- Selama 22 tahun Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) hadir. Dari 9 wilayah kabupaten di Pulau Flores dan Lembata, baru 2 kabupaten yakni Manggarai Timur dan Ende yang telah menetapkan Peraturan Daerah (Perda) Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat (PPHMA) di NTT
- AMAN Nusa Bunga terus memperjuangkan hutan adat untuk dikelola masyarakat adat sesuai dengan keinginan presiden agar 12,7 juta hektare hutan yang akan dibagikan kepada masyarakat untuk dikelola melalui skema perhutanan sosial
- UPT KPH Kabupaten Sikka menyarankan agar komunitas adat mengajukan skema pengelolaan hutan adat tapi tetap diawasi pemerintah. Di Kabupaten Sikka masih ada komunitas adat yang memegang teguh kearifan lokal dalam menjaga hutan, namun masih banyak yang merusak hutan
- Sekjen AMAN mengatakan pandemi COVID-19 menegaskan apa yang selama ini diperjuangkan benar dan baik, dimana kehidupan harus terus menjaga ibu bumi dan adil dengan sesama manusia
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) memperingati Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara (HKMAN) dan Ulang Tahun AMAN ke 22 tanggal 17 Maret.
Selama kurun waktu tersebut, wilayah AMAN Nusa Bunga yang meliputi 9 kabupaten di Pulau Flores dan Lembata terus berjuang mempertahankan eksitensi masyarakat adat.
Ketua Pengurus Wilayah AMAN Nusa Bunga, Philipus Kami kepada Mongabay Indonesia, Minggu (21/3/2021) menjelaskan berbagai tantangan dan kerja-kerja komunitasnya.
Lipus memaparkan, 17 komunitas adat yang ada di Flores dan Lembata sedang membangun komunikasi dan koordinasi dengan seluruh pemerintah kabupaten terkait percepatan penetapan Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Bupati (Perbub) terkait Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat (PPHMA).
“Kabupaten yang sudah menetapkan Perda PPHMA ada dua yakni Kabupaten Ende dan Manggarai Timur di Pulau Flores,” ucapnya.
Lipus menjelaskan untuk Kabupaten Manggarai Timur sudah membentuk panitia untuk melakukan validasi dan verifikasi. Sementara Kabupaten Ende, Ende AMAN Nusa Bunga bersama Kabag Hukum Setda Ende sedang membuat Perbup dan SK Bupati untuk panitia validasi dan verifikasi.
Untuk Kabupaten Sikka, naskah Perda PPHMA sudah ditulis dan tahun 2019 sudah diserahkan kepada DPRD Sikka dan Bupati Sikka. Pihaknya mendorong agar bisa diagendakan dalam legislasi di dewan.
Kabupaten Flores Timur juga sama. Naskah sudah ditulis dan sudah dua kali FGD dengan Pemda. Ia berharap, bulan April 2021 sudah bisa dilakukan uji publik.
“Komunikasi dengan DPRD dan mitra LSM di Lembata sudah dilaksanakan dan di bulan April 2021 akan diintensifkan. Sementara kabupaten lainnya sedang dibangun komunikasi terkait pembuatan Perda PPHMA,” paparnya.
baca : HKMAN 2021: Masyarakat Adat Masih Terus Berjuang untuk Pengakuan
Pengelolaan Hutan
Konflik antara masyarakat adat dan pemerintah serta perusahaan di wilayah AMAN Nusa Bunga sempat terjadi. Kasus yang sudah selesai, konflik Komunitas adat Golo Lebo, Kecamatan Elar, Kabupaten Manggarai Timur dengan perusahaan tambang Manggarai Manise.
Juga konflik tanah HGU Nangahale di Kabupaten Sikka antara komunitas adat dan pemerintah. Saat ini sedang proses pendataan pembagian tanah bagi komunitas adat.
Lipus menegaskan pemetaan komunitas adat di Flores dan Lembata sedang dilakukan dan pihaknya sedang berjuang mendapatkan SK dari pemerintah daerah untuk disampaikan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
“Kami sedang berjuang untuk mendapatkan Surat Keputusan Presiden terkait hutan adat yang bisa dikelola masyarakat adat di wilayah Flores dan Lembata,” terangnya.
Dia berharap perjuangan ini direspon baik oleh Pemda guna mengejahwantakan program presiden terkait 12,7 juta hektare hutan adat yang bisa dikelola masyarakat adat terkait skema perhutanan sosial.
Ia menyesalkan sosialisasi dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) NTT kepada masyarakat masih kurang. Terutama terkait hutan lindung,balai taman nasional, taman wisata alam dan cagar budaya.
“Ini penting disosialisasikan secara baik oleh DLHK NTT melalui Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) yang ada di kabupaten-kabupaten,” tegasnya.
baca juga : Pelibatan Masyarakat Adat Penting Dalam Kelola Hutan, Kenapa?
Terkait hal ini, Kepala UPTD Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Kabupaten Sikka, Benediktus Herry Siswadi kepada Mongabay Indonesia mengakui hutan adat di Kabupaten Sikka belum ada.
Menurut Herry, hutan adat belum bisa diajukan karena belum ada Perda terkait masyarakat adat sebagai salah satu syarat pengajuan hutan adat.
Dia mengapresiasi masyarakat adat yang memegang teguh kearifan lokal dalam menjaga hutan. Namun sesalnya, banyak masyarakat adat yang merusak hutan seperti di wilayah Kecamatan Doreng, Waigete dan Talibura.
“Yang sementara berpolemik terkait hutan adat ada di wilayah Pogon, Rubit, Aebura di Kecamatan Waigete. Masih ada juga warga dan komunitas adat yang menebang pohon di dalam kawasan hutan lindung,” ucapnya.
Herry menyarankan agar komunitas adat mengajukan skema pengelolaan hutan adat tapi tetap diawasi pemerintah dan tidak mengubah fungsi hutan sebelumnya. Sementara HKm merupakan hutan negara yang dikelola masyarakat.
“Kalau sebelumnya berupa hutan lindung maka tidak boleh menebang pohon dan lainnya. Sementara hutan produksi, yang boleh dimanfaatkan hanya hutan alam yang tanamannya ditanam sendiri warga,” ucapnya.
baca juga : COVID-19 Berdampak pada Petani dan Ketahanan Pangan di NTT. Apa Solusinya?
Tambang Pilihan Terakhir
Konflik antara masyarakat adat Labo di tiga desa dan tiga kecamatan di Kabupaten Nagekeo dengan pemerintah soal pembangunan Waduk Lambo masih terjadi.
Pasalnya komunitas adat Rendu,Lambo dan Ndora tetap menolak lokasi waduk yang direncanakan dibangun di Lowose. Komunitas adat menawarkan lokasi alternatif di Lowopebhu dan Malawaka.
“Masyarakat adat tetap bersikeras dengan lokasi yang ditetapkan dan menawarkan lokasi alternatif. Kita harapkan pemerintah pusat meresponnya agar tidak ada persoalan dengan tiga suku besar di daerah tersebut,” tegas Lipus.
Soal tambang dan rencana pabrik semen di Manggarai Timur, Lipus katakan AMAN masih menolak tambang di Flores dan Lembata dengan berbagai analisa dan dampak.
Dia berucap, belajar dari tambang yang telah ada sebelumnya, usai berhenti beroperasi, perusahaan tidak melakukan reklamasi. Kerusakan lingkungan tidak direhabilitasi oleh pemerintah dan perusahaan.
“Bicara ekologi Flores tidak hanya tambang di Manggarai. Kita mendorong dikembangkan sektor wisata, perkebunan dan kehutanan, pertanian tanaman pangan, perikanan dan kelautan,” bebernya.
Lipus menyebutkan apabila empat sektor ini dikembangkan secara baik maka tambang jadi pilihan terakhir. Ia tegaskan, Flores merupakan pulau rentan bencana sehingga akan didorong untuk menolak tambang.
baca juga : AMAN Minta Pengukuran Tanah Adat untuk Waduk Lambo Dihentikan. Kenapa?
Tanam Pohon
AMAN Nusa Bunga terus mendorong agar masyarakat adat mengembangkan lagi kerafian berbasis lingkungan, menjaga keseimbangan lingkungan supaya bisa meminimalisir pemanasan global.
Lipus katakan, kayu-kayu lokal yang cukup baik harus dilestarikan termasuk untuk berkaitan langsung dengan nilai budaya seperti kebutuhan pembangunan rumah adat termasuk menjaga mata air.
“Kita juga terus menerus mendorong agar pangan lokal tetap dibudidayakan kembali. Hal ini agar tingkat ketergantungan terhadap pupuk kimia berkurang drastis karena akan mencemari tanah,” ucapnya.
Menurut Lipus, komunikasi dengan pemerintah daerah terkait identitas budaya penting dijaga dan dilestarikan terus berlangsung. Selain itu pihaknya gencar membangun kesadaran komunitas adat untuk menunjukan identitasnya.
Ia jelaskan ada identitas masyarakat adat yang utama yakni teritorial adat, lembaga adat, seremonial adat, peradilan adat dan kalender ritual adat. Selain itu ada tata kelola pertanian dan perkebunan berdasarkan kearifan lokal.
Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi dalam pidatonya menyambut HUT AMAN menyebutkan pandemi COVID-19 menegaskan apa yang selama ini diperjuangkan benar dan baik, dimana kehidupan harus terus menjaga ibu bumi dan adil dengan sesama manusia.
“Kita menginginkan keselamatan bumi bagi keberlangsungan kehidupan umat manusia. Hal ini dapat berlangsung apabila bumi yang kita cintai dikelola secara adil dan berkelanjutan,” tegasnya.
Rukka berpesan sistem yang bersifat eksploitatif dan merusak, harus ditinggalkan, diganti dengan sistem gotong-royong yang mengakar pada prinsip-prinsip kearifan lokal dan budaya agraris serta bahari setempat.
Ia minta masyarakat adat harus mampu membebaskan pikiran dari keyakinan semu yang ditanamkan oleh kapitalis tentang produksi pangan. Ia meminta agar segera diperbaiki dengan mulai kembali pada produksi pangan yang lebih sehat.
Dia harapkan agar resiliensi masyarakat adat terus bertahan, dengan merubah sistem pertanian secara berkelanjutan dan ramah lingkungan.