- Ricarda Debat Ndiken, punya ratusan koleksi bunga hidup. Ada jenis mayana, keladi, puring dan beragam tanaman khas Papua lain. Ndiken menjual bunga segar dan bunga hidup hasil menanam sendiri dengan memanfaatkan lahan di sekitar bandara.
- Sebelum tanam dan jual bunga, Ndiken awali dengan jualan sayuran. Dengan membeli sayuran dari warga transmigrasi kemudian menjual lagi di Pasar Mopah. Sembari berjualan sayur, Ndiken melihat daerah sekitar pasar itu banyak tanaman puring. Puring ini bagi Orang Marindi, merupakan tanaman saat acara adat. Dia pun terdorong membudidayakan tanaman adat ini.
- Niatan lain dari usaha tanaman dan bunga hias ini, Ndiken ingin orang mencintai tanaman dan bunga hidup. Kalau bunga plastik, andai sudah tak terpakai jadi sampah akan bermasalah lagi bagi lingkungan karena sulit terurai. Kalau bunga hidup, kalaupun jatuh ke tanah malah akan menjadi humus.
- Dedi Suji, penjual bunga hias dan tanaman herbal lain di Merauke juga gunakan lahan di pinggir Bandara Mopah. Dalam usaha tanaman ini, Suji hadapi masalah hama, seperti belalang atau ulat. Dia berusaha mengantisipasi dengan pakai burung gereja saja tanpa pestisida kimia.
Ricarda Debat Ndiken, senang karena penjualan bunga hidupnya lumayan lancar. Perempuan Kiman ini punya ratusan koleksi bunga hidup. Ada jenis mayana, keladi, puring dan beragam tanaman khas Papua lain. Ndiken menjual bunga segar dan bunga hidup hasil menanam sendiri dengan memanfaatkan lahan di sekitar bandara.
Dari usaha ini, Ndiken memperjakan beberapa orang yang bertugas merawat bunga dan tanaman lain yang tumbuh di lahan bandara seluas 50×18 meter ini.
Kios Ndiken kecil, sekitar 10 meteran berbatasan dengan pagar bandara. Dia meminta izin bandara dan boleh memanfaatkan lahan bandara di bekalang kiosnya untuk mengembangkan beragam tanaman hiasnya.
Di belakang kios, terlihat hamparan bunga, berbagai jenis, seperti bunga anggin atau puring, mayana, keladi dan lain-lain. Bagi orang Marind, puring ini sangat sakral biasa jadi tanaman hias pada ritual adat.
Dia berencana membangun tempat khusus air, yang akan sarana khusus untuk menyiram tanaman saat hujan. Ndiken juga fokus menata taman bunga ini dengan baik sekaligus memperindah lahan bandara yang awalnya belum dimanfaatkan ini.
Ndiken juga akan bangun beberapa paranet supaya tanaman tidak langsung terkena sinar matahari. Sementara ini, guna melindungi tanaman bunga dari mentari, dia tanam pepaya.
Usaha bunga hias ini, Ndiken awali dari jualan sayuran. Dia membeli sayuran dari warga transmigrasi kemudian menjual lagi di Pasar Mopah. Sembari berjualan sayur, dia melihat daerah sekitar pasar itu banyak tanaman puring. Dia pun terdorong membudidayakan tanaman adat ini.
Ndiken berdiskusi dengan sang suami mengembangkan tanaman ini, dan disambut positif. Dia pun memulai dengan bikin dua rak bunga depan kios dan mulai menanam puring pada 2014. Koleksi tanaman Ndiken pun perlahan terus bertambah.
Dia dan suami bekerja keras membangun usaha tanam dan jualan bunga ini. Didukung posisi kios strategis, berdekatan dengan pasar sore, jualannya pun banyak pembeli. Terlebih bunga-bunga segar. Warga yang ke pasar atau lewat, dan melihat bunga segar, banyak yang langsung membeli. Kini, dia berencana membangun empat petak kios serupa lagi dengan harga kontrak Rp500 ribu perbulan..
“Terserah, mau mengambil dengan harga yang pantas saja. Per polibek Rp30.000. Ada juga bunga seperti anglonema hargan agak tinggi, karena jarang dimiliki warga,” katanya. Jadi, katanya, harga mahal atau tidak, tergantung pada jenis.
Saat mencari bunga-bunga yang menjadi tanaman koleksi sekarang itu Ndiken menelusuri berbagai daerah di Merauke. Setelah punya satu jenis tanaman, dia berupaya mengembangkannya terutama dengan cara stek.
Niatan lain dari usaha tanaman dan bunga hias ini, Ndiken ingin orang mencintai tanaman dan bunga hidup. Kalau bunga plastik, katanya, kalau sudah tak terpakai jadi sampah akan bermasalah lagi bagi lingkungan karena sulit terurai. Kalau bunga hidup, katanya, kalaupun jatuh ke tanah malah akan menjadi humus.
Beatrix Meiwagh Gebze, Direktur Perkumpulan Lembaga Advokasi Perempuan dan Anak (Eladpper) bilang Ndiken adalah perempuan Papua yang punya keterampilan membuat asesoris seperti anting asli Papua. Dia juga suka bercocok tanam terutama tanaman bunga diawali dari puring. “Ini contoh dan peluang bahwa perempuan Papua bisa berusaha.”
Lembaganya pun mendukung usaha Ndiken dengan jalin berkerjasama dengan perbankan agar dapat modal. Uang itu, antara lain beli mobil untuk angkutaan. “Contoh luar biasa. Mobil pick up untuk bisa antar barang antar kebupaten di seputaran Merauke.”
Dedi Suji, penjual bunga hias dan tanaman herbal lain di Merauke juga gunakan lahan di pinggir Bandara Mopah. Usaha bunga hidup ini lumayan tetapi paling berat menyiram tanaman dengan handsprayer dan gembor.
Suji sangat beruntung, karena membangun paranet. Di bagian atas dia tempatkan beragam tanaman bunga dengan air cukup. Utuk menyiram bunga perlu dua orang tenaga kerja. “Kita usaha sendiri, mulai menata bunga hingga pembangunan paranet semua Rp60-an juta. Ditambah dengan handsprayer tujuh buah,” katanya.
Pria Jawa- Merauke ini mencoba-coba berbagai peluang. Awalnya, coba jadi peternak ayam, tetapi terdampak pandemi hingga mengalihkan usaha bertanam bunga hias. Suji bilang, tanaman mendatangkan untung lumayan. Dia punya jenis tanaman sekitar 200-an. Ada mayana 40 jenis, puring 11 jenis, kembang sepatu, beberapa jenis keladi jenis, banyak tanaman obat dari pecah beling, kumis kucing, selada, kemangi, serai, telang atau mengkudu, kelor, insulin, sambiloto, binahong, dan lain-lain.
Dia menggratiskan beberapa tanaman obat agar bermanfaat bagi banyak orang.
Dalam usaha tanaman ini, dia hadapi masalah hama, seperti belalang atau ulat. Dia berusaha mengantisipasi dengan pakai burung gereja saja tanpa pestisida kimia. “Bilang hama banyak saya pakai burung gereja saja, bila hama menyerang, biasa mereka terbang di paranet bahkan hinggap di tanaman. Rupaya mereka suka sekali belalang,” katanya.
*****
Foto utama: Dedi Suji, penjual bunga hias di Merauke. Dedi, halau hama belalang dan ulat di tanaman dengan burung gereja. Foto: Agapitus Batbual. Mongabay Indonesia