serise,” katanya. Dia bilang, sebelum itu, mereka bisa panen tiga dalam setahun.
Saya menyaksikan sawah-sawah di Kampung Luwuk terlihat tidak terurus. Bekas-bekas tanaman padi berbaur bersama rerumputan memenuhi hamparan sawah.
Baca juga: Tambang Batu Gamping di Satar Punda Berisiko Rusak Sumber Air
Terbengkalai
Tak hanya masalah di lokasi tambang, bekas mangan juga masih menumpuk di areal eks pelabuhan di Kampung Serise, Desa Satar Punda. Gundukan-gundukan bekas mangan berwarna hitam mulai tertutup rerumputan. Jalan tanah di sekitar pun tampak berwarna kehitaman.
Di dermaga ini terlihat hanya gundukan tanah menjorok menghadap atol. Di kedua sisi pantai hutan mangrove rimbun.
Masksimus menyesalkan, bekas tambang di Serise maupun tumpukan mangan di pelabuhan yang jadi limbah berbahaya itu hingga kini, belum penanganan.
“Pemerintah juga sudah gagal pengawasan terhadap kegiatan penambangan. Bagaimana soal reklamasinya? Dimana dana reklamasinya?” Maksi, pernah jadi pekerja tambang. Dia tak anti tambang tetapi benci perlakuan investor yang tak benar.
Melky Nahar, Kepala Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) meminta masyarakat mesti belajar dari masa lalu soal bagaimana rakusnya industri tambang selama belasan tahun di sejumlah lokasi di Manggarai, Manggarai Barat dan Manggarai Timur.
Dia katakan, tanah mereka dirampas, air dicemari, hutan terbabat, kesehatan terganggu, konflik sosial berkepanjangan bahkan sebagian masuk penjara karena mempertahankan lahan. Nilai-nilai budaya pun terkikis. Deretan fakta daya rusak industri tambang itu, katanya, mesti jadi pengingat bagi warga, terlebih saat tambang mau masuk lagi.
“Tak ada yang sejahtera selama hadir tambang di wilayah itu. Yang terjadi, justru makin miskin, kehilangan ruang produksi.”
Melky meminta, rakyat bersatu, memastikan tak ada aktivitas apapun dari perusahaan tambang dan pabrik semen di sana.
Yusuf Adoe, Kadis ESDM NTT bilang, sudah pengecekan dan menemukan izin masih berlaku. Menurut dia, perusahaan saat ini ‘istirahat’ untuk melihat potensi apakah melanjutkan penambangan batu mangan atau tidak. Yusuf tak menjelaskan metode perusahaan ‘melihat’ potensi itu.
“Kalau tidak ada potensi, perusahaan akan reklamasi.” Dia sebutkan, ada dana jaminan reklamasi yang disimpan perusahaan di bank dan pemerintah yang bisa cair untuk reklamasi.
“Saya lupa izin sampai kapan, tapi memang izin perusahaan masih berlaku.”
Agas Andreas, Bupati Manggarai Timur, menjawab singkat saat ditemui di kantornya Januari lalu. Agas bilang, PT Istindo, perusahaan tambang mangan di Satar Punda, izin masih berlaku sampai 2027.
Heremias Dupa, Ketua DPRD Manggarai Timur, sebutkan perusahaan tambang di Satar Punda izin keluar sebelum ada pembentukan Manggarai Timur hingga jadi tanggung jawab kabupaten induk. Heremias katakan, perusahaan mengaku akan reklamasi setelah izin selesai 2027.
“Kami akan terus mendesak perusahaan bertanggungjawab terhadap kerugian lingkungan khusus aspek reklamasi karena itu satu kesatuan pemberian izin.”
***
Siang itu, meski terik mentari menyinari tanah Congka Sae– sebutan untuk Manggarai Raya–perbukitan Lingko Neni, Kampung Serise, Desa Satar Punda, terlihat berkabut.
Di kampung ini, lubang-lubang bekas tambang terlihat masih menganga. Tak ada tanda-tanda pernah reklamasi. Kerikil-kerikil berada persis di tebing sesekali terlihat berjatuhan. Bongkahan batu masih berserakan di lokasi tambang.
Dari kejauhan, lokasi bekas tambang mangan terlihat berwarna putih keabuan, kontras dengan warna hutan sekitar nan hijau. Banyak jalan-jalan tanah mengitari hutan yang banyak ditumbuhi lamtoro itu.
Di tengah berbagai respon pemerintah menyikapi tambang mangan yang meninggalkan bekas lubang tanpa reklamasi itu, yang pasti, di lapangan, kehidupan warga jauh dari kata sejahtera, jalan kampung jauh dari bagus, dan sumber air berlimpah itu pun mulai menyusut…
Keterangan: Tulisan ini merupakan liputan Fellowship Pasopati, kolaborasi Mongabay Indonesia dan Yayasan Auriga Nusantara.
******
Foto utama: Wilayah bekas tambang mangan di wilayah Lingko Neni, Kampung Lengko Lolok, Desa Satar Punda, Kabupaten Manggarai Timur,NTT yang ditinggalkan perusahaan. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.