- Petani sawit mandiri di Siak, Riau, berupaya berbenah dan memperbaiki tata kelola berkebun. Satu contoh di Kecamatan Mempura, ada dua koperasi sawit: Koperasi Beringin Jaya dan Koperasi Sawit Jaya. Kedua koperasi beranggotakan masing-masing sekitar 400-an petani sawit mandiri. Mereka kini menunggu sertifikat sawit berkelanjutan dari Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).
- Bukan pekerjaan mudah bagi petani memperbaiki cara mereka berkebun sawit di lahan gambut. Banyak hal perlu diubah agar menanam sawit lebih memperdulikan lingkungan hidup. Dari soal kanal, pengaturan air sampai pola perawatan termasuk penggunaan pupuk.
- Sekitar empat tahun ini pembenahan petani sawit lakukan. Pada Februari 2020, sudah keluar surat dari RSPO mengenai penetapan nomer keanggotaan mereka. Auditor sudah turun pada Novermber 2020, hingga kini belum ada kabar lanjutan soal sertifikasi ini.
- WRI Indonesia wilayah Riau yang menginisiasi ini selama hampir empat tahun. Empat pendamping datang silih berganti guna mewujudkan berkebun sawit di areal gambut dapat dilakukan tanpa merusak alam. Syahredo dari WRI wilayah Riau mengatakan, ini upaya mendapatkan sertifikasi RSPO terhadap petani sawit mandiri pertama di dunia untuk areal gambut.
Para petani di Kecamatan Mempura, Kabupaten Siak, Riau, dalam empat tahun ini berusaha membenahi tata kelola kebun sawit mereka. Kondisi tak mudah, terlebih sawit-sawit mereka tumbuh di areal gambut.
Mayoritas penduduk Kecamatan Mempura, sebagai petani sawit. Sebagian dari mereka pendatang dari Pulau Jawa, tetapi tidak ada konflik antar petani soal kepemilikan lahan.
Deretan rumah batu dengan halaman luas saya lihat dalam perjalanan di Kecamatan Mempura. Akses jalan utama beraspal dan jalan semen menuju ke pemukiman warga.
Di kecamatan ini ada dua koperasi sawit: Koperasi Beringin Jaya dan Koperasi Sawit Jaya. Kedua koperasi beranggotakan masing-masing sekitar 400-an petani sawit mandiri. Mereka kini menunggu sertifikat sawit berkelanjutan dari Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).
“Sangat sulit mengubah pola perkebunan yang biasa dilakukan petani selama ini jadi perkebunan sawit berkelanjutan,” kata M Yusuf Ritonga, Ketua Koperasi Beringin Jaya, akhir Maret lalu.
Koperasi memberikan contoh terlebih dahulu agar sekitar 400-an anggota koperasi yang lain mengikuti langkah mereka.
“Jika mereka melihat sawit yang lebih baik hasilnya dari sawit mereka, sudah pasti akan mengubah perlakuan mereka terhadap lahan,” katanya.
Perlakuan terhadap lahan gambut, katanya, adalah sebuah tantangan. “Muka air harus tetap terjaga.”
Berkebun sawit mereka tak lagi pakai pestisida. Untuk membersihkan kebun, kalau ada rumput atau gulma, mereka tebas. Biasa gunakan jasa penebas atau petani lakukan sendiri. Kebun pun terbilang bersih dari tanaman penggangu. Sebelum mengenal pola perkebunan ala RSPO, mereka biasa pakai pestisida.
Setelah tak pakai pestisida, perlahan-lahan mulai terlihat, hasil kebun sawit lebih banyak. Rasa percaya diri makin tumbuh. Terlebih ketika tiga auditor dari British Standards Institution (BSI) Group datang langsung ke koperasi mereka pada 16 November tahun lalu.
Tantangan serupa juga dialami koperasi tetangga mereka, Koperasi Sawit Jaya.
Afif M Nurudin, Manager Operasional Koperasi Sawit Jaya, mengatakan tiga orang auditor RSPO dari BSI Group datang ke lokasi mereka pada 19 November lalu.
“Menurut auditor, sertifikat akan diberikan sebulan setelah kunjungan audit eksternal ini,” kata Afif, di penghujung Maret lalu. Namun, katanya, serupa Beringin Jaya, hingga kini belum ada kabar dari RSPO.
Mereka kini, menurut istilah para petani, “berada di ujung kesabaran.” Para petani sudah berusaha membenahi tata kelola dalam empat tahun ini. Begitu banyak waktu dan tenaga harus mereka keluarkan untuk mendapatkan sertifikat RSPO ini.
Para petani sudah mengubah cara bertani sejak 2016. Walau metoda cukup rumit, mereka harus meninggalkan berkebun sawit dengan cara lama di areal gambut.
Untuk keterlanjuran pembukaan kanal–yang biasa dilakukan di areal gambut–, misal, kanal itu mereka manfaatkan sebagai palung yang berfungsi untuk tetap mempertahankan tinggi muka air di areal gambut.
“Tingkat kebakaran lahan adalah 0%,” kata Sutrisno, Ketua Koperasi Sawit Jaya.
Tantangan lain, areal perkebunan sawit mereka ada di kawasan pipa-pipa minyak bumi mengalir untuk ke kilang minyak di Kecamatan Minas. Kalau terjadi kebakaran, tidak hanya tanaman sawit terbakar tetapi, akan timbul ledakan besar, karena pipa-pipa minyak bumi itu akan ikut terbakar.
Baca juga: Buah Manis Kala Petani Tungkal Benahi Tata Kelola Kebun Sawit
Riau adalah provinsi rawan kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Informasi dari Sipongi.menlhk.go.id mencatat, tren penurunan karhutla di provinsi ini dari tahun ke tahun.
Pada 2015, tercatat 183.809 hektar areal lahan terbakar. Pada 2019, menurun jadi 108.110 hektar.
Perluasan perkebunan sawit kerap dianggap salah satu faktor karhutla. Ia jadi cara mudah dan murah untuk membuka areal perkebunan baru, dengan membakar ketika kemarau.
Petani sawit mandiri telah membuka lahan sejak 10 tahun lalu dengan bantuan pemerintah setempat, mereka membuka lahan perorangan.
Menurut petani, saat itu, sudah ada kanal. “Cara ini tidak sesuai dengan perkebunan sawit berkelanjutan,” katanya.
Areal gambut yang kering karena kanalisasi cenderung mudah terbakar, terutama musim kemarau. Musim kemarau, katanya, biasa bertepatan dengan puncak panen sawit, sekitar Agustus dan September.
“Jika karhutla terjadi, kita semua akan rugi besar.”
Data Jikalahari, Riau memiliki 4, 044 juta hektar lahan gambut, atau 45% dari daratan Riau. Kabupaten Siak memiliki 503.669 hektar areal gambut.
Petani mandiri, katanya, rata-rata memiliki sekitar dua hektar lahan. Setiap hektar ditanam sekitar 128 batang sawit.
“Keseluruhan lahan adalah areal gambut dengan kedalaman di bawah tiga meter,” kata Sutrisno.
Kedalaman itu, katanya, sesuai aturan RSPO terkait perkebunan sawit di areal gambut. Kini, sawit mereka berusia sekitar 10 tahun dan masih memiliki 15 tahun lagi sesuai usia tanaman.
Dia bilang, standard RSPO mengharuskan perkebunan sawit ramah lingkungan hidup hingga menjamin pertumbuhan sawit yang berkelanjutan.
Caranya, kata Sutrisno, antara lain, meminimalisir penggunaan pestisida. Kini, para petani, terbiasa menyiangi rumput liar di sekitar tanaman dengan alat tebas, seperti parang.
Soal pupuk, mereka hanya menggunakan seperlunya. Kalau dulu, mereka menggunakan pupuk seenaknya, kini jadi lebih hemat.
Untuk memancing pupuk kimia itu, mereka gunakan pupuk organik yang mereka buat sendiri. Pupuk itu terdiri dari tandan kosong, dan beberapa bahan lain.
“Kami menggunakan minimal tiga kilogram pupuk organik per hektar per tahun,” kata Afif.
Dengan sebagian pakai pupuk organik, pemakaian pupuk berkurang sampai 50% dari sebelumnya. Sebelum mengenal RSPO, mereka perlu dana Rp1 juta per empat bulan per hektare per tahun. Sekarang, sekitar Rp600.000
“Selain diuntungkan dengan berkurangnya jumlah uang yang dikeluarkan untuk pupuk, harga tandan buah segar pun meningkat.”
Sebelumnya, panen satu hektar kurang dari satu ton. Sekarang, katanya, di atas satu ton per 10 hari panen.
Baca juga: Jalan Panjang Menuju Sawit Swadaya Berkelanjutan di Sintang
Masih menanti
Para petani terus berbenah. Sementara, hingga kini, kabar soal sertifikat RSPO belum juga datang.
Ketika auditor datang November tahun lalu, mereka berjanji surat pengesahan sertifikasi itu akan mereka terima setelah satu bulan. Satu, dua, tiga bulan bahkan lebih telah berlalu, kabar sertifikat belum juga ada.
“Kami menjaga semangat para petani. Kondisi ini membuat mereka limbung,” katanya.
Dia khawatir, kalau sertifikasi tidak mereka terima, banyak petani tidak lagi peduli dengan pola perkebunan sawit berkelanjutan. Mereka, katanya, bisa saja kembali ke cara lama.
“Kami para pengurus koperasi takut jika lingkungan yang kini telah terjaga akan rusak kembali.”
Sebelumnya, pengurus Koperasi Beringin Jaya telah menerima surat dari RSPO tertanggal 6 Februari 2020, yang menyatakan “aplikasi keanggotaan telah diterima” dengan nomor anggota 1-0290-20-000-00. Surat itu ditandatangani Interim Chief Executife Officer RSPO, Bakhtiar Talhah.
Iming- bahwa mereka bakal mendapatkan premi dari setiap tandan buah segar (TBS) yang mereka jual pun masih dalam penantian.
***
Petani bekerja keras untuk memperbaiki tata kelola kebun sawit mereka. Pendamping pun berperan memberikan dukungan dan penguatan kepada petani termasuklah menjaga semangat mereka untuk tetap berkebun dengan ramah lingkungan hidup.
WRI Indonesia wilayah Riau yang menginisiasi ini selama hampir empat tahun. Empat pendamping datang silih berganti guna mewujudkan berkebun sawit di areal gambut dapat dilakukan tanpa merusak alam.
“Ini sertifikasi RSPO terhadap petani sawit mandiri pertama di dunia untuk areal gambut,” kata Syahredo dari WRI wilayah Riau.
Berbagai penelitian dilakukan, termasuk berkerjasama dengan Universitas Tokyo, dan universitas di Riau.
“Muka air minimal tiga sentimeter yang harus selalu ada di areal gambut menjadi persoalan yang kami telaah di sini,” katanya.
Selain itu, kedua anggota koperasi yang mereka dampingi pun telah menguntungkan negara. Mereka telah terdaftar sebagai pembayar pajak resmi. Masing-masing anggota koperasi telah memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP).
“Setiap petani menyetor sebanyak Rp250.000 per hektar per tahun ke kas negara untuk berbagai pajak,” kata Tamam, Sekretaris Koperasi Beringin Jaya.
Jumlah itu cukup besar, mengingat setiap petani memiliki minimal dua hektar lahan sawit. Anggota dua koperasi yang sedang menunggu sertifikasi RSPO terbit saja, mendekati 600 orang.
Berdasarkan hitung acak WRI, setiap kelompok tani yang tergabung dalam koperasi yang tersertifikasi RSPO, akan mendapatkan premi sekitar Rp600 juta per tahun. Jumlah kelompok tani di Koperasi Sawit Jaya ada enam kelompok, dan Koperasi Beringin Jaya tujuh kelompok.
Besaran premi itu, katanya, sangat besar bagi para petani dan sebanding dengan usaha keras mereka mengikuti RSPO.
Mengutip keterangan RSPO di infosawit.com tertanggal 12 Desember 2020, terdata sebanyak 2.149 petani swadaya di Indonesia mengajukan permohonan sertifikasi pada 2020 dengan luas lahan 5.380,85 hektar tersebar di Riau, Sumatera Utara, dan Kalimantan Tengah.
Sampai Oktober 2020, total petani sawit swadaya Indonesia bersertifikasi RSPO ada 5.914 petani terdiri dari 29 kelompok, dengan luas bersertifikat 14.909 hektar.
Tiur Rumondang, Country Director RSPO Indonesia mengatakan, petani sawit swadaya, bagian terbesar dari penguasaan lahan di Indonesia dibandingkan petani sawit plasma.
Standar petani swadaya (SPS), katanya, dapat dipenuhi melalui keikutsertaan petani dalam pelatihan yang disesuaikan secara terus-menerus dan keterlibatan proaktif berdasarkan heterogenitas petani sawit di Indonesia.
Data Statistik Perkebunan dari Dinas Perkebunan Riau 2019, luas perkebunan sawit di Siak 232,917 hektar dengan total produksi 453,637 ton per tahun. Jumlah petani sekitar 114,962 keluarga.
Bagaimana peran pemerintah dalam mendorong petani memperbaiki tata kelola kebun sawit? Candra Rivana, Kasi Produksi Perkebunan Dinas Pertanian Siak, mengatakan, upaya pemerintah mendukung sertifikasi RSPO antara lain dengan menjalin kerjasama dengan beberapa organisasi non pemerintah.
Upaya ini, katanya, bertujuan mendukung peningkatan kapasitas petugas lapangan dan petani mengenai perkebunan yang berkelanjutan.
“Pemerintah membantu petani pemetaan lahan kebun mereka, dan mengadakan sosialisasi terkait surat tanda daftar usaha budidaya. Pemerintah juga menerbitkan STDB anggota-anggota kedua koperasi itu,” katanya.
Sertifikasi RSPO terhadap para petani ini, katanya, erat kaitan dengan program Pemerintah Siak yang disebut “Siak Hijau”, telah pula menjadi “Riau Hijau.”
Program ini, katanya, untuk meningkatkan ekonomi masyarakat secara berkelanjutan dengan tak merusak lingkungan. Selain juga mematuhi peraturan-peraturan berlaku.
“Perbup Siak Hijau pun memuat pasal-pasal yang mendorong usaha perkebunan untuk memenuhi sertifikasi ISPO dan RSPO,” katanya.
*Zulfa Amira dan Jon Afrizal adalah jurnalis dari amirariau.com. Tulisan ini didukung oleh Mongabay Indonesia
*****
Foto utama: Petani mandiri di Kecamatan Mempura, Siak, Riau, dalam beberapa tahun iini berusaha membenahi tata kelola sawit. Koperasi mereka sudah jadi anggota RSPO. Kini, para petani menanti sertifikasi RSPO keluar. Foto: Zulfa Amira/ Mongabay Indonesia