- Sebagian besar kawasan hutan Bukit Cogong pada periode 1970-1990an habis dirambah dan dijadikan kebun oleh warga.
- Mulai 2004, -belajar dari banyaknya bencana longsor saat musim penghujan, warga mulai sadar pentingnya kawasan hutan ini untuk dikembalikan ke fungsinya semula
- Hutan Cogong seluas 290 hektar saat ini dikelola sebagai hutan kemasyarakatan yang terdiri dari area Hutan Pemanfaatan (205 hektar) dan Hutan Lindung (85 hektar).
- Meskit kondisi hutan telah mulai kembali pulih, Kelompok HKm Wana Manunggal berharap ada dukungan pemerintah untuk pengembangan ekowisata dan melakukan penjagaan hutan.
Senyum ramah petani karet dan kopi menyambut perjalanan kami menelusuri kawasan hutan Bukit Cogong di Desa Sukakarya, Kecamatan Suku Tengah Lakitan (STL) Ulu Terawas, Kabupaten Musi Rawas.
Vegetasi tanaman masih didominasi kopi, karet dan durian, meski telah melewati satu jam perjalanan. Memasuki ketinggian 100 mdpl, jalan terjal serta formasi dinding batu besar mulai dihiasi tumbuhan anggrek, simbar, begonia dan philodendron menemani perjalanan kami.
“Karet, kopi dan durian di sini sudah berukuran besar. Usianya sudah 20 tahun lebih, sekitar tahun 1970-an hutan Bukit Cogong mulai dirambah dan dibuka menjadi kebun warga,” tutur Nibuansyah, Ketua Kelompak Tani Hutan (KTH) HKM Wana Manunggal, kepada Mongabay Indonesia, awal Maret lalu.
Baca juga: Sagu Risi, Bahan Pangan Ramah Lingkungan dari Bukit Cogong
Nibuansyah lanjut bercerita tentang sejarah perambahan kawasan hutan Bukit Cogong yang luas 1.222 hektar ini. Jelasnya periode 1970-1990-an kawasan ini habis dirambah.
“Terbukanya kawasan hutan, mengakibatkan hilangnya beragam spesies flora dan fauna, seperti pohon tembesu, meranti, ulin, beragam anggrek, harimau sumatera, merak sumatera, tarsius, rusa, kijang, hingga burung rangkong,” lanjutnya.
Bermodalkan semangat untuk mengembalikan dan menjaga kelestarian Bukit Cogong, Nibuansyah dan warga lokal mulai melakukan gerakan penghijauan sejak tahun 2004.
Awalnya mereka mengalami kesulitan dalam menarik partisipasi warga. Namun lambat laun warga dapat diyakinkan pentingnya mereboisasi kawasan. Pada tahun 2012, warga mengajukan skema perhutanan sosial kepada pemerintah.
“Alhamdulillah, sekarang ada 90 kepala keluarga yang berkomitmen menjaga kelestarian kawasan hutan Bukit Cogong, mereka tergabung dalam KTM Hkm Wana Manunggal,” katanya.
Legalitas pengelolaan hutan diperoleh melalui keputusan Bupati Musi Rawas No.389/KPTS/KEHUT/2015 tentang pemberian izin usaha pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan [HKm].
Hutan Kemasyarakatan Bukit Cogong memiliki luas 290 hektar. Terdiri dari Hutan Pemanfaatan (205 hektar) dan Hutan Perlindungan (85 hektar). Dari luas 205 hektar hutan pemanfaatan, sekitar 100 hektar dijadikan warga sebagai wilayah perkebunan karet, durian dan kopi.
“Adanya keterlibatan masyarakat dalam menjaga dan melestarikan hutan Bukit Cogong, telah mengurangi kerusakan kawasan hutan Bukit Cogong. Bahkan lambat laun, keanekaragaman satwa dan tumbuhan di hutan Bukit Cogong mulai kembali seperti semula,” sebutnya.
Meski demikian dia mengaku satwa seperti rangkong, harimau dan tarsius belum terlihat dalam beberapa tahun terakhir. Kabar baiknya, beberapa jenis satwa telah mulai mendiami tempat ini. Kami mendapati jejak goresan tanduk kijang di sejumlah pohon.
“Kembalinya sejumlah spesies flora maupun fauna, dapat memicu kembalinya rantai ekosistem hutan Bukit Cogong seperti semula,” lanjut Nibuansyah.
Selama mendaki dan menelusuri kawasan hutan Bukit Cogong hingga ketinggian 600 mdpl, Mongabay Indonesia mendapati tutupan hutan yang cukup lebat. Berbagai pohon yang sempat menghilang semasa era perambahan, seperti meranti, tembesu, merbau, dan berbagai jenis anggrek, serta tumbuhan dari keluarga begonia dan philodendron.
Penelitian Destien Atmi Arisandy dan Merti Triyanti dari STKIP Lubuklinggau dengan judul “Keanekaragaman Jenis Vegetasi di Bukit Cogong Kabupaten Musi Rawas” pada 2020 di dalam Jurnal Pendidikan Biologi dan Sains menyebut, vegetasi tingkat pohon di kawasan hutan Bukit Cogong, ada 30 spesies, seperti pulai, medang, rasamala, merbau, meranti dan balam.
Sedangkan untuk vegetasi semak ditemukan 16 spesies, seperti seduduk lanang, bambu, sirih hutan, nasi-nasi, dan daun dewa. Sementara untuk vegetasi herba ditemukan 17 spesies, seperti tepusan, keladi merah, nanfu hijau dan bemban.
“Kalau anggrek, sejauh ini saya sudah menemukan 25 jenis anggrek, di tanah, di pohon, maupun di sela-sela batuan. Dari sekian banyak jenis itu, yang saya tahu hanya jenis anggrek harimau, dan anggrek hitam,” sebut Nibuansyah.
Terhindar dari bencana dan terjaganya mata air
Dampak yang dirasakan warga dengan membaiknya kualitas hutan Bukit Cogong, membuat 2.783 jiwa warga Desa Sukakarya, terhindar dari bencana erosi dan longsor selama musim penghujan.
Hal ini berbeda dengan periode tahun 1990-an, pada tiap musim penghujan ada saja tanah longsor di wilayah ini.
Kawasan Bukit Cogong sendiri menjadi sumber mata air Sungai Cogong, yang mengalir ke Sungai Malus menuju Sungai Lakitan hingga ke Sungai Musi. Air inilah yang menjadi sumber aliran ribuan hektar sawah milik warga Sukakarya.
“Dampak positif dari terjaganya kawasan hutan Bukit Cogong, secara tidak langsung ikut menyadarkan masyarakat sekitar akan pentingnya sebuah kawasan hutan. Selain memperoleh hasil ekonomi dari berkebun karet, kopi atau durian, warga juga bisa mendapatkan dampak penting seperti terhindar dari bencana dan terjaganya sumber air,” lanjut Nibuansyah.
Baca juga: Perhutanan Sosial di Sumatera Selatan Bukan Sebatas Luasan
Selain dikembangkan sebagai jasa lingkungan, juga Bukit Cogong akan dikembangkan menjadi kawasan wisata alam.
Berdasarkan pengamatan Mongabay Indonesia, di wilayah kaki Bukit Cogong telah berdiri sejumlah fasilitas wisata seperti pondok, sepeda gantung dan sebagainya. Wisata ini dibuka sejak tahun 2020 lalu, Nibuansyah menyebut pengelolaannya dilakukan secara hati-hati agar tidak timbul dampak negatif.
“Jika sudah dibuka menjadi wisata alam, [harus diperhitungkan] akan muncul ancaman baru, seperti sampah dan perambahan tumbuhan-tumbuhan anggrek di Bukit Cogong.”
Dia pun berharap akan ada dukungan dari pemerintah maupun pihak luar untuk pelestarian kawasan hutan Bukit Cogong. Termasuk, pelatihan pengelolaan ekowisata dan dukungan teknis bagi tenaga patroli yang berasal dari anggota HKm Wana Manunggal.
“Penjagaan hutan lindung mutlak dilakukan. Kami pernah jumpai ada pencuri kayu dan pemburu satwa datang saat malam hari. Kami juga pernah memergoki seorang pemburu anggrek yang datang pada malam hari,” tutupnya.
***
Foto utama: Hamparan awan di atas kawasan Bukit Cogong, Foto: Yudi Semai