- Pembangunan ekonomi Indonesia selama ini lebih bertumpu pada industri ekstraktif yang terbukti rapuh dan tak tahan resesi. Sebaliknya ekonomi lokal dan masyarakat adat diabaikan karena dianggap tak berkontribusi pada pembangunan ekonomi.
- Ketidakpedulian pemerintah terhadap masyarakat adat juga tercermin dari belum disahkannya Undang-undang Masyarakat Adat meski telah 10 tahun sejak diusulkan. Regulasi daerah baik berupa Perda ataupun S.K. bupati juga tidak menjadi jawaban pasti bagi jaminan perlindungan masyarakat adat.
- Wakil Ketua DPR I, Muhaimin Iskandar mendukung segera pengesahan UU Masyarakat Adat, namun harus bisa membuktikan diri bisa berkontribusi besar secara ekonomi bagi pembangunan.
- Faisal Basri, ekonom dari UI, mengkritisi cara pandang pemerintah dan elite politik yang menilai keberadaan masyarakat adat dengan atribut pembangunan yang semata-mata harus mendatangkan nilai tambah.
Pembangunan ekonomi Indonesia selama ini lebih bertumpu pada korporasi, sementara ekonomi lokal dan masyarakat adat cenderung terpinggirkan, padahal kontribusinya pada perekonomian nasional tak bisa diremehkan.
Selama pandemi, ekonomi yang bertumpu pada kapital-kapital besar runtuh, tak cukup elastis untuk bisa diguncang oleh krisis, dimana banyak pemutusan hubungan kerja di kota-kota, banyak orang kehilangan pekerjaan bahkan rumah, yang tak mampu memenuhi kehidupan sehari-hari.
Di saat yang sama, masyarakat yang tinggal di pedesaan, termasuk masyarakat adat justru menjadi tempat yang paling aman. Bahkan bisa memenuhi kebutuhan stok pangan masyarakat perkotaan.
“Ini menunjukkan bahwa masyarakat adat ini adalah aset pembangunan, aktor pembangunan, potensi yang seharusnya menjadi kekuatan bagi Indonesia,” ungkap Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dalam diskusi daring yang dilaksanakan Indonesia Parliamentary Center (CPU) dan AMAN bertajuk ‘Urgensi UU Masyarakat Adat dalam Perspektif Ekonomi dan Pembangunan Berkelanjutan’, Kamis (25/2/2021).
Menurut Rukka, masyarakat adat selama ini telah berkontribusi besar dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, yang jika dihitung secara ekonomi memberi kontribusi yang cukup signifikan, baik itu dari segi produksi pangan maupun dalam hal jasa lingkungan.
Sayangnya, kontribusi ini tak pernah mendapat perhatian pemerintah karena dianggap tidak cukup besar berkontribusi bagi penerimaan negara dan pertumbuhan ekonomi.
“Jadi yang namanya ekonomi kerakyatan, basisnya solidaritas itu kemudian dihapus sama sekali dalam paradigma pembangunan Indonesia, dan itulah menunjukkan kenapa dalam keyakinan kami itulah yang membuat Indonesia sangat fragile, rentan terhadap guncangan ekonomi,” katanya.
baca : Menagih Utang Negara Lindungi Masyarakat Adat
Rukka menilai kepedulian pemerintah terhadap masyarakat adat masih jauh dari harapan, tercermin dari belum disahkannya Undang-undang Masyarakat Adat, meski telah 10 tahun sejak diusulkan. Regulasi daerah baik berupa Perda ataupun S.K. bupati juga tidak menjadi jawaban pasti bagi jaminan perlindungan masyarakat adat.
“Pengakuan masyarakat adat yang ada saat ini panjang dan berbelit-belit terbentur pada hambatan struktural dan hampir tidak mungkin dilaksanakan, makanya sekarang hutan adat baru 50 ribu hektar lebih,” katanya.
Menurut Rukka, perlindungan atas masyarakat adat adalah investasi yang paling murah dan efektif, dijamin bebas konflik, dijamin bebas pencemaran. Di banding industri ekstraktif yang merusak, produktivitas ekonomi masyarakat adat justru menawarkan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.
“Jasa lingkungan dari wilayah adat senilai Rp150 miliar per tahun akan hilang ketika kita menggunakan ekstraktif industri. Tak akan ada jasa lingkungan dari sawit, justru pengrusakan lingkungan. Tak akan ada jasa lingkungan dari logging, pasti pengrusakan lingkungan. Justru hutannya minus dari jasa lingkungan tapi justru mendapatkan insentif, bantuan alih teknologi supaya produktivitas bisa meningkat,” tambahnya.
Rukka bahkan menantang dikompetisikan dengan korporasi terkait food estate dalam hal produksi pangan.
“Kita sebenarnya mau saja bersanding dengan food estate, seberapa besar sih produktivitas mereka dan masyarakat adat kalau boleh dipertandingkan, dengan input yang sama, dengan dukungan kebijakan yang sama, dengan dukungan modal dan teknologi yang sama.”
baca juga : Menakar Nasib Masyarakat Adat Setelah Ada UU Cipta Kerja
Pengesahan UU Masyarakat Adat
Muhaimin Iskandar, Wakil ketua DPR RI, yang bertindak sebagai keynote speaker pada diskusi ini memberikan apresiasi dan dukungan masyarakat adat, termasuk dalam hal pengesahan UU Masyarakat Adat.
“Saya sangat mendukung pengesahan UU Masyarakat Adat ini menjadi keniscayaan yang segera dilakukan, yang sebagai wakil ketua DPRR RI saya mengajak semua fraksi-fraksi untuk terus tidak pernah berhenti membaca dan menerima fakta-fakta lapangan yang terus berkembang di masa-masa yang sulit sehingga kita bisa memberi jawaban alternatif yang cepat bagi kemajuan, kesejahteraan bangsa Indonesia,” katanya.
Menurutnya, proses menuju pengesahan ini tak mudah sehingga harus selalu menjadi perjuangan bersama meyakinkan semua pihak bahwa masyarakat adat mempunyai kontribusi nyata bagi ekonomi, pembangunan Indonesia, termasuk peran yang spesial tidak tergantikan dalam masa depan pembangunan bangsa, dan merawat kebinekaan NKRI.
“Saya sangat mendukung dan berusaha sekuat tenaga meskipun tenaganya tidak besar, namun kita berusaha agar posisi masyarakat adat mendapatkan tempat yang signifikan dalam pembangunan karena kontribusinya yang nyata. Tetapi lagi-lagi kita seringkali tidak mampu menjelaskan secara baik kepada semuanya mainstream pada mayoritas tentang kontribusi itu,” katanya.
Apalagi, tambahnya, kalau kita hanya menjelaskan kontribusinya bersifat pertanian yang subordinat dari industri-industri yang begitu besar dianggap berkontribusi.
Menurutnya, kontribusi industri ekstraktif memang menjadi penopang pertumbuhan ekonomi Indonesia selama ini. Namun dalam konteks pemanfaatan SDA justru menghasilkan ketimpangan dalam pengelolaan.
“Bencana akhir-akhir, kita sampaikan juga ke presiden, bukan semata-mata karena luapan air, fenomena alam, tetapi karena kerusakan yang relevan dengan eksploitasi dan eksplorasi yang tidak dihitung secara ekonomi jumlah kerusakannya sehingga tidak memberikan pemanfaatan, (justru) menghasilkan ketimpangan, realitas musibah dan bencana.“
perlu dibaca : Studi: Masa Pandemi Cenderung Eksploitasi Alam dan Rawan Langgar Hak Masyarakat Adat
Value Extraction vs. Value Creation
Dalam kesempatan sama, Faisal Basri, ekonom dari Universitas Indonesia mengkritisi sikap pemerintah dan elite politik yang implicit bias terhadap masyarakat adat. Di satu sisi selalu ditampilkan sebagai ciri khas keberagaman NKRI, namun di sisi lain selalu dianggap terbelakang, tidak modern, dan disubordinatkan dalam pembangunan.
“Jadi implicit bias ini yang terlihat di mana pilihan elite itu pada korporasi, buktinya UU Cipta Kerja yang drafnya dalam hitungan bulan, tetapi ini sudah sepuluh tahun masyarakat adat tidak ada undang-undangnya,” katanya.
Padahal, katanya, masyarakat adat telah hadir dengan sistem sosial, sistem pengetahuan, belief yang tumbuh berkembang sebelum republik ini ada.
Faisal menilai melihat masyarakat adat harus melalui sosiologis antropologis, dilihat sebagai suatu unit sosial yang solid, yang memiliki sistem keyakinan dan kearifan lokal yang unik dan tak pernah merugikan yang lain.
“Kalau yang besar-besar (industri) kan bisa menimbulkan banjir, kalau masyarakat adat tidak merugikan. Mereka tidak mengenal istilah zero sum game, saya untung kamu rugi. Selalu memberikan kemaslahatan kepada rakyat banyak dengan memelihara alam. Tidak ada masyarakat adat yang menggunduli hutan, mereka melakukan peladangan berpindah lewat siklus.”
Faisal juga mengkritisi cara pandang pemerintah dan elite politik yang menilai keberadaan masyarakat adat dengan atribut pembangunan yang harus mendatangkan nilai tambah, karena kehadirannya memang bukan untuk menciptakan nilai tambah setinggi-tingginya, tetapi menjaga satu nilai yang tidak bisa dihasilkan secara instan.
“Bayangkan opportunity cost kalau hutan adat itu diambil korporasi yang menyebabkan nilai ekonomi lingkungan menjadi rusak, yang kalau mau diganti serta merta tidak bisa. Butuh yang namanya pemulihan lahan dan itu berpuluh-puluh tahun bahkan bisa ratusan tahun. Kehadiran masyarakat adat menjaga supaya oksigen tetap tersedia, pemanasan global tidak bertambah atau mengurangi, perubahan iklim yang mereka jaga itu sehingga seluruh masyarakat Indonesia dan dunia menikmatinya tanpa harus bayar.“
Faisal juga membandingkan upaya yang dilakukan korporasi dan masyarakat dalam hal penciptaan nilai. Korporasi atau oligarki melakukan apa yang disebut value extraction yang hanya bermodalkan modal, otot dan kekuasaan, sementara masyarakat adat melakukan value creation yang menciptakan nilai yang dinikmati orang banyak.
“Jika mereka (masyarakat adat) diberi kesempatan yang sama, jauh lebih bisa memberi maslahat ketimbang korporasi yang lebih banyak menciptakan kerusakan daripada manfaat buat negara. Penerimaan negara bukan pajak turun terus dari tahun ke tahun, sudah tidak sampai Rp100 triliun. Turun karena proses ekstraksi yang menghasilkan nilai tambah sedikit (karena) langsung jual. Kalau masyarakat adat, apa-apa yang ada di lingkungannya dibuat sebagai sesuatu yang bermanfaat ganda buat manusia.”