- Gunung Paleteang di Kabupaten Pinrang, Sulsel, terancam oleh penambangan galian batuan oleh sejumlah perusahaan. Penambangan ini berdampak pada kerusakan ekosistem gunung, kesehatan dan perekonomian warga setempat.
- Warga tak pernah mendapatkan informasi terkait tentang usaha pertambangan Tiga perusahaan tambang juga tidak transparan kepada warga
- Dampak penambangan menurunkan produksi pertanian, merusak irigasi dan sumber air dari Gunung Paletenga, mengganggu kesehatan warga setempat dan dapat memicu terjadinya bencana ekologis.
- Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Pinrang menyatakan telah memberi sanksi administrasi terhadap pelanggaran yang dilakukan perusahaan tambang galian tersebut. Tim Gakkum KLHK wilayah Sulawesi telah berkunjung ke lokasi tambang tersebut
Penambangan galian batuan di Kelurahan Tamasarange, Kecamatan Paleteang, Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan berlangsung sejak 2007. Kajian Walhi Sulsel mengungkapkan penambangan itu berdampak pada kerusakan lingkungan dan polusi.
“Penambangan ini berdampak pada berbagai aspek, mulai dari ancaman secara ekologi, polusi, sedimentasi hingga pada kondisi ekonomi dan kesehatan warga yang tinggal di sekitar kawasan tambang,” ungkap Slamet Riadi, staf advokasi dan kajian Walhi Sulsel kepada Mongabay di Makassar, Selasa (23/2/2021).
Lokasi tambang ini terletak di Lingkungan Ta’e, Gunung Paleteang, yang berjarak sekitar 400-900 meter dari pemukiman warga. Sekitar lokasi adalah daerah persawahan dan perkebunan. Bahkan jalan ke lokasi tambang merupakan jalan pengangkutan hasil pertanian masyarakat setempat.
Data dari Dinas ESDM Sulsel diketahui terdapat tiga izin usaha pertambangan (IUP) di daerah tersebut, yaitu CV. Cahaya Abadi (17,28 ha), UD. Cahaya Abadi 2 (5 ha) dan UD Fitri Mandiri (2 ha).
Bahan material yang dihasilkan dari aktivitas penambangan di Gunung Paleteang merupakan golongan batuan, seperti tanah urug, batu gunung, dan batu split (cipping). Pada lokasi tambang juga terdapat batching plant, alat konstruksi untuk memproduksi beton ready mix dalam jumlah yang besar.
“Hasil produksi tambang merupakan bahan material yang didistribusikan untuk keperluan proyek yang berada di Kabupaten Pinrang dan kabupaten lainnya, seperti Kota Parepare, Enrekang dan Tana Toraja,” ujar Slamet
baca : OTT Gubernur Sulsel, Walhi Minta KPK Dalami Kasus Tambang Pasir Laut dan Proyek MNP
Menurut Slamet, aktivitas penambangan dilakukan sejak tahun 2007 yang dibuka pertama kali oleh H. Mandu, namun saat ini dikelola oleh anaknya yang bernama Wawi Mandu.
“Pada tahun 2010, aktivitas tambang semakin meningkat setelah H. Arsyad juga mulai melakukan penambangan di Gunung Paleteang. Hal ini ditandai dengan semakin bertambahnya mobil pengangkut material yang lalu lalang di pemukiman warga,” tambahnya.
Masyarakat setempat tidak pernah mendapatkan informasi adanya usaha pertambangan di Gunung Paleteang. Para pelaku usaha dinilai tidak pernah transparan memperlihatkan IUP dan dokumen lingkungan kepada masyarakat.
“Aktivitas tambang yang telah beroperasi selama kurang lebih 10 tahun juga tidak pernah memasang papan informasi di sekitar lokasi tambang dan mencantumkan nama perusahaan dan atau perorangan pemilik lahan konsesi,” lanjutnya.
baca juga : Tolak Tambang Sungai Ilegal, Tiga Warga Sidrap Malah Dikriminalisasi
Merusak Lahan Pertanian dan Kesehatan
Salah satu dampak dari aktivitas penambangan ini adalah polusi udara berupa debu dan sedimen tambang yang merusak lahan pertanian. Saat musim kemarau, ada sekitar 200 truk/hari yang melintas di jalan pertanian Lingkungan Ta’e yang merugikan petani.
“Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa petani, tertutupinya daun oleh debu membuat padi susah untuk berkembang, sehingga pertumbuhannya lambat dan kualitas beras ikut terganggu. Selama beberapa tahun terakhir, banyak petani yang mengalami kerugian akibat menurunnya kualitas dan kuantitas hasil panen,” ungkap Slamet.
Pada musim hujan terjadi sedimentasi lumpur dari lokasi tambang ke lahan persawahan milik petani Lingkungan Ta’e. Aktivitas pertambangan juga berisiko hilangnya daerah resapan air saat musim hujan, sehingga mengancam 40 hektare lahan pertanian di perkampungan Ta’e terlebih ketika curah hujan meningkat.
“Ketika musim hujan terdapat lahan pertanian seluas satu hektare tidak dapat ditanami atau terancam gagal panen akibat saluran irigasi yang rusak disebabkan lalu-lintas truk yang padat tiap harinya dan sampai saat ini belum juga ada proses ganti rugi yang diberikan oleh pihak penambang kepada petani terdampak,” lanjutnya.
Dari hasil focus group discussion (FGD) yang dilakukan dengan beberapa petani dan perempuan yang tinggal dan atau memiliki lahan pertanian di sekitar tambang, menunjukkan adanya penurunan produktivitas padi yang selama ini menghidupi mereka.
Hal ini dilihat dari sebelum adanya tambang, petani di Lingkungan Ta’e dapat menghasilkan rata-rata satu karung sekali panen dari satu are lahan yang menurun menjadi ¾ karung per are setelah adanya aktivitas tambang.
baca juga : Lumpur Genangi Jalanan, Walhi Sulsel Tuntut Izin Tambang PT. PUL di Luwu Timur Dicabut
Tercemarnya baku mutu udara akibat pengangkutan material tambang juga berdampak pada kesehatan warga. Hampir setiap hari, warga yang rumahnya dekat dengan jalur angkutan material tambang harus merasakan sesaknya udara yang tercemar.
“Sampai saat ini, sudah ada beberapa warga yang menunjukkan gejala gangguan pernafasan, meskipun penyebabnya belum bisa dibuktikan secara medis,” ungkap Slamet.
Polusi lain adalah berupa kebisingan yang ditimbulkan dari penggunaan alat excavator breaker penghancur batu tebing di malam hari.
Kawasan Hutan Kota
Gunung Paleteang merupakan kawasan strategis kabupaten (KSK) untuk kepentingan lingkungan hidup dan ditetapkan sebagai kawasan hutan kota berdasarkan RTRW Kabupaten Pinrang tahun 2012 sampai 2032.
Rata-rata luas Gunung Paleteang sekitar 148,49 hektare dengan panjang keliling sekitar 5,26 km. Saat ini, luas wilayah yang telah ditambang ialah sekitar 16,27 hektare.
Menurut Slamet, dengan adanya aktivitas pertambangan di Gunung Paleteang yang merupakan kawasan hutan kota, jelas mengancam dan berdampak pada struktur dan fungsi ekologis Gunung Paleteang itu sendiri. Terlebih lagi dengan adanya ratusan masyarakat yang menggantungkan hidup mereka di kaki Gunung Paleteang sebagai petani juga ikut terdampak.
“Olehnya itu, rekomendasi dan perizinan pertambangan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah baik kabupaten dan provinsi jelas menggambarkan adanya peruntukan alokasi ruang yang tumpang tindih dan membahayakan eksistensi Gunung Paleteang ke depannya.”
perlu dibaca : Buku: Menyelisik Krisis Ekologi di Sulawesi
Gunung Paleteang juga mengandung sumber panas di bagian dasarnya. Hal ini terlihat dari adanya jenis batuan gunung api seperti lava andesit, trakit, traki-andesit, breksi, dan tuf yang terdapat di dalamnya. Selain itu, manifestasi dari fenomena alam yang ada di Gunung Paleteang tersebut berupa adanya mata air panas di daerah Sulili dan alterasi batuan yang terdapat di Gunung Paleteang.
Fenomena alam dengan kemunculan mata air panas di daerah Sulili memiliki korelasi dengan kondisi geologi Gunung Paleteang. Dari hasil penelitian Ditjen EBTKE dan Badan Geologi Kementerian ESDM pada 2017 menunjukkan bahwa terdapat nilai anomali rendah yang muncul di sekitar mata air panas Sulili yang terindikasi dari batuan sedimen.
“Yang menarik ialah ditemukannya nilai anomali tinggi yang dapat terdeteksi dengan baik di sekitar Gunung Paleteang yang diduga kuat merupakan sumber panas dari sistem panas bumi di daerah Sulili.”
Sumber panas (heat sources) yang membentuk sistem panas bumi Sulili diperkirakan berasosiasi dengan batuan vulkanik andesit yang besar. Tubuh batuan andesit besar ini diperkirakan berada di sekitar Gunung Paleteang, yaitu di bawah permukaan Gunung Paleteang yang berumur 700 ribu tahun (Plistosen).
“Olehnya itu dapat disimpulkan bahwa potensi sumber daya panas bumi hipotetik daerah panas bumi Sulili dengan luas daerah prospek 6 km2 dan temperatur reservoir sebesar 210 °C adalah sebesar 29 MWe.”
Dari fenomena alam dan kondisi geologi Gunung Paleteang yang mengandung sumber panas, Walhi menilai Gunung Paleteang seharusnya dilindungi dari aktivitas karena memicu terjadinya bencana ekologis.
“Maka dari itu, kami dari Walhi Sulsel mendesak dengan tegas kepada pemerintah Kabupaten Pinrang dan Gubernur Sulawesi Selatan untuk segera mencabut izin pertambangan di Gunung Paleteang untuk keselamatan lingkungan dan warga,” ungkap Slamet.
baca juga : Banjir Sulawesi Selatan, Cermin Buruk Pencegahan Bencana?
Sanksi Administratif
La Ode Karman, Kepala Seksi Penanganan Pengaduan dan Sengketa Lingkungan Hidup Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Pinrang mengakui memang terdapat pelanggaran yang dilakukan perusahaan tambang galian dan telah diberi sanksi administratif.
“Kami sudah beri sanksi akhir tahun 2020 lalu. Kami kan ada temuan di lapangan, di saat bersamaan ada pengaduan yang ditangani Gakkum. Kami sudah sampaikan ada pemenuhan kewajiban, pembuatan kolam resapan, pengujian kualitas lingkungan, kemarin mereka sudah menguji udara dan lain-lain. Sekarang kami sisa menunggu sisa pemenuhan sanksi tersebut,” katanya, Selasa (2/3/2021).
Tim Gakkum sendiri telah berkunjung ke lokasi tambang tersebut beberapa waktu lalu.
Menurut Dodi Kurniawan, Kepala Balai Gakkum LHK Wilayah Sulawesi, kasusnya masih dalam kajian Tim Gakkum. “Masih dipelajari,” katanya singkat ketika dikonfirmasi Mongabay, Selasa (2/3/2021).