- Peraturan turunan UU Cipta Kerja soal kehutanan dinilai tak sinkron bahkan berpotensi menimbulkan masalah. Aturan itu, antara lain PP Nomor 43/2021 tentang Penyelesaian Ketidaksesuaian Tata Ruang, Kawasan Hutan, Izin, dan/atau Hak Atas Tanah (PP43) dan PP 23/2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan (PP23).
- Hariadi Kartodiharjo, Guru Besar Kebijakan Kehutanan Fakultas Kehutanan IPB menilai, regulasi ini masih tak sinkron, bahkan ada potensi masalah. Padahal, peraturan pemerintah dan peraturan presiden, aturan turunan dari UU Cipta Kerja ini mestinya jadi semangat dalam upaya mengurai permasalahan dan memberikan kemudahan sekaligus kepastian dalam perizinan. Antara lain, upaya penyelesaian tumpang tindih dan konflik lahan.
- Salah satu ketidaksinkronan PP43 dan PP23 yakni, mengenai penetapan tata waktu. Pada Pasal 11 PP43 menyebutkan, penyelesaian ketidaksesuaian izin, konsesi, hak atas tanah dan/atau hak pengelolaan dalam kawasan hutan karena keterlanjuran waktu penyelesaian paling lambat tiga tahun. Dalam PP23 tidak ada istilah keterlanjuran dan tak ada batas waktu penyelesaian konflik.
- Bicara persoalan keterlanjuran pemanfaatan di kawasan hutan, baru yang jadi kebun sawit saja sudah jutaan hektar. Ruanda Agung Sugardiman, Plt Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK mengatakan, dari identifikasi perkebunan sawit dalam kawasan hutan sekitar 3,3 juta hektar, seluas 761.615 hektar masih proses permohonan pelepasan dan 2,6 juta tak ada proses permohonan.
Aturan turunan yang mengatur soal kehutanan sebagai turunan dari Undang-undang Cipta Kerja dinilai tak nyambung antara satu dan lainnya. Contoh, antara PP Nomor 43/2021 tentang Penyelesaian Ketidaksesuaian Tata Ruang, Kawasan Hutan, Izin, dan/atau Hak Atas Tanah (PP43) dan PP 23/2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan (PP23). Model seperti ini bisa menyebabkan kebijakan tak implementatif bahkan berpotensi muncul masalah.
Hariadi Kartodiharjo, Guru Besar Kebijakan Kehutanan Fakultas Kehutanan IPB menilai, regulasi ini masih tak sinkron, bahkan ada potensi masalah.
Padahal, katanya, peraturan pemerintah dan peraturan presiden, aturan turunan dari UU Cipta Kerja ini mestinya jadi semangat dalam upaya mengurai permasalahan dan memberikan kemudahan sekaligus kepastian dalam perizinan. Antara lain, upaya penyelesaian tumpang tindih dan konflik lahan.
Berdasarkan data Kebijakan Satu Peta (2020) menyatakan, 77.365.141 hektar atau 40,6% wilayah Indonesia tumpang tindih. PP43, ada seharusnya untuk menjamin legitimasi hukum, kepastian investasi, kepastian hak-hak masyarakat dan pembangunan berkelanjutan.
Ada aturan ini, katanya, seharusnya mampu menyelesaikan masalah tumpang tindih pemanfaatan ruang, baik di darat maupun laut seperti penyelesaian batas daerah, penyelesaian ketidaksesuaian RTRW provinsi dan kabupaten, dan kawasan hutan. Juga, izin, konsesi, hak atas tanah, atau hak pengelolaan, penyelesaian ketidaksesuaian garis pantai dengan hak atas tanah, hak pengelolaan, perizinan pemanfaatan ruang laut, maupun penyelesaian ketidaksesuaian antara rencana tata ruang laut (RTRL).
Dengan ada peraturan pemerintah ini, harusnya ada sinkronisasi antar sektor dan substansi antara aturan juga sinkron. “Sayangnya, itu belum terwujud. Menurut pembacaan saya masih ada interpretasi berbeda dari berbagai peraturan itu.”
Dia sebutkan, PP43 yang memiliki semangat penyelesaian ketidaksesuaian tata ruang, kawasan hutan, izin, hak tanah, jadi harusnya punya kaitan dengan PP23, ternyata tidak.
Soal solusi penyelesaian konflik ruang, misal, dalam PP43, tak menggunakan dasar tiga fungsi hutan, yakni hutan konservasi, hutan produksi dan lindung. Padahal, dalam PP23, fungsi hutan jadi basis dan kriteria penting.
“Para pembuatnya bilang, fungsi hutan sengaja tidak dipertimbangkan dalam PP 43 karena akan melampaui kewenangan menteri yang membidangi kehutanan (KLHK).”
Hariadi khawatir, kalau PP ini digunakan terpisah maka dalam pelaksanaan akan berbenturan. Apalagi, katanya, tidak ada klausul dalam PP43 yang menyebutkan terkait fungsi hutan pakai acuan PP23.
Baca juga: Berawal Konflik Lahan, Berujung Jerat Hukum Orang Kinipan
Begitu juga mengenai penetapan tata waktu. Pada Pasal 11 PP43 menyebutkan, penyelesaian ketidaksesuaian izin, konsesi, hak atas tanah dan/atau hak pengelolaan dalam kawasan hutan karena keterlanjuran waktu penyelesaian paling lambat tiga tahun. Dalam PP23 tidak ada istilah keterlanjuran dan tak ada batas waktu penyelesaian konflik.
“Tidak jelas terkait berapa lama konflik harus selesai mengingat investor akan hengkang jika urusan izin bertele-tele. Padahal bagi investor, waktu adalah uang.”
Masalah lain, penyelesaian batas daerah dalam Pasal 5 PP43 ditetapkan maksimal lima bulan. Kalau antar daerah tidak sepakat dalam batas wilayah, menteri yang membidangi urusan dalam negeri akan menetapkan dalam waktu satu bulan. Untuk RTRW provinsi dan kabupaten yang bersinggungan dengan kawasan hutan, seperti dalam Pasal 8 maksimal 18 bulan.
“Jika tidak sesuai tata waktu menjadi tidak menarik bagi investor dan akan masalah baru,” katanya.
Begitu pun mengenai penguasaan dan pemanfaatan lahan oleh masyarakat. Berdasarkan PP43 paling singkat 20 tahun dengan penyelesaian legalitas oleh menteri bidang kehutanan. Sedang dalam PP23 waktu hanya lima tahun.
Hariadi meyakini, ada indikasi cukup kuat PP 43 dan PP lain yang terkait, mengalami hambatan dalam mewujudkan penyelesaian ketidaksesuaian ruang secara legal.
“Jika memungkinkan, dalam penetapan menteri proses dikembalikan pada tujuan UU Cipta Kerja yaitu integrasi kebijakan nasional.”
Bicara persoalan keterlanjuran pemanfaatan di kawasan hutan, baru yang jadi kebun sawit saja sudah jutaan hektar. Ruanda Agung Sugardiman, Plt Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK mengatakan, dari identifikasi perkebunan sawit dalam kawasan hutan sekitar 3,3 juta hektar, seluas 761.615 hektar masih proses permohonan pelepasan dan 2,6 juta tak ada proses permohonan.
Adapun penyelesaian itu dengan sanksi administratif melalui Peraturan Pemerintah terkait Penyelenggaraan Kehutanan, merupakan turunan UU Cipta Kerja. “Yang tidak ada proses permohonan berada di Riau seluas 1.352.265 hektar.”
Bambang Hendroyono, Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menjelaskan datar soal PP43 dan PP23. Dia mengatakan, PP23 mengatur norma standar prosedur dan kriteria (NSPK) perencanaan kehutanan dan pengelolaan hutan. Regulasi ini mengatur pengawasan dan sanksi administrasi. Aturan ini menjadi upaya dalam penyelesaikan konflik lahan.
Dia bilang, isu penting bahkan terobosan dalam PP ini adalah penyelesaian permasalahan tenurial kawasan hutan terkait keberadaan masyarakat yang belum selesai dalam penataan kawasan melalui tanah obyek reforma agraria (TORA) dan perhutanan sosial.
Untuk penataan kawasan hutan berdasarkan PP43, dilakukan dengan berbagai cara. Antara lain, kalau hutan produksi konversi (HPK) tidak produktif, akan jadi sumber TORA. Bagi yang sudah terbangun akan dibagi dalam beberapa bagian. Kalau penguasaan lahan sebelum penunjukkan kawasan hutan, akan dikeluarkan melalui perubahan batas.
Sementara penyelesaian ketidaksesuaian izin, konsesi, hak atas tanah, dan, atau hak pengelolaan milik instansi pemerintah, badan usaha atau masyarakat dalam kawasan hutan kala ada pelanggaran hukuman dengan pengenaan sanksi administrasi. Sanksi ini sesuai PP Nomor 24/2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administrasi Bidang Kehutanan.
Jadi, katanya, kalau penguasaan setelah penunjukan kawasan hutan, akan gunakan PP turunan UU Cipta Kerja.
Untuk penyelesaian lahan milik masyarakat tidak kena sanksi seperti Pasal 110 B. Dengan syarat, penguasaan paling singkat lima tahun terus menerus, perorangan dengan luasan paling banyak lima hektar.
Baca juga: Ketika Aturan Datang Abai Warga, Kakek 75 Tahun di Soppeng Terjerat Hukum Perusak Hutan
***
Foto utama: Taman Nasional Tesso Nilo, sebagian juga jadi kebun sawit. Akankah masalah ‘keterlanjuran’ ini selesai dengan aturan turunan UU Cipta Kerja? Foto: Rony Muharrman/ Mongabay Indonesia