- Lebih 20 tahun lalu, lahan-lahan Masyarakat Adat Pantai Raja kena klaim sepihak PTPN V. Kebun-kebun produktif warga antara lain kebun karet sirna, berubah jadi kebun sawit. Warga melawan. Konflik lahan tak kunjung usai, belakangan malah PTPN V menggugat 14 warga Desa Pantai Raja, Kecamatan Perhentian Raja, Kampar, Riau.
- Tak hanya warga adat Pantai Raja yang kena gugat. Putra Abadi dan Gusdianto, advokat yang sejak lama mendampingi warga juga kena gugat.
- Mengutip materi gugatan, PTPN V menuding para tergugat melawan hukum ketika menduduki kebun sawit di Afdeling I, Kebun Sei Pagar, selama 23 hari, Agustus tahun lalu. Ratusan warga mendirikan tenda, menutup akses ke kebun dan pabrik sawit serta menghalangi kegiatan perkebunan lain. Masyarakat terlebih dahulu menyurati PTPN V supaya tak memanen sawit dan aktivitas apapun pada lahan 150 hektar yang puluhan tahun bersengketa.
- Beberapa warga adat Pantai Raja, yang menjadi saksi mata kejadian puluhan tahun silam kala kebun-kebun karet mereka kena buldozer.
Konflik lahan puluhan tahun antara Masyarakat Adat Pantai Raja dengan perusahaan sawit negara, PT Perkebunan Nusantara (PTPN V) tak kunjung usai. Kesepakatan demi kesepakatan dibuat tetapi perusahaan negara ini tak juga merealisasikan. Belakangan, malah PTPN V menggugat 14 warga Desa Pantai Raja, Kecamatan Perhentian Raja, Kampar, Riau.
Mereka yang kena gugat adalah Bakhtiar, Ali Amran, M Yunis, Abu Salim, Abadilah, Barisno dan Rusdianto. Kemudian Paidi, Djamalus, Putra Abadi, Jufrizal, Dendi Zulheri, Zaini serta Gusdianto. Sebagai turut tergugat, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kampar dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Putra Abadi dan Gusdianto, advokat yang sejak lama mendampingi warga. Sisanya, tokoh masyarakat dan tokoh adat Pantai Raja.
Abu Salim, Djamalus dan Dendi Zulheri menyatakan melepaskan hak untuk mengajukan pembelaan. Mereka pun menyatakan tidak akan hadir lagi dalam persidangan. Pengunduran itu mereka sampaikan langsung di muka persidangan, 24 Februari lalu.
Mengutip materi gugatan, PTPN V menuding para tergugat melawan hukum ketika menduduki kebun sawit di Afdeling I, Kebun Sei Pagar, selama 23 hari, Agustus tahun lalu.
Ratusan warga mendirikan tenda, menutup akses ke kebun dan pabrik sawit serta menghalangi kegiatan perkebunan lain. Masyarakat terlebih dahulu menyurati PTPN V supaya tak memanen sawit dan aktivitas apapun pada lahan 150 hektar yang puluhan tahun bersengketa.
Tuntutan itu berimbas dengan penghentian pengangkutan buah dan cangkang sawit termasuk minyak mentah dari pabrik. PTPN V juga merasa kehilangan kepercayaan dari rekan atau mitra kerja, hingga mereka menuntut ganti rugi Rp14.506.392.641.
Menurut kuasa hukum para tergugat, PTPN V tidak tepat menggugat 14 nama yang terdaftar dalam gugatan. Sebab, mereka adalah kuasa dari 157 keluarga masyarakat hukum adat Pantai Raja, yang tergabung dalam Tim Advokasi Gerakan Masyarakat Desa Pantai Raja (Gempar). Mereka hanya menjalankan kuasa untuk mendampingi dan mewakili masyarakat hukum adat Pantai Raja selama perselisihan dengan PTPN V berlangsung.
Begitu juga Gusdianto dan Putra Abadi. Kedunya adalah kuasa hukum masyarakat hukum adat ITU. Selama ini, mereka menjembatani berunding, musyawarah, menjawab pertanyaan, merancang surat menyurat termasuk memberi arahan dan penyuluhan hukum pada masyarakat adat Pantai Raja.
“Semata-mata menghindari tindakan anarkis dan bentrokan fisik antara masyarakat dengan PTPN V,” kata Gusdianto.
Sebagai advokat mestinya dia dan rekan tidak dapat dituntut baik perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas untuk kepentingan klien. Karena itu, kuasa hukum para tergugat menyarankan PTPN V menyebut satu persatu nama dari 157 keluarga masyarakat adat Pantai Raja yang menduduki lahan kala itu.
“Karena, klaim lahan itu bersama-sama bukan individu atau perorangan.”
Baca juga: Orang Pahou Hidup Sulit Kala Ada Perusahaan Sawit

Puluhan tahun berkonflik
Konflik lahan ini sudah berlangsung dua dekade lebih. Awalnya pada 1984, Gubernur Riau mencadangkan 20.950 hektar kawasan hutan yang dapat dikonversi (HPK) untuk perkebunan masyarakat di Sei Pagar. Pada 1989, Menteri Kehutanan pun menerbitkan surat keputusan pelepasan kawasan hutan seluas 21.994 hektar di kawasan itu, mencakup Kelompok Hutan Sungai Kampar Kanan-Sungai Kampar Kiri, Kecamatan Siak Hulu dan Kampar Kiri.
Pemerintah Pusat bermaksud hendak melaksanakan proyek Perkebunan Inti Rakyat (PIR), bagi masyarakat transmigrasi yang disebut PIR Trans dan petani lokal sekitar atau PIR Khusus. Sebagai pelaksana proyek, PTPN V hanya mampu membangun perkebunan sawit 8.856,841 hektar. Karena krisis ekonomi dan karut-marut politik jelang kejatuhan masa orde baru, pemerintah pusat membagi-bagikan kebun itu.
Sekitar 6.000 hektar buat 2.000 petani trans dan petani lokal. Masing-masing mendapat dua hektar yang disebut kebun plasma plus lahan pekarangan dan perumahan. Sisanya 2.856,841 hektar diserahkan sepenuhnya pada PTPN V yang disebut kebun inti.
Di sinilah mulai timbul masalah. Masyarakat Adat Pantai Raja menuntut PTPN V menyerahkan 1.013 hektar lahan mereka yang dicaplok. Menurut warga, jauh sebelum ada program atau proyek PIR, nenek moyang mereka sudah menetap dan mengolah lahan sebagai sumber penghidupan.
Areal itu adalah sumber tanaman palawija, buah-buahan dan tanaman kehidupan lain.
Setelah berulangkali negosiasi, akhirnya pada 6 April 1999, tercapai kesepakatan tertuang dalam berita acara hasil rapat antara Masyarakat Adat Pantai Raja dengan PTPN V. Isinya, Direktur Produski PTPN V SN Situmorang mengakui, kebun inti PIR Trans yang sekarang dinamai Afdeling I Sei Pagar masuk dalam 150 hektar kebun karet Pantai Raja. Ibarat harapan palsu, PTPN V tak kunjung mengembalikan lahan itu.
Dalam situasi bertikai itu, PTPN V justru mohon pada Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kampar menerbitkan sertifikat hak guna usaha (SHGU). Atas risalah Panitia Pemeriksaan Tanah B pada 30 September 1999, BPN Kampar mengeluarkan HGU seluas 2.856,841 hektar buat PTPN V pada 24 Maret 2001.
Bahkan, selang tiga tahun, tepatnya 14 Mei 2004, Gubernur Riau menerbitkan izin usaha perkebunan (IUP) buat perusahaan negara ini.
Seperti isi gugatan, PTPN V tetap berdalih, areal itu semula kawasan hutan atau tanah negara yang belum pernah terbebani izin apapun. Belakangan, PTPN V menyebut, berita acara kesepakatan masyarakat bersama direksi tidak didukung dengan bukti-bukti surat kepemilikan tanah. PTPN V juga merasa tidak punya kewajiban menyerahkan lahan yang dimintakan itu, apalagi membayar ganti rugi.
Dia merujuk pada ketentuan pelaksanaan program PIR. Kalaupun ada lahan masyarakat terkena, mereka cukup ikut serta dalam program itu. Itupun dengan syarat-syarat tertentu, salah satu bukti alas hak yang diputuskan oleh pemerintah pusat dan daerah.
PTPN V menganggap, masyarakat atau petani sekitar sudah terakomodir saat pertama kali program itu berjalan.
Merujuk jawaban tertulis masyarakat atas gugatan dari PTPN V, meski sudah berulangkali mediasi, perusahaan negara itu tetap kokoh mempertahankan lahan dan enggan mengeluarkan sebagian dari luas HGU buat masyarakat. Upaya mencari solusi terbaik dari sengketa lahan ini sudah dilakukan di berbagai tempat, baik di kantor pemerintah daerah, ruangan PTPN V maupun tempat-tempat lain yang disepakati, bahkan langsung pada areal yang bersengketa.
Baca juga: Nasib Warga Merbau dan Rukam yang Hidup di Sekitar Kebun Sawit Perusahaan

Pada perundingan yang difasilitasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Subkomisi Penegakan HAM Bidang Mediasi, tercapai satu titik temu. PTPN V bersedia membangun kebun sawit dengan pola kredit koperasi primer anggota (KKPA) seluas 400 hektar.
Kesepakatan itu dibuat 11 April 2019. Menurut kuasa hukum tergugat, perjanjian itu tegas dan tidak langsung mengakui 150 hektar lahan itu milik Masyarakat Adat Pantai Raja. Lagi-lagi, kesepakatan itu tak kunjung terlaksana.
Sementara, sejak 1999 sampai saat ini, Masyarakat Adat Pantai Raja merasa telah dirugikan sekitar Rp10 triliun. Ketika PTPN V menebang habis pohon karet produktif pada areal itu dan mengganti dengan tanaman sawit maupun perumahan karyawan.
Ratusan kali sudah Masyarakat Adat Pantai Raja dengan itikad baik, menemui langsung direksi PTPN V, meminta kepastian realisasi atas kesepakatan yang dibuat 22 tahun silam. Berbagai surat telah dilayangkan langsung maupun lewat elektronik pada instansi pemerintah daerah dan pusat. Hanya Komnas HAM, satu-satunya lembaga negara yang merespon pengaduan masyarakat. Kepastian penyelesaian masalah belum ada, sejumlah warga justru harus menghadapi perlawanan di meja hijau.
Ancaman pidana
Sebelum melayangkan gugatan, PTPN V terlebih dahulu melaporkan 14 warga adat itu ke Direktorat Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Riau, dengan tuduhan melanggar UU Perkebunan karena menduduki lahan tanpa izin. Penyidik baru memanggil dan meminta keterangan lima orang: Abadillah, Gusdianto, Rusdianto, Bakhtiar dan Paidi. Surat pemanggilan itu ditujukan ke Kantor Desa Pantai Raja, markas Gempar.
M Yunis, Ketua Gempar, mengatakan, tujuan mereka mendiami 150 hektar lahan di Afdeling I Sei Pagar selama hampir satu bulan, karena PTPN V kembali mengingkari kesepakatan membangun kebun sawit pola KKPA 400 hektar bagi warga Pantai Raja. Masing-masing pihak, katanya, sebenarnya sudah mendapatkan lahan pengganti di sekitaran Kuantan Singingi, cukup jauh dari lokasi bersengketa. Dia bilang, PTPN V justru ogah melaksanakan perjanjian itu dengan alasan, areal itu kawasan hutan dan tak bernilai ekonomis.
Baca juga: Fokus Liputan: Ironi Sawit di Negeri Giman (Bagian 1)

Tak kunjung ada solusi setelah sembilan bulan tenggat waktu kesepakatan itu harus terealisasi, Masyarakat Adat Pantai Raja memutuskan mendirikan tenda untuk bermalam pada areal 150 hektar itu.
“Itu keputusan bersama setelah dirundingkan dengan masyarakat,” ujar M Yunis. Masyarakat sudah cukup sabar dan banyak mengalah dari tahun ke tahun.
Yunis mengatakan, aksi mereka semata-mata hendak menegaskan kembali keputusan 6 April 1999. Bahwa, dalam lahan inti PTPN V terdapat 150 hektar kebun masyarakat Pantai Raja. Mereka justru baru tahu PTPN V memiliki HGU setelah dilaporkan ke Polda dan menghadapi gugatan di PN Bangkinang.
Selama berkonflik dan bernegosiasi sertifikat itu tidak pernah disampaikan PTPN V ke masyarakat. “HGU terbit tahun 2001. Ribut-ributnya sebelum itu. Berarti ketika berkonflik dan ada perjanjian 6 April 1999, PTPN V memohon HGU di lahan yang masih bersengketa.”
M Yunis akan tetap menghadapi tuntutan dan laporan PTPN V ke penegak hukum. Dia yakin dengan Masyarakat Pantai Raja yang berjuang sampai ke ahli waris. Dia masih ingat dengan perkataan almarhum orangtuanya yang ikut menderita karena kebun tergusur. “Barangsiapa yang menghambat pembangunan dianggap PKI.”
Menurut Gusdianto, tidak ada pelanggaran UU Perkebunan yang terjadi saat masyarakat mendiami Kebun Afdeling I Sei Pagar. Masyarakat diyakini memiliki dasar dan tidak mungkin sembarangan menduduki lahan bila tak punya hak di atasnya.
“Justru PTPN V menyelundupkan hukum. Pada 1999, mereka mengakui lahan karet masyarakat di sana, kenapa mereka tidak keluarkan? Mereka justru diam-diam memohon HGU di lahan yang masih bersengketa. Artinya, mereka menciptakan konflik baru karena mengurus izin pada areal yang semula sudah berkonflik.”
Gusdianto juga memenuhi panggilan Polda dan memberi keterangan di sana terkait masalah ini. Setelah itu, giliran Abadilah yang menerima panggilan.
Abadilah baru beri keterangan setelah surat panggilan ketiga. Dia bersentuhan langsung dengan masalah ini pada 2012, setelah meneruskan gelar Datuk Abu Garang dari pamannya. Katanya, 150 hektar lahan yang diklaim masyarakat adalah bagian dari wilayah adat Pantai Raja. Abadilah masih menyimpan peta tua atau wilayah adatnya. “Di sana dulu Kampung Tua Pantai Raja.”
Meski masa muda bekerja di luar negeri sebagai tukang masak, Abadilah tahu sengketa lahan ini sudah berlarut-larut puluhan tahun. Sekitar 2015, dia mengetahui PTPN V melaksanakan penanaman kembali kebun inti.
Di pikir, itulah kesempatan menagih kembali 150 hektar lahan masyarakat Pantai Raja. Terbentuklah kelompok masyarakat yang dinamai Gempar. Sejak itulah, beberapa kali pertemuan dan negosiasi dilakukan, sampai akhirnya lahan itu ditempati ratusan warga sebagai bentuk protes karena PTPN V yang selalu ingkar janji.
Sebagai pemangku adat, Abadilah merasa perlu mendapat dukungan dari pemangku dan lembaga adat lain termasuk organisasi masyarakat adat, pemuda dan mahasiswa. Sebagai orang adat juga, dia memiliki kewajiban menghadapi laporan dan gugatan PTPN V karena sudah menyangkut marwah kampungnya.
“PTPN V tidak hanya menzolimi hak orangtua kami dulu juga hak adat masyarakat. Itu harus saya perjuangkan sebagai salah satu orangtua adat di sini. Sampai kapanpun itu. Kalau kami mengalah atau dikalahkan, sama saja PTPN V menginjak-injak marwah kampung kami. Marwah lebih berharga daripada kepentingan pribadi.”

Kesaksian warga Pantai Raja
Atta masih berumur 10 tahun ketika PTPN V membabat kebun karet warga Pantai Raja. Seingatnya, waktu itu tahun 1986. Sebagai anak kedua dari enam bersaudara, Atta paling dekat dan sering ikut ayahnya, mendiang Marso, menyadap karet bahkan tidur di gubuk yang dibangun di antara barisan pohon-pohon itu.
Tiap pagi, dia mengayuh sepeda seorang diri sepanjang tiga kilometer berangkat sekolah terlebih dahulu. Setelah itu, dia kembali membantu sang ayah.
Di masa anak-anak itulah, Atta merekam dan masih mengenang kecemasan dan kemurungan warga ketika sumber kehidupan mereka kena buldoser, mesin chainshaw serta dibakar.
“Siang-malam kebun karet warga dihantam dengan buldoser. Warga sedang mengambil getah karet diusir. Tak ada yang berani melawan karena ketakutan dengan seragam aparat dan senjata mereka,” kata Atta.
Para operator alat berat yang diupah PTPN V dikawal polisi dan tentara. Sesekali aparat melepas tembakan ke atas bila ada yang mengahalang-halangi keinginan negara waktu itu. Hanya beberapa orang mampu melawan meski tidak bertahan lama, ujung-ujungnya pasrah dengan keadaan.
Mediang Marso, dikenal warga paling berani dan lantang bicara menghadapi orang-orang PTPN V. Dia menantang operator alat berat yang mau menggusur kebunnya bahkan memanjat pohon karet yang hendak ditebang. Atta hampir saja jadi korban ketika ayahnya menyuruh berdiri tepat di depan buldoser demi mencegah alat berat menumbangkan pohon-pohon karet. Cara-cara dialog juga dilakukan Marso supaya kebun tidak terganggu.
Marso perantauan dari Pulau Nias. Dia memeluk Islam di Medan, sebelum menginjakkan kaki di Pantai Raja dan menemukan jodoh di sana. Karena bisa berbahasa Batak, dia bernegosiasi pada pekerja PTPN V yang kebetulan banyak dari Sumatera Utara, apalagi yang sekampung dengannya.
Atta juga masih ingat, ayahnya kerap dijemput polisi maupun tentara, tetapi setelah itu diantar pulang kembali tanpa ada sedikitpun terluka. Atta melihat kelebihan yang dimiliki almarhum ayahnya. Atas dasar itu pula, beberapa warga meminta bantuan supaya kebun karet mereka tidak kena gusur.
Meski begitu, hanya satu orang warga yang kebun dapat selamat dari penyerobotan, selain kebun ayahnya sendiri.
Bagi warga dengan kebun terlanjur terbabat habis, meminta Marso sebagai perwakilan menggugat PTPN V ke pengadilan. Atta melihat ayahnya tidak menolak sedikitpun permohonan para warga itu. Mereka juga petani yang lahan bersempadan dengan ayahnya.
Ditemani lima warga lain—Agus, Lobay, Trisno dan Sumindar yang juga sudah almarhum—orangtua Atta puluhan kali bolak-balik ke Pekanbaru untuk mengikuti persidangan. Bahkan, mereka dengan uang pribadi ditambah patungan dari warga, mengajak majelis hakim meninjau lokasi yang bersengketa. Mereka hendak membuktikan, PTPN V dengan semena-mena menumbangkan kebun karet warga.
“Ayah saya pernah jual ayam untuk ongkos dan biaya sidang karena waktu itu musim hujan dan tak bisa menyadap karet,” kenang Atta, usai santap siang di bawah tanaman sawit yang bersengketa, 6 April lalu.
Sayangnya, warga harus menerima kekalahan dalam perlawanan di meja hijau kala itu. Di tengah-tengah proses pembuktian, Atta merekam kelicikan PTPN V untuk berlindung dari kesalahan.
Sekitar satu minggu sebelum majelis hakim meninjau lokasi, perusahaan negara itu memerintahkan para pekerja menebang habis tunggul-tunggul karet dan menimbun ke dalam tanah supaya tidak meninggalkan jejak. Atas dasar itulah, majelis hakim mengatakan dalam putusan bahwa areal itu belum pernah ditanami apapun.
Atta, satu ahli waris 15 hektar kebun karet peninggalan almarhum orangtuanya. Kini lahan itu sudah tak bersisa. Sedikit demi sedikiit dia dan saudaranya menjual kebun itu untuk membiayai keperluan mendesak. Terakhir, untuk memenuhi biaya berobat adik bungsunya yang mengidap kanker tulang sebelum meninggalkan mereka selamanya.
Atta bukan satu-satunya saksi hidup yang menyaksikan PTPN V menyerobot lahan warga. Banyak yang masih mengenang perisitiwa itu, termasuk Samsumir, warga dengan kebun berhasil selamat.
Samsumir sudah hampir menginjak usia sepuh tetapi dia tidak pernah lupa dengan PTPN V. Perusahaan yang semena-mena menebang ribuan hektar pohon karet warga Pantai Raja, termasuk belasan hektar pohon karetnya yang ditanam sejak 1974.
Waktu itu, sekitar 1985, di tengah menderes pohon karet, para pekerja suruhan PTPN V justru sesuka hati menebang pohon-pohon karet mereka dengan mesin chainshaw. Dalam kebingungan, Samsumir berupaya menghadapi orang-orang itu dengan sebilah parang. Meski sempat terhenti, beberapa hari kemudian pohon karetnya rata dengan buldoser.
Sejak itu, lahan warga dikapling-kapling dengan parit pembatas dan bibit-bibit sawit mulai tanam. Perkantoran, perumahan karyawan maupun pemukiman baru mulai berdiri. Para penduduk transmigrasi mulai berdatangan. Mereka menempati lahan warga setempat yang sudah diduduki oleh PTPN V atasnama proyek PIR.
Samsumir berupaya mempertahankan pohon-pohon karet tersisa. Diam-diam, dia pun mencoba pancang batas pada titik-titik yang telah ditanami sawit walau patok-patok itu dicabut. Dia juga berupaya menahan alat berat supaya tak sampai mengeruk semua lahan jadi parit. Bahkan, pernah bersama warga lain dia membakar perkantoran di kebun sawit PTPN V. Dari usaha itu, setidaknya Samsumir dapat pertahankan kebun karet sekitar empat hektar yang sampai saat ini masih berdiri di tengah-tengah jajaran sawit PTPN V.
Samsumir, satu-satunya saksi sejarah yang masih memiliki sebidang kebun di sana. Waktu itu, Samsumir belum mengenal sawit bahkan sangat asing di telinganya ketika mendengar nama tanaman itu.

Dia termasuk warga Pantai Raja, sehari-hari lengket dengan bau getah karet dan sekam padi. Menurut dia, nasib warga Pantai Raja berubah setelah kepala desa menyetujui wilayah mereka jadi perkebunan sawit, tanpa ada pemberitahuan sama sekali. Kekacauan makin menjadi-jadi karena tak ada satupun pemerintah yang membela mereka.
“Waktu ada pertemuan dengan Syarifuddin, Bupati Kampar waktu itu, kami disebut komunis kalau menentang pembangunan kebun sawit. Kapolsek yang ikut rapat juga akan langsung menangkap kami,” kenang Samsumir.
PTPN V sulit mereka lawan karena aparat keamanan membentengi selama menggusur sumber kehidupan warga. Dia masih mengingat kecurangan PTPN V, beberapa minggu sebelum hakim sidang setempat membuktikan bekas kebun karet warga yang tergusur. Sama seperti cerita Atta, Samsumir menjelaskan, PTPN V memerintahkan para pekerja mencabut tunggul pohon karet hingga ke akar dan menimbun dengan tanah supaya tidak meninggalkan jejak. Alhasil, PTPN V memenangkan sengketa dan tetap berkuasa hingga saat ini.
Mongabay berusaha mengkonfirmasi kepada PTPN V tetapi humasnya, Risky Atriansyah, tidak merespon lengkap permintaan wawancara. Dihubungi, 15 April lalu, dia menganjurkan Mongabay mengirim pertanyaan via Whatsapp terlebih dahulu. Jawabannya baru dikirim satu hari kemudian, tetapi tidak menjelaskan seluruh pertanyaan yang diajukan.
Intinya dia bilang, PTPN V merupakan perusahaan perkebunan negara di Riau. Kehadiran PTPN V merupakan pelaksanaan atas program pemerintah untuk pemerataan pembangunan melalui pola perkebunan inti rakyat (plasma).
Penugasan dan penguasaan PTPN V di Kebun Sei Pagar berasal dari pemberian pemerintah pusat berupa tanah negara dengan melibatkan petani transmigrasi dan petani setempat yang berlangsung sampai sekarang. Saat ini, PTPN V memiliki sertifikat HGU yang terbit sejak 2001.
Riski mengatakan, jalur hukum yang ditempuh PTPN V atas pendudukan lahan oleh masyarakat semata-mata menjaga dan melindungi aset negara.
“Perusahaan menghormati proses hukum yang berlangsung dan berharap aset negara demi kepentingan bersama itu dapat selalu terjaga.”
Dihubungi kembali untuk wawancara tambahan, Risky tidak merespon lagi. Pesan ke Whatsapp-nya juga tak dibalas lagi. Ditunggu di ruangannya, lebih kurang dua jam, 16 April lalu, juga tak menampakkan diri apalagi memberi kabar. Anak buahnya juga tak tahu kapan dia akan tiba. Sampai tulisan ini terbit, Risky tetap tidak memberi jawaban lagi.
****
Foto utama: Konflik lahan puluhan tahun antara warga adat Pantai Raja dan perusahaan sawit negara, PTPN V tak kunjung usai. Warga protes dan menduduki kembali lahan adat mereka yang kini sudah berubah jadi kebun sawit. Foto: dokumen warga