- Polemik tahunan kembali muncul dari industri garam nasional. Masalah tersebut kembali hadir setelah Pemerintah Indonesia mengambil kebijakan berani dengan membuka kembali keran impor untuk garam sebanyak 3,07 juta ton
- Kebijakan yang ditetapkan pada Januari 2021 lalu, dilakukan karena kebutuhan garam nasional sangat banyak dan belum bisa dipenuhi oleh produksi garam dalam negeri. Bahkan, kualitas produksi di dalam negeri juga disebutkan sangat jauh dari kualitas garam impor
- Di sisi lain, membuka kembali kebijakan impor garam, itu sama saja dengan menjatuhkan para petambak garam rakyat yang sudah bersusah payah melaksanakan produksi dengan segala keterbatasan yang ada
- Kebijakan tersebut juga menjelaskan bahwa Pemerintah tidak memiliki rencana jangka panjang yang jelas terkait tata kelola garam secara nasional. Demikian juga dengan regulasi yang sudah diterbitkan lebih berpihak kepada para pelaku usaha impor
Pemerintah Indonesia dinilai tidak pernah serius untuk menanggapi keluhan para petambak garam tradisional yang sudah bekerja keras memproduksi garam. Sejak lama, Pemerintah hanya menunjukkan keberpihakannya kepada para pelaku usaha skala besar yang terlibat dalam impor garam.
Tudingan tersebut muncul, setelah pada 25 januari 2021 Pemerintah Indonesia memutuskan untuk melaksanakan impor garam sebanyak 3,07 juta ton. Angka tersebut mengalami kenaikan dibandingkan dengan angka impor garam pada 2020 yang mencapai 2,7 juta ton.
Keputusan untuk melaksanakan impor garam, ditetapkan oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, setelah sebelumnya diusulkan oleh Kementerian Perdagangan RI. Keputusan tersebut ditetapkan, karena persediaan garam nasional mengalami defisit.
Dewan Presidium Persatuan Petambak Garam Indonesia Amin Abdullah mengatakan, rapat penetapan importasi komoditas garam menjelaskan bahwa Pemerintah tidak ingin menunjukkan keberpihakannya kepada para petambak garam yang setiap tahun selalu menjadi korban dari kebijakan tersebut.
baca : Kenapa Harus Impor Garam Lagi?
Menurut dia, sikap yang tidak adil itu juga menegaskan bahwa Pemerintah tidak memiliki rencana yang jelas untuk waktu yang panjang. Tudingan itu muncul, karena hingga sekarang tidak ada peta jalan (roadmap) yang dimiliki Indonesia berkaitan dengan tata kelola garam.
Padahal, dengan adanya peta jalan tata kelola garam yang komprehensif, itu akan bisa mengatur segala rencana dan kebijakan pergaraman secara nasional. Selain itu, peta jalan juga bersifat jangka panjang dan itu bisa mendorong pembangunan kedaulatan pergaraman nasional.
Amin Abdullah menyebutkan, kebijakan impor garam yang terus berulang setiap tahun, membuktikan bahwa Pemerintah hanya berpihak kepada para importir besar dan juga negara asing yang menjadi negara asal, seperti Austraslia, Republik Rakyat Tiongkok (RRT), dan India.
“Pemerintah Indonesia tak berpihak kepada petambak garam nasional,” ucap dia awal pekan ini di Jakarta.
Dia kemudian menyebutkan data impor garam dari dalam lima tahun terakhir. Pada 2017, Indonesia melaksanakan impor dari Australia dengan jumlah garam mencapai 2,29 juta ton. Lalu pada 2018, impor kembali dilakukan dari negara yang sama dengan jumlah meningkat menjadi 2,6 juta ton.
Impor kembali berjalan dari Australia dua tahun kemudian, atau tepatnya pada 2020 dengan jumlah garam mencapa 2,22 juta ton. Negara tersebut menjadi negara yang mendominasi atas kebijakan impor garam di Indonesia.
baca juga : Negara Harus Hentikan Kekacauan Tata Kelola Garam Nasional
Tiga Negara
Selain Australia, ada juga RRT yang berperan sebagai negara penyumbang garam pada 2019 dengan jumlah garam sebanyak 568 ton. Kemudian pada 2020, impor juga dilakukan dari negara tersebut, namun dengan jumlah meningkat menjadi 1.320 ton
Terakhir, negara yang terlibat dalam kebijakan impor garam Indonesia, adalah India. Negara dari Asia Selatan tersebut tercatat mengirim garam selama dua tahun, yakni pada 2019 dengan jumlah garam sebanyak 719.550 ton dan 2020 sebanyak 373.930 ton.
“Angka-angka impor itu akan semakin besar jika datanya kita tarik semakin jauh ke belakang. Poin utamanya, sejak lama pemerintah Indonesia siapapun Presidennya tidak pernah serius membangun kedaulatan garam nasional,” ungkapnya.
Menurut Amin, kebijakan impor garam sama sekali tidak dipahami, karena alasan Pemerintah yang menyebut produksi garam nasional tidak memadai, tidak sepenuhnya benar. Hal itu, karena petambak garam nasional diklaimnya sudah mampu memproduksi garam berkualitas tinggi untuk kebutuhan industri.
“Pemerintah menyebut produksi tidak menjawab kebutuhan garam industri. Padahal, saat musim hujan pun, petambak garam bisa memproduksi garam dengan jumlah ratusan ton,” jelas dia.
baca juga : Perjuangan Garam Rakyat untuk Bersaing dengan Garam Industri
Oleh karenanya, jika Pemerintah ingin membangun industri garam nasional dengan kuat, maka sebaiknya dari sekarang dibangun kekuatan petambak garam hingga bisa mencapai kedaulatan sendiri. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, karena Negara hanya ingin mengambil jalan pintas saja.
“Pemerintah Indonesia selalu mengambil jalan pintas daripada membangun kekuatan garam nasional dalam jangka panjang,” tambah dia.
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati mengaku sudah bisa menebak jika kebijakan impor garam akan kembali ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia. Menurutnya, kebijakan itu muncul karena pada 2018 Pemerintah Indonesia sudah menerbitkan regulasi tentang garam.
Regulasi yang dimaksud, adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengendalian Impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman sebagai Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri.
Menurut analisa dia, PP tersebut sama sekali tidak berpihak terhadap kedaulatan, keberlanjutan, dan kesejahteraan petambak garam Indonesia. Sebaliknya, itu justru mempermudah impor komoditas perikanan dan pergaraman yang selama ini hanya menguntungkan segelintir orang, yakni pengimpor.
perlu dibaca : Upaya Garam Nasional Keluar dari Kesulitan Produksi
Keberpihakan Regulasi
Selain oleh PP 9/2018, kebijakan impor garam juga semakin dipermudah setelah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja disahkan oleh DPR RI. Pada pasal 37 ayat 1 UU Cipta Kerja disebut bahwa Pemerintah Pusat mengendalikan impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman.
Lalu, pasal ini dijabarkan dalam PP 27/2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perikanan dan Kelautan dan Perikanan pasal 289 yang menyebut tidak ada batasan waktu impor garam. Baik UUCK ataupun PP 27/2021, sama-sama tetap mengizinkan impor garam, meskipun sedang musim panen garam.
“Pemerintah tinggal menyusun neraca pergaraman nasional di tingkat Kementerian Perekonomian,” terang dia.
Susan menyimpulkan, nasib buruk petambak garam nasional semakin memburuk setelah UUCK dan PP 27/2021 diterbitkan dan sekaligus memperburuk masa depan pergaraman nasional. Dia meyakini kalau Indonesia akan menjadi negara importir garam terbesar di dunia, sekaligus tergantung pada negara lain.
Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trengono mengutarakan di hadapan Komisi IV DPR RI dalam rapat kerja yang digelar pada pekan lalu. Menurut dia, kebutuhan garam nasional hingga akhir 2021 diperkirakan mencapai 4,6 juta ton.
Sementara, produksi garam secara nasional hingga periode waktu yang sama jumlahnya hanya mencapai 2,1 juta ton saja. Itu artinya, ada kekurangan sebanyak 2,5 juta ton yang harus dipenuhi untuk bisa memenuhi kebutuhan garam nasional.
Dari jumlah 4,6 juta ton kebutuhan garam nasional, sebagian besar didominasi untuk kebutuhan garam industri manufaktur yang jumlahnya mencapai 3,9 juta ton. Sementara sisanya, atau sebanyak 700 ribu ton garam itu untuk memenuhi kebutuhan garam konsumsi dan yang lainnya.
baca juga : Foto: Asa Petani Garam Tradisional Ditengah Hantaman Garam Impor
Selain dengan mengambil cara impor untuk bisa memenuhi kebutuhan nasional, KKP menyebut kalau upaya lain juga sudah dilakukan dengan terus memperbaiki dan meningkatkan produksi garam lokal hingga mencapai kualitas yang disyaratkan sesuai kebutuhan garam industri.
Adapun, upaya tersebut di antaranya dengan melaksanakan integrasi lahan dan peningkatan produksi garam dari 60 ton per hektar per musim menjadi 120 ton per ha per musim. Selain itu, dilaksanakan juga pembangunan gudang garam nasional, dan penerapan resi gudang.
Tak lupa, upaya untuk meningkatkan produksi dan memperbaiki kualitas garam rakyat, juga dilakukan dengan melaksanakan revitalisasi gudang garam rakyat, perbaikan jalan produksi, dan perbaikan saluran. Semua itu, diharapkan bisa mendorong perbaikan dan peningkatan produksi garam rakyat.
Sebelumnya, Menteri Perdagangan Muhammad Luthfi mengungkapkan alasan kenapa Pemerintah mengambil jalan impor untuk memenuhi kebutuhan garam nasional. Menurut dia, selama ini kualitas garam lokal belum sesuai dengan kebutuhan garam industri.
Itu kenapa, seluruh garam impor akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan garam industri. Kalaupun industri dipaksakan untuk memenuhi kebutuhan garamnya dari produksi lokal, kualitas produksi dikhawatirkan akan turun dan akan menghancurkan harga jual di pasaran.
Dalam penilaian dia, agar persoalan garam bisa terus membaik di masa mendatang, maka yang harus dilakukan adalah meningkatkan kuantitas dan kualitas garam yang diproduksi di dalam negeri. Dengan demikian, kebutuhan garam industri di masa mendatang diharapkan bisa terpenuhi dari lokal.