Terasi Batu Betumpang Bertahan karena Laut dan Mangrove Terjaga

 

  • Terasi atau belacan merupakan salah satu produk kuliner terkenal dari Pulau Bangka. Namun karena mangrove dan laut rusak akibat penambangan timah dan pertambakan, bahan baku terasi yakni udang rebon menjadi berkurang.
  • Para pembuat terasi akhirnya menggunakan jenis udang lain seperti udang kampat, mayang, bubuk, dan gerancet, yang kualitasnya tidak sebaik udang rebon.
  • Desa Batu Betumpang adalah salah satu desa tertua di Pulau Bangka, penghasil terasi berbahan udang rebon.
  • Bertahannya terasi dari udang rebon dikarenakan laut dan mangrove di desa ini relatif terjaga. Bahkan, beberapa wilayah pesisir yang rusak, kini ditanami sejumlah jenis mangrove.

 

Kekayaan sumber daya laut dan mangrove di Kepulauan Bangka Belitung melahirkan berbagai produk budaya bahari. Mulai dari perahu [kapal], rumah, obat-obatan, hingga kuliner. Salah satu produk kuliner khasnya adalah terasi atau belacan, yang dibuat dari udang dan garam.

Wilayah produksi utamanya di Pulau Bangka adalah Toboali [Bangka Selatan], Tritip [Bangka Barat], dan Belo Laut [Bangka Barat]. Udang yang digunakan adalah udang rebon, yang berkembang di perairan dan mangrove yang terjaga.

Proses pembuatan dan pemasaran terasi umumnya dilakukan perempuan. Sementara laki-laki mencari udang menggunakan sungkur, semacam jaring berbingkai segitiga.

Baca: Terasi Toboali Bergantung pada Kelestarian Laut Bangka

 

Sun, isteri Lai Tin tengah menjemur udang rebon yang baru didapat dari laut di Desa Batu Betumpang, Bangka Selatan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Lima tahun terakhir, para pembuat terasi menghadapi persoalan menurunnya hasil tangkapan udang. Kondisi ini udang diduga karena banyak mangrove dan perairan rusak akibat aktivitas tambang di laut, baik illegal yakni tambang inkonvensional maupun tambang legal [TI] seperti kapal isap produksi [KIP].

Keadaan ini yang dialami ratusan pembuat belacan dari 11 desa di Toboali, Kabupaten Bangka Selatan. Mereka kesulitan mendapatkan udang rebon, sehingga terpaksa menggunakan udang kampat, mayang, bubuk, dan gerancet sebagai bahan utamanya.

Berdasarkan kajian Walhi Bangka Belitung, yang dikutip dari sejumlah data, selama 20 tahun terakhir, sekitar 240.467,98 hektar mangrove di Kepulaun Bangka Belitung rusak. Tersisa sekitar 33.224,83 hektar. Sementara aktivitas tambang di laut, sekitar 20.000 penambang TI, dan 700 izin usaha pertambangan [IUP].

Baca: Lempah Kuning, Harmonisnya Manusia dengan Alam dalam Kuliner

 

Ardianto atau Lai Tin [48] menumbuk udang dengan alat tradisional di Desa Batu Betumpang, Bangka Selatan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Terasi Batu Betumpang

Masih adakah masyarakat yang tetap bertahan membuat terasi dengan udang rebon?

“Masih. Terasi yang dibuat masyarakat Desa Batu Betumpang di Bangka Selatan,” kata Rendi, seorang peneliti lingkungan dari Universitas Bangka Belitung, kepada Mongabay Indonesia, awal April 2021.

“Udang rebon masih didapatkan para pembuat terasi, sebab di wilayah itu sebagian mangrovenya masih terjaga. Lautnya bebas dari penambangan timah laut,” lanjutnya.

Mongabay Indonesia mengunjungi Desa Batu Betumpang pada 8 April 2021, yang waktu perjalanannya sekitar dua jam dari Kota Pangkalpinang.

Di sepanjang perjalanan, ketika mampir ke warung makan, sejumlah warga pun menyarankan untuk membeli terasi di Batu Betumpang. “Masih asli, enak,” kata Atun, pedagang nasi pecel di Desa Payung.

Baca: Mangrove yang Semakin Menjauh dari Kehidupan Masyarakat Bangka

 

Terasi yang sudah melewati proses penumbukan kedua atau terakhir. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Ardianto [48] atau biasa dipanggil Lai Tin, satu dari 15 pembuat terasi di Desa Batu Betumpang, saat ditemui tengah menumbuk udang rebon dicampur garam pada sebuah lesung kayu.

“Hasil tumbukan ini besok dijemur lagi. Kemudian ditumbuk lagi. Baru jadi belacan,” kata Lai Tin yang sudah 23 tahun membuat terasi bersama isterinya.

Dijelaskannya, proses pembuatan ini dimulai dari pecarian udang rebon di sekitar Pantai Batu Betumpang dengan menggunakan sungkur. Pencarian dilakukan dari pukul 06.00 hingga 09.00 WIB pagi.

Udang kemudian dibersihkan dari ikan, udang jenis lain, atau sampah. Lalu dijemur. Setelah itu ditumbuk dicampur garam. Hasil tumbukan dijemur lagi. “Jika hari panas, penjemuran bisa satu hari. Kalau diselingi hujan, bisa dijemur dua hari,” jelasnya.

Tapi, tidak semua udang rebon hasil tangkapan dapat dijadikan terasi. Misalnya selama dua hari hari tidak pernah panas atau terus hujan. “Udangnya membusuk sehingga harus dibuang,” lanjutnya.

Terasi yang dibuat menggunakan udang rebon, warnanya cokelat kehitamanan dan lebih halus seperti dodol. Berbeda dengan belacan dari udang lain yang berwarna merah dan lebih kasar.

Baca: Mangrove di Bangka Belitung, Beda Dulu dan Sekarang Perlakuannya

 

Terasi berbahan udang rebon warnanya cokelat kehitaman dan halus. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Dalam setahun, udang rebon hanya didapatkan dari Desember-Juni. Puncaknya pada Maret-April. “Selama tujuh bulan itu terkumpul sekitar 500 kilogram udang rebon, dan saat dibuat terasi menjadi 400 kilogram,” jelas bapak dua anak ini.

“Harga jual per kilogram terasi Rp60 ribu. Dapatlah sekitar Rp24 juta dalam setahun,” ujarnya.

Selain membuat terasi, Lai Tin juga berkebun sayuran dan bersawah. “Saya juga mencari ikan jika tidak musim udang rebon,” katanya.

Baca juga: Rempah dan Jejak Peradaban Bahari di Kepulauan Bangka Belitung

 

Diseberang Desa Batu Betumpang ini adalah Desa Simpang Tiga Sakti, Kabupaten OKI, Sumatera Selatan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Desa tua

Desa Batu Betumpang luasnya 9.462 hektar dengan penduduk sekitar 8.545 jiwa. Sebagian besar warganya multikultural. Artinya selain bersawah, berkebun, mereka juga mencari ikan.

Usia desa ini diperkirakan sudah ratusan tahun. Sebab di desa yang berhadapan dengan Desa Simpang Tiga Sakti, Kecamatan Tulungselapan, Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI], Sumatera Selatan, terdapat mercusuar setinggi 74 meter, yang dibuat pemerintah Hindia-Belanda pada 1888 atau dua tahun sebelum Raja Willem III mangkat pada usia 73 tahun.

Mercusuar ini merupakan satu dari 10 mercusuar yang dibuat pemerintah Hindia-Belanda di Pulau Bangka. Lainnya di Tajung Kelian, Pulau Pelepas, Pulau Besar, Pulau Celata [Pulau Celaka], Pulau Penyusuk, dan Tanjung Berikat.

Selain itu, terdapat bunker dan sumur tua peninggalan Belanda di sekitar pantai yang dipenuhi hamparan batu granit.

Dengan keberadaan mercusuar tersebut dapat diperkirakan di masa lalu Desa Batu Betumpang cukup ramai dikunjungi para pedagang yang melintasi Selat Bangka, sebelum atau sesudah berlayar dari Laut Jawa.

 

Mercusuar yang dibangun pemerintah Hindia-Belanda pada 1988 di Pantai Batu Betumpang. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Peduli mangrove

Mangrove bagi masyarakat Desa Batu Betumpang sangatlah penting. Selain sebagai habitat ikan dan beragam jenis udang dan kepiting, juga sebagai penangkal badai.

Saat ini mereka tengah melakukan penanaman mangrove di kawasan pesisir seluas 25 hektar atau sekitar 50 ribu bibit. Dari Sungai Ulin hingga Pantai Batu Betumpang.

“Rencananya kami juga menanam mangrove api-api dan perpat. Tapi kami kesulitan mendapatkan bibit perpat. Sebab, tidak semua wilayah di sini dapat ditanami mangrove,” kata Ali Akbar, mewakili Kelompok Sadar Wisata Mercusuar Desa Batu Betumpang.

Penanaman mangrove ini didukung program padat karya, yang melibatkan masyarakat. Khususnya, generasi muda di Desa Batu Betumpang, yang secara ekonomi terdampak pandemi COVID-19.

“Kegiatan ini, selain bekerja juga membangun kesadaran masyarakat, khususnya generasi muda akan pentingnya mangrove,” jelasnya.

“Kami sangat senang adanya penanaman. Udang dan ikan tetap banyak. Kalau mangrove habis, ya, pendapatan kami jelas menurun karena udang juga turut habis, seperti daerah lain di Bangka,” pungkas Lai Tin.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,