- Indonesia masih mengandalkan batubara sebagai sumber energi. Berbagai kebijakan pun masih melanggengkan pengembangan industri energi fosil termasuk PLTU batubara. Kebijakan ini praktis menghambat pengembangan energi terbarukan yang ramah lingkungan dan minim emisi gas rumah kaca.
- Sebuah laporan terbit dari lembaga Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyar (AEER) baru-baru ini misal, menunjukkan, bagaimana Sumatera Selatan, sebagai daerah penghasil batubara kualitas batubara kualitas rendah masih mau terus membangun PLTU.
- Luh Nyoman Puspa Dewi, Direktur Konservasi Energi KESDM, mengatakan, strategi Indonesia menurunkan emisi gas rumah kaca tak hanya dengan pengembangan energi terbarukan, juga efisiensi energi, bahan bakar rendah kalori dan penerapan teknologi energi bersih.
- Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), mengatakan, PBB meminta negara-negara di dunia segera pindah dari energi fosil ke energi terbarukan. Emisi gas rumah kaca dari pembakaran energi fosil di seluruh dunia mencapai 70%. Untuk itu, semua negara harus berhenti membangun PLTU baru.
Edi Suriani, warga Suralaya tak lupa hujan debu di sekitar rumahnya di Kelurahan Suralaya, Cilegon, Banten, akhir Februari 2021. Sekitar 30 menit turun ‘hujan abu’ tebal mengotori rumah dan tanaman warga. Edi pun menyadari hujan abu ini lebih parah dari biasa karena ada kerusakan pada cerobong PLTU Suralaya.
Warga Suralaya, bukan kali pertama harus menanggung dampak polusi udara dari limbah debu pembangkit, fly ash dan bottom ash (FABA), delapan unit pembangkit batubara sudah berdiri selama 35 tahun di Suralaya.
Pada 2019, anak bungsu Edi usia empat tahun terdiagnosa menderita sakit paru-paru. Adik iparnya pun meninggal dunia karena penyakit sama dengan yang di deritanya anaknya.
Berapa banyak warga yang mengalami nasib seperti keluarga Edi di negeri yang mengandalkan pembangkit batubara sebagai sumber energi ini. Mereka setiap hari harus menghirup udara tercemar. Tak hanya membahayakan manusia, dari produksi sampai penggunaan di pembangkit batubara, mendorong pelepasan emisi yang makin membebani iklim dan merusak bumi.
Di Indonesia, berbagai kebijakan masih melanggengkan pengembangan industri energi fosil termasuk PLTU batubara. Kebijakan ini praktis menghambat pengembangan energi terbarukan yang ramah lingkungan dan minim emisi gas rumah kaca.
Sebuah laporan terbit dari lembaga Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyar (AEER) baru-baru ini misal, menunjukkan, bagaimana Sumatera Selatan, sebagai daerah penghasil batubara kualitas batubara kualitas rendah masih mau terus membangun PLTU.
Pemerintah masih terus mencari celah mengembangkan PLTU bahkan, pembangkit mulut tambang dan membangun rel kereta api khusus batubara.
Pius Ginting, Direktur Eksekutif AEER, mengatakan, mestinya kendala transportasi di Sumsel jadi faktor pendorong dalam mengembangkan energi terbarukan yang sejalan dengan semangat mengatasi perubahan iklim dan pembangunan rendah karbon. Bukan sebaliknya, mencari cara, agar batubara-batubara yang berada di lokasi transportasi itu tetap tereksploitasi.
“Arah pembangunan tinggi karbon menimbulkan berbagai kerugian,” katanya.
Catatan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) hingga Desember 2019, Indonesia punya sumber batubara 149 miliar ton dan cadangan 37,6 miliar ton tersebar di 1.463 lokasi di 23 provinsi, terbanyak di Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Sumatera Selatan.
Berdasarkan nilai kalori, sumber batubara di Indonesia 36% kalori rendah, 54% kalori sedang, 8% kalori tinggi dan hanya 2% kalori sangat tinggi. Batubara kualitas rendah dan sedang nilai kalori 953-5.325 kkal/kg adb dan kadar air 18-35%.
Sekitar 25% cadangan batubara Indonesia, ada di Sumatera Selatan, paling banyak di Muara Enim (38%).
Hingga 31 Desember 2020, Pemprov Sumsel telah menerbitkan 123 izin usaha pertambangan (IUP), 625.848 hektar dan delapan perusahaan pemegang pemegang kontrak perjanjian pengusahaan batubara (PKP2B), dengan konsesi 128.029 hektar.
Di Muara Enim, ada satu pemegang PKP2B dan satu izin usaha pertambangan, PT Bukit Asam (PTBA) memegang IUP terluas, 30,000 hektar, dengan wilayah produksi di Tanjung Enim.
“Sebagian besar batubara di Sumsel kualitas rendah,” kata Pius.
Melalui Peraturan Menteri ESDM No 19/2017, PLTU mulut tambang akan dibangun agar dekat dengan sumber batubara dan menurunkan biaya penyediaan pembangkit. Batubara kualitas rendah mudah jadi pasir dan terbakar saat diangkut.
Di Sumsel, rencana penambahan pembangunan PLTU mulut tambang 2.450 megawatt hingga 2029.
Sebagian besar PLTU ini didanai oleh investasi dari Tiongkok. PLTU Sumsel 1, misal dengan kapasitas 2×300 megawatt disponsori China Shenhua dan dikerjakan PT Shenhua Guohua Lion Power (PT SGLPI). Perusahaan ini merupakan konsorsium dari China Shenhua Energy Company Ltd dan PT Lion Power energy (LPE).
PLTU Sumsel 1 juga mendapat dana US$520 juta dari China Construction Bank, Bank of China, dan Industrial and Commercial Bank of China (ICBC).
Begitu juga PLTU Sumsel 8, 2×20 megawatt, yang disponsori PT Huadian Bukit Asam Power (HBAP). Ia konsorsium antara perseroan China Huadian Hongkong Company dan PTBA. Proyek ini juga mendapatkan pinjaman dari China Export Import Bank (Chexim) sebesar US$1,2 miliar.
PT HBAP juga akan membangun jalur transmisi dari PLTU Sumsel delapan ke gardu induk PLN Muara Enim.
Pendanaan PLTU Sumsel 5 terdiri dari US$400 juta pinjaman dari China Development Bank, dan US$20 juta dari ekuitas perusahaan. Pada Desember 2020, sebuah BUMN Tiongkok membeli 75% saham PT DSSP Poer Utama, pemilik Sumsel 5, senilai US$394 juta.
Pius mengatakan, kehadiran PLTU mulut tambang khawatir memperparah kerusakan lingkungan hidup, baik oleh kegiatan PLTU maupun pertambangan batubara.
Menggunakan batubara kualitas rendah jenis lignit, kandungan debu lebih tinggi 10-40%. Praktis ini menyebabkan dampak kesehatan bagi warga sekitar seperti ISPA, pneumonia, diare dan bronchitis.
Data BPS 2019 menunjukkan, pada 2018 ada 43.000 lebih warga Muara Enim terkena ISPA.
Tak hanya dampak kesehatan, kegiatan tambang batubara dan PLTU juga berdampak terhadap kondisi hutan.
Luas daerah non vegetasi di Muara Enim dan Lahat tertinggi pada 2014 (158.577 hektar). Angka ini turun pada 2017 dan naik lagi pada 2020 menjadi 133.930 hektar.
Di Muara Enim, deforestasi terluas terjadi di Kecamatan Lawang Kidul, 6.394 hektar. Sementara di Lahat terluas di Kecamatan Merapi Timur, 7.666 hektar.
Area non-vegetasi ini terkonsentrasi di tepi sungai. Metode open-pit mining membuat daerah serapan air menurun. “Praktik penambangan yang tidak hati-hati berpotensi menimbulkan banjir dan longsor.”
Pada 5 Mei 2020, Desa Tegal Rejo di Lawang Kidul banjir diduga akibat luapan air dari hulu sungai galian tambang milik PTBA.
Lahan bervegetasi berkurang, lanjut Pius, juga mendorong konflik antara manusia dengan satwa liar seperti harimau. Pada 2015-2019 terjadi 9 kasus konflik di Sumsel dengan korban enam meninggal dan tiga luka-luka.
Pertambangan barubara yang agresif dan konversi lahan pertanian pangan menyebabkan pembukaan lahan pertanian makin terbatas menyebabkan ketimpangan penguasaan lahan.
Konversi lahan pertanian, katanya, menyebabkan penurunan dan persentase penduduk yang bekerja di usaha pertanian. “Distribusi lapangan usaha pertanian terhadap PDRB keseluruhan, menunjukkan tren berkurang,” kata Pius.
Mengutip data BPS 2019, kata Pius, dampak dari operasional perusahaan batubara juga menurunkan produksi kopi di Desa Tanjung Telang, Lahat, karena peningkatan suhu lingkungan debu dari industri batubara terhadap kebun petani kopi.
Penelitian lain mengungkapkan, aktivitas tambang di Muara Enim juga berdampak pada penurunan kualitas air sungai.
Pencemaran Sungau Enim akibat penambangan terus terjadi hingga 2020. Warga Desa Keban Agung mengeluhkan pembuangan tanah dari kegiatan penambangan PT Bara Anugerah Sejahtera mengakibatkan gatal.
Secara global, pengembangan PLTU mulut tambang juga dinilai kontradiktif dengan Kesepakatan Paris.
“Ini menyulitkan Indonesia dalam pemenuhan penurunan emisi sektor energi,” katanya.
Dalam dokumen rencana umum energi daerah (RUED), Sumatera Selatan menargetkan bauran energi terbarukan 21,06% pada 2025 dan 22,56% pada 2050.
Pembangunan infrastruktur batubara, katanya, akan menghambat target itu. Saat ini, bauran energi terbarukan di Sumsel masih 3,01% dan penggunaan pembangkit energi terbarukan masih rendah.
Laporan AEER menyimpulkan, kalau pemerintah daerah membatalkan pembangunan infrastruktur batubara kalori rendah, daerah lain yang menjadi tujuan penjualan batubara dari Sumsel akan lebih punya banyak ruang mengembangkan potensi energi terbarukan yang tersedia di masing-masing tempat.
Krisis iklim
Bicara realisasi pembangkit PLTU Indonesia dalam periode waktu 2015-2019, kata Pius, kajian Perkumpulan AEER memperlihatkan, menciptakan tren komposisi PLTU melebihi target 30% pada 2025 seperti tercantum dalam rencana umum energi nasional (RUEN) tahun 2017. Padahal., katanya, batubara itu sumber emisi gas rumah kaca paling intensif. Sedang realisasi pembangungan energi terbarukan membentuk tren di bawah target.
Pada kesempatan lain, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), mengatakan, PBB meminta negara-negara di dunia segera pindah dari energi fosil ke energi terbarukan. Emisi gas rumah kaca dari pembakaran energi fosil di seluruh dunia mencapai 70%.
Untuk itu, katanya, semua negara harus berhenti membangun PLTU baru.
Menurut Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) bencana hidrometeorologi karena krisis iklim makin meningkat dari tahun ke tahun. Perubahan iklim membawa dampak luar biasa untuk petani, nelayan dan masyarakat pesisir susah melaut, gagal panen, abrasi.
“Krisis iklim sudah sampai pada point of no return. Kita sampai pada titik yang mengharuskan melakukan upaya serius,” kata Fabby.
Tak hanya itu, PLTU yang sudah ada saat harus dipensiunkan paling telat tahun 2040. Lebih tegas, merujuk pada studi Mc Glade and Ekins pada 2015 menyatakan, kalau hendak menjaga suhu bumi di bawah dua derajat celcius, batubara sama sekali tak boleh lagi dibakar.
Meski demikian, kata Fabby, transisi energi bukan hal mudah karena saat ini 70% penggunaan energi di dunia masih energi fosil.
“Seruan untuk 30 tahun mendatang beralih ke energi bersih adalah tantangan. Inilah yang harus kita lakukan sebagai warga dunia,” katanya.
Bagaimana dengan Indonesia? Lebih dari 90% sumber energi di Indonesia berasal dari energi fosil. Seperti negara lain di dunia, Indonesia juga punya tantangan bagaimana pindah ke energi bersih kurang dari 30 tahun.
“Indonesia harus hentikan kecanduan akan energi fosil,” ujar Fabby.
Sederhananya, dengan menurunkan penggunaan energi fosil dan mengganti dengan sumber terbarukan yang dapat diperbaharui dengan waktu relatif tidak terlalu lama dan tidak mengemisikan gas rumah kaca saat beroperasi.
Catatan IESR, Indonesia sebagai salah satu 20 negara terkaya di dunia yang masuk dalam G20, kontribusi 3-4% untuk emisi global.
“Indonesia tak bisa lepas dari tanggungjawab ini,” katanya.
Target Indonesia dalam nationally determined contribution (NDC) menurunkan 29-41% emisi sampai 2030, dinilai terlalu rendah dan tak selaras dengan target Perjanjian Paris. Fabby bilang, Indonesia hendaknya bisa meningkatkan ambisi iklim terutama dari sektor yang terus mengemisi, yakni energi untuk pembangkitan listrik, dan transportasi.
Untuk itu, berdasarkan berbagai kajian IESR, kalau ingin sejalan dengan target Perjanjian Paris, Indonesia perlu pasokan energi terbarukan minimal 70% pada 2050.
Data Dirjen Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) KESDM saat ini pasokan energi terbarukan untuk kebutuhan energi dalam negeri baru 11,20% atau 10,4 gigawatt. Padahal, Indonesia berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca 314-398 juta ton Co2 pada 2030.
Luh Nyoman Puspa Dewi, Direktur Konservasi Energi KESDM, mengatakan, strategi Indonesia menurunkan emisi gas rumah kaca tak hanya dengan pengembangan energi terbarukan, juga efisiensi energi, bahan bakar rendah kalori dan penerapan teknologi energi bersih. Tahun 2020, jelas Puspa, pengurangan emisi sektor energi mencapai 64 juta ton CO2e.
“Kontribusi utama untuk aksi mitigasi adalah program energi baru terbarukan dan efisiensi energi,” jelasnya.
Pemerintah, katanya, menyadari penurunan permintaan listrik pada 2020 sementara kapasitas pembangkitan listrik eksisting dan yang akan beroperasi (COD) cukup besar untuk sistem Jawa Madura dan Bali (Jamali).
Karena itu, katanya, pemerintah menjadikan energi terbarukan sebagai salah satu program pemulihan energi nasional.
Puspa menjelaskan, satu upaya pemerintah dengan melakukan sendiri eksplorasi dan pengeboran panas bumi di 22 wilayah kelola panas bumi untuk mencapai target 9,3 gigawatt. Pemerintah juga merevisi aturan PLTS atap on grid dengan menaikkan serapan PLN terhadap listrik tenaga surya atap hingga bisa mengurangi tagihan pelanggan lebih banyak lagi.
Strategi lain dengan program B30 yang dalam catatan KESDM telah menghemat devisa negara hingga Rp38 triliun. “Ini akan kami dorong terus,” katanya.
Ada juga program co-firing biomassa, yakni pencampuran bahan bakar biomassa pada PLTU dengan target produksi listrik 0,45 SBM pada 2020-2035.
Mengacu pada studi Pusat Studi Ekonomi UGM, ketersediaan feedstock akan dipasok dari hutan tanaman energi dan sampah di sekitar PLTU dengan nilai kalori biomassa 4200 kCal/kg dan 3200 kCal/kg untuk sampah.
Penurunan emisi dari program ini, menurut pemerintah, mencapai 1,7 juta ton CO2e per tahun. EBTKE secara keseluruhan, kata Puspa, menyumbang 73% atau 47,2 juta ton CO2e.
Wimar Witoelar, Pendiri Yayasan Perspektif Baru, mengingatkan dua krisis yang dialami dunia, termasuk Indonesia yakni krisis iklim dan krisis energi memerlukan tindakan lokal uang mengatasi kedua krisis ini secara bersamaan.
“Krisis iklim dampaknya seumur hidup, dan krisis energi bisa menghabiskan seluruh bumi jika tidak berhati-hati menggunakan sumber energi kita,” kata Wimar.
****
Foto utama: Mengurangi beban iklim, memulihkan bumi yang sakit, saatnya setop pembangkit batubara dan beralih ke energi terbarukan yang ramah alam dan masyarakat. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia