- Dua perempuan beda latar belakang bahu membahu melestarikan tanaman langka dan endemik di Kebun Raya Eka Karya, Tabanan, Bali.
- Dua jenis yang jadi prioritas penelitian teknologi kultur jaringan adalah jenis anggrek Paphiopedilum javanicum dan Begonia bimaensis.
- Jenis Paphio, anggrek eksotis berbentung kantung ini tak mudah dikembangkan, namun peneliti masih terus melakukan ujicoba berbagai cara untuk membuatnya tumbuh besar dan berbunga.
- Kultur jaringan sebagai teknologi konservasi makin banyak dibutuhkan, tak hanya untuk tanaman hias langka dan endemik, juga bidang pertanian pangan untuk menghadapi masa depan yang makin sulit.
Dua perempuan beda latar belakang bahu membahu mengembangkan aneka jenis tumbuhan dengan teknologi kultur jaringan di Pusat Penelitian Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Eka, Karya, Tabanan, Bali.
Mereka adalah Luh Ariyani, 50 tahun, yang sebelumnya menjadi tukang sapu kebun raya yang dikelola Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Ema Hendriyani, 40 tahun, peneliti ahli muda di pusat penelitian itu.
Dua tahun terakhir ini Ariyani bertransformasi jadi Staf Teknisi Litkayasa Terampil dengan kemampuan membuat kultur jaringan secara otodidak. “Setelah jadi petugas sapu kebun, saya bekerja di taman. Memangkas, menyiram, dan memupuk tanaman,” kisah Ariyani.
Saat beralih jadi penanggungjawab salah satu koleksi taman Kebun Raya inilah ia mengaku mengisi waktu luangnya membantu Ema sebagai asisten. Seminggu sekali ia melongok ke laboratorium dan bertanya ke penelitinya.
Ema pun tertarik mendukung Ariyani yang senang bertanya dan belajar. Dari sini Ariyani yang lulus SMA ini mengenal pekerjaan-pekerjaan teknis teknologi kultur jaringan. Mulai dari alat-alatnya, proses transfer bibit, inkubasi, sampai aklimatisasi ke pot di luar laboratorium.
baca : Peringati Hari Bumi, Bedugul Diusulkan jadi Cagar Biosfer

Ariyani menunjukkan ruang transfer bibit dengan kotak steril. Ia menunjukkan persiapannya misal penyemprotan cairan disinfektan khusus sebelum memulai proses penting memindahkan semaian bibit ke media tanamnya. Media tanam ini pun sebelumya sudah disterilisasi dalam mesin autoclave. Sebelum proses transfer, kotak steril ini juga mengeluarkan sinar ultra violet untuk memastikan semaian tak terkontaminasi.
Setelah proses transfer benih yang memerlukan kesabaran dan ketekunan, media tanam yang terlihat seperti jelly tapi lebih padat ini ditaruh di ruang inkubasi. Media tanam ini campuran dari material khusus termasuk hormon yang menjadi nutrisi benih sampai jadi bibit. Terlihat bening, seperti puding.
Dalam ruang inkubasi ini, peneliti melakukan pengamatan pertumbuhannya. Ruangan diatur dengan cahaya lampu yang otomatis menyala sampai 12 jam agar kebutuhan cahaya mirip dengan alam asli. Ruang ini bisa jadi rumah para calon bibit bertahun-tahun. Sampai bibit dinilai cukup kuat, perakaran dan daunnya untuk dipindahkan ke luar ruang. Beradaptasi dengan suhu dan kondisi alamiahnya tanpa intervensi.
Di Pusat Penelitian Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Eka Karya yang terkenal dengan sebutan Kebun Raya Bedugul di Kabupaten Tabanan, Bali ini sedikitnya ada enam jenis benih dan bibit yang berhasil tumbuh dari kultur jaringan. Daftar jenis anggrek yang dikonservasi di Lab Kultur Jaringan Kebun Raya Bali adalah Bulbophyllum echinolabium, Dendrobium fimbriatum, Dendrobium spectabile, Dendrobium macrophyllum, dan Phalaenopsis gigantea.
baca juga : Menikmati Tanaman ‘Berbicara’ di Kebun Raya Bedugul Bali

Dua jenis yang jadi prioritas adalah jenis anggrek Kasut Hijau (Paphiopedilum javanicum) dan Begonia bimaensis.
Keduanya endemik Indonesia dan kategori langka. Menurut catatan dari peneliti Kebun Raya di Bedugul dalam jurnal Gardens’ Bulletin Singapore ini, Begonia bimaensis ditemukan di Pulau Sumbawa, karena itu ditambahkan nama ibukotanya, Bima.
Sedangkan Paphiopedilum javanicum, anggrek spesies asli Indonesia yang bunganya mirip kantung semar hidup di Jawa, Bali, Flores, dan sebagian Sumatera. Dalam IUCN Red List kategorikan sebagai spesies endangered (terancam) dan oleh CITES (bersama seluruh anggota genus Paphiopedilum) didaftar dalam Appendiks I. Artinya anggrek tersebut tidak boleh diperdagangkan secara internasional (Tirta, 2010).
Menelusuri kisah anggrek ini di alam, peneliti menuliskan dalam sebuah hasil riset bertajuk Keanekaragaman dan Kemelimpahan Jenis Anggrek (Orchidaceae) di Resort Selabintana Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) Jawa Barat. Anggrek Paphiopedilum langka ini bisa ditemukan 2 cacah individu saja di luasan sekitar 8000 meter persegi. Jurnal BIOSFER, J.Bio. & Pend.Bio. Vol.5, No.1 Juni 2020 ini menyebutkan, Paphiopedilum ditemukan pada lokasi jalur pendakian.
baca juga : Bulbophyllum irianae, Spesies Anggrek Baru di Papua

Pentingnya kultur jaringan
Ema mengatakan tak mudah mengembangkan Paphiopedilum setelah melalui teknologi kultur jaringan. Benih berhasil jadi bibit. Dalam ruang inkubasi terlihat ribuan bibit Paphiopedilum dalam wadah-wadah kaca. Setelah dikeluarkan dan ditanam dalam pot, Paphio tak langsung bisa melesat jadi individu dewasa dan berbunga.
Para peneliti tak menyerah. Ema sendiri sudah mencoba melakukan aklimatisasi tiga kali dari tiga sumber biji berbeda. Pada 2007, 2011, dan terakhir 2020. Di area green house, ada tiga pot Paphio yang terus dipantau.
“Hama menyerang akarnya, jadi kita kesulitan memantau karena daunnya terlihat baik-baik saja. Daun sehat tapi akar keropos,” sebutnya tentang bibit lainnya yang tak bertahan.
Kemungkinan lain, ada biji Paphio yang disemai dalam kondisi steril atau tak ada embrio. Ini pernah dibuktikannya melalui pemeriksaan mikroskop.
Tantangannya, ia belum pernah tahu riset bagaimana Paphiopedilum berkembang di alam. Misalnya berapa lama dari benih jadi bibit, lalu berbunga. Di alam, anggrek memerlukan mikoriza, jenis fungi atau cendawan yang perannya sangat penting membentuk ekosistem di alam. Sifatnya simbiosis mutualisme dengan individu lain, termasuk si Paphio ini.
Sedangkan dalam kultur jaringan, mikoriza diganti hormon sintetik yang ditambahkan ke media tanam. “Mau coba mengaplikasikan mikoriza alami, siapa tahu lebih cepat,” tambah Ema.
perlu dibaca : Para Penyelamat Anggrek Rawa Gambut Batang Damar

Paphiopedilum pernah ditemukan oleh peneliti di kawasan bukit-bukit Bedugul sekitar kebun raya pada 2006. Sedangkan pada ekspedisi penelitian 2008 dan terakhir 2016 sudah tak ditemukan di alam. Koleksi Paphiopedilum di Kebun Raya Bedugul saat ini ditemukan sekitar 1981.
Karena itu pentingnya kultur jaringan untuk memastikan keberlanjutan jenis endemik ini di alam. “Fungsinya konservasi tanaman karena tak semua bisa tumbuh dengan mudah. Terutama yang sudah langka dan endemik,” urai Ema.
Penyebabnya adalah pengambilan di alam yang tak terkendali. Anggrek hutan mudah diambil, tanpa memperhitungkan lamanya ia bisa tumbuh sampai berbunga, kemudian dijual. Tanpa mempertimbangkan iklim dan kondisi ideal, di luar habitatnya, anggrek langka ini pun gampang mati.
Sementara fungsi ekologisnya bagian penting ekosistem hutan. Misalnya mendorong penyerbukan alami sejumlah tanaman karena serangga polinator yang membuat bunga dan buah berkembang termasuk anggrek.
Kultur jaringan berbeda dengan teknik Genetically Modified Organisms (GMO) yang melakukan rekayasa genetik. “Kultur jaringan masih memiliki gen asli induknya. GMO sudah dimodifikasi gen-nya, misal dengan organisme lain,” jelas Ema. Di Indonesia sudah ada sejumlah pangan yang berhasil dengan kultur jaringan seperti pisang, karet, dan sawit.
Sayangnya tak banyak yang mengembangkan kultur jaringan sebagai teknologi yang akan memudahkan produksi bibit dalam skala massal. Misalnya, jika menyemai bibit di alam terbuka diperlukan lahan luas, bandingkan dengan penyemaian kultur jaringan. Dalam satu ruangan 10 meter persegi saja sudah bisa menumbuhkan puluhan ribu bibit.
“Sudah ada yang minta kultur jaringan tanaman porang,” sebut Ema. Saat ini porang, sejenis umbi sedang tren di kalangan petani karena disebut bernilai ekspor tinggi namun harga bibitnya mahal.
menarik dibaca : Porang Kaya Manfaat, Masih ‘Asing’ di Indonesia, Laris di Jepang

Di sisi lain kultur jaringan memerlukan konsistensi dan modal, karena itu harus didukung sumberdaya manusia yang tekun, selalu ingin cari solusi, dan tak gampang menyerah. Ema menoleh ke Ariyani, perempuan tengah baya yang tak memiliki latar pendidikan formal peneliti ini. Ari tersenyum dan bersyukur mau belajar. Sedikit-sedikit, jadi bukit.
Masa depan pangan kini jadi perhatian karena bumi makin rapuh karena eksploitasi manusia dan perubahan iklim. Bioteknologi bidang tumbuhan memerlukan regenerasi yang konsisten, termasuk pembelajaran ke warga biasa. Ini sudah ditunjukkan Ema dan pimpinan Kebun Raya Eka Karya Bali.
Kebun Raya yang selalu jadi favorit warga untuk rekreasi ini sangat padat saat hari libur panjang, usai Nyepi, dan tahun baru. Kehadiran tanaman langka dan koleksi tanaman tropis lain memberi oksigen dan kesegaran serasa di hutan walau area ini buatan manusia.
Dari laman Kebun Raya Bali disebutkan koleksi anggrek ditata dalam sebuah taman yang pembangunannya mulai dirintis di bawah kepemimpinan Drs. Sukendar (1979 – 1980). Areal yang kini memiliki luas 0,5 ha ini terbagi dalam dua wilayah.
Taman Anggrek bagian bawah merupakan daerah terbuka sebagai tempat untuk koleksi anggrek silangan, sedangkan Taman Anggrek bagian atas merupakan tempat bagi anggrek liar yang merupakan prioritas koleksi karena besarnya manfaat dalam penelitian dan upaya pelestariannya. Koleksi anggrek ini berasal dari berbagai wilayah di Indonesia, khususnya Indonesia bagian timur, antara lain Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan dan Papua. Lebih dari 293 jenis anggrek telah menjadi koleksi Kebun Raya Bali.

Meski kebanyakan anggrek ini berbunga pada bulan Maret hingga Juni, namun pada bulan lainnya selalu ada saja anggrek yang berbunga. Dari banyak jenis anggrek yang telah dikoleksi, beberapa jenis menarik perhatian seperti Vanda tricolor dengan bunganya yang berwarna putih dengan hiasan merah tua kecoklatan. Selain itu Paphiopedilum javanicum yang merupakan salah satu jenis anggrek langka, serta dua jenis anggrek endemik Bali yaitu Malleola baliensis dan Calanthe baliensis.
Sebagian besar anggrek liar ini sudah jarang ditemui di alam dan keberadaannya makin terancam karena hilangnya habitat akibat konversi lahan dan penebangan hutan, atau pengambilan berlebih di alam untuk tujuan perdagangan.

