- Air bersih masih menjadi persoalan bagi kabupaten dan kota di Provinsi NTT akibat dari kerusakan ekosistem hutan dan daerah aliran sungai (DAS). Pemerintah juga tidak melindungi sumber-sumber mata air melalui peraturan daerah
- Walhi NTT meminta agar pemerintah daerah harus melakukan kajian lingkungan menyeluruh atas wilayah-wilayah resapan atau penyimpan air di setiap daerah. Juga harus menindak tegas pihak-pihak swasta yang monopoli atau melakukan privatisasi sumber air yang berdampak pada ketersedian air untuk rakyat
- Data pada 2019 yang menyatakan 75 persen warga NTT memiliki akses terhadap sumber air yang berkelanjutan. Persentase ini hanya merujuk pada ketersediaan sumber air dan belum memenuhi hak dasar lain seperti standar layanan yang baik dengan adanya saluran pipa dan keterjangkauan harga air bagi penduduk.
- Permasalahan air bersih di Kota Kupang telah lama dirasakan oleh masyarakat dan sampai sekarang belum juga mendapat penyelesaian serius. Berbagai faktor mempengaruhinya seperti debit sumber air baku yang menurun, peningkatan jumlah dan kepadatan penduduk di perkotaan akibat urbanisasi serta buruknya kemampuan manajerial operator air minum.
Nusa Tenggara Timur (NTT) selalu dinobatkan menjadi daerah yang kering dimana setiap tahun selalu dihantui gagal tanam akibat dari kerusakan kantong-kantong air atas ulah manusia.
Cadangan air tanah (CAT) pun semakin berkurang dan air layak konsumsi masih menjadi problem mendasar. Kondisi ini diperparah dengan meningkatnya aktivitas pertambangan, kerusakan hutan dan lingkungan hidup lain.
Hasil riset Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2016 menyebutkan dari 22 kabupaten Kota di NTT, hanya Kota Kupang dan Kabupaten Malaka yang tidak mengalami kekeringan.
“Jadi jelas sebagian besar kabupaten di NTT mengalami problem yang sama, yaitu krisis air,” kata Umbu Tamu Ridi Djawamara, Kepala Divisi Hukum Walhi NTT kepada Mongabay Indonesia, awal April 2021.
Umbu Tamu menyebutkan bersamaan dengan krisis tersebut, tidak dapat disangkal kerusakan ekosistem hutan sebagai fungsi penyangga ekositem makin hari makin mengkhawatirkan.
Bagaimana tidak, sebutnya, kebakaran hutan di NTT mendapatkan predikat dengan tingkat titik api tertinggi di Indonesia yang pada tahun 2019 yang mencapai 14.352 titik api dengan luas yang terbakar 328.722 ha.
baca : Bangun Tujuh Bendungan di NTT, Apakah Bisa Menjawab Krisis Air?
Dia katakan, selain kerusakan lingkungan karena kebakaran hutan dan lahan (karhutla) juga terjadi dampak lingkungan dari aktivitas 9 perusahaan tambang yang arealnya terindikasi berada pada kawasan hutan konservasi, dengan luas sekitar 16.457,88 ha.
“Terdapat 77 perusahaan tambang yang arealnya terindikasi berada pada kawasan hutan lindung dengan luas sekitar 55.949,51 hektare. Ada juga alih fungsi kawasan hutan menjadi kawasan perkebunan monokultur tebu seperti di Sumba Timur,” paparnya.
Pengelolaan Konvensional
Selain kerusakan ekosistem hutan, juga terjadi kerusakan daerah aliran sungai (DAS) terbesar di Timor Barat, DAS Benanain, yang juga sungai terpanjang di Timor Barat.
Umbu Tamu menjelaskan sebanyak 30 persen wilayahnya telah menjadi wilayah pertambangan dan terdapat 72 IUP yang mencakup wilayah Kabupaten Belu dan Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU).
Dia menyesalkan rata-rata pemerintah kabupaten di NTT masih melakukan pengelolaan sumber daya air dengan cara konvensional. Ia katakana tidak ada perencanaan jangka panjang berkaitan dengan ketersedian air di masa yang akan datang.
“Sumber-sumber mata air tidak dilindungi dengan kebijakan daerah. Masih belum menyebarnya pandangan dan tidak adanya regulasi bahwa wilayah Bentang Alam Karst (BAK) adalah zona prioritas yang harus dilindungi karena merupakan tempat cadangan air tanah permanen,” ungkapnya.
Umbu Tamu sebutkan pemerintah malah masih mengizinkan usaha pertambangan di wilayah-wilayah yang merupakan kawasan karst. Contoh kasus di Kampung Lengko Lolok dan Luwuk di Desa Satar Punda, Kabupaten Manggarai Timur.
Dia mengakui banyak proyek pembangunan di daerah yang nota bene di wilayah tersebut memiliki potensi penyimpan air yang harusnya menjadi zona lindung tetapi tidak dipertimbangkan dengan kebijakan yang melindungi.
baca juga : Walhi : NTT Hadapi Tiga Krisis Besar. Apa Saja?
Menurutnya, cara pandang pemerintah ini tercermin dalam regulasi dari pusat sampai daerah. Ia sesalkan ekosistem air dipandang terpisah dari air itu tersendiri, salah satunya hutan dan karst sebagai sumber resapan dan penyimpan air yang sangat penting.
“Akumulasi krisis di atas menjadi semakin rentan apabila pemerintah tidak memprioritaskan persoalan air menjadi persoalan yang besar. Masyarakat petani sangat terdampak karena mengandalkan ketidaktersedian air untuk aktivitas bertani, “ ungkapnya.
Walhi NTT kata Umbu Tamu, meminta pemerintah daerah harus tegas mengaudit berbagai aktivitas pertambangan yang melanggar hukum di setiap daerah.
Selain itu tegasnya pemerintah daerah harus melakukan kajian lingkungan menyeluruh atas wilayah-wilayah resapan atau penyimpan air di setiap daerah dan melakukan upaya perlindungan hukum berupa peraturan daerah dan sejenisnya.
Pemerintah daerah harus menindak tegas pihak-pihak swasta yang monopoli/privatisasi sumber air yang berdampak pada ketersedian air untuk rakyat
Pemerintah daerah juga diminta harus memiliki road map pembangunan berkelanjutan ramah lingkungan.
“Pemerintah daerah harus mengutamakan air untuk rakyat, harus membatasi swastanisasi air yang monopoli dan melakukan komersialisasi,” tegasnya.
perlu dibaca : Krisis Air Mengancam, Ini Ragam Cara Panen Air Hujan
Menurun Saat Kemarau
Menurut Dewa Ayu Putu Eva Wishanti Dosen Hubungan Internasional Universitas Brawijaya dalam risetnya yang dikutip dari The Conversation , mengatakan air masih menjadi persoalan pelik di NTT.
Eva katakana dalam riset bersama tim pada 2016-2017 menunjukkan banyak penduduk Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) di NTT harus menempuh jarak sepanjang 6 sampai 10 kilometer untuk membeli air bersih seharga Rp2 ribu per jerigen berisi 20 liter. Kini, pada 2021, harganya Rp2.500 per 20 liter.
Di daerah tersebut sebut Eva, kaum perempuan dan anak sekolah harus membeli air bersih dari mobil tangki keliling, yang banyak disediakan oleh swasta atau perorangan.
Tak jarang, kata dia, mereka harus berebut karena mobil tangki tak dapat maksimal memenuhi permintaan warga.
“Kondisi ini sangat umum ditemukan di sana dan kontras dengan data pada 2019 yang menyatakan 75 persen warga NTT memiliki akses terhadap sumber air yang berkelanjutan,” sebutnya.
Eva katakana persentase ini hanya merujuk pada ketersediaan sumber air dan belum memenuhi hak dasar lain seperti standar layanan yang baik dengan adanya saluran pipa dan keterjangkauan harga air bagi penduduk.
Dia memaparkan, di Kupang, Ibu Kota NTT, harga air bersih satu tangki ukuran 5 ribu liter dapat mencapai Rp200 ribu. Pada 2017, dari 51 kelurahan di Kupang, 48 di antaranya menderita krisis air sehingga pemerintah harus memasok 100 tangki air.
Saat musim kemarau, kata dia, air dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) berkurang debitnya dan layanan air yang mengalir ke rumah tangga dapat menurun drastis hingga sekali seminggu.
Hal ini tegasnya, menimbulkan masalah sistemik yang menghambat kampanye Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM).
“Riset kami menunjukkan bahwa masyarakat sudah memahami pentingnya toilet sehat untuk mencegah penyakit tapi dengan akses air yang makin kritis program ini menjadi dipinggirkan,” ungkapnya.
baca juga : Begini Perjuangan Masyarakat Solor Barat Dapatkan Air Bersih
Selain itu tambah Eva penggunaan toilet komunal juga tak berjalan baik karena jauh dari perumahan warga. Terlebih, untuk membangun toilet standar, penduduk sebuah kabupaten harus merogoh Rp100 ribu hingga Rp250 ribu per kepala rumah tangga.
Dia paparkan, jumlah pengeluaran rumah tangga untuk membeli air bersih dan penggunaan toilet umum per bulan sangat besar, rata-rata sekitar Rp300 ribu sampai Rp400 ribu per keluarga. Bandingkan dengan Upah Minimum Kota/Kabupaten di NTT tahun 2020 yang hanya sebesar Rp 1.950.000.
Eva mengatakan, pemerintah baru saja menyelesaikan pembangunan tiga waduk di NTT tapi wadah penampungan air hujan tersebut merupakan solusi teknis berbiaya operasional mahal.
“Waduk ini hanya akan berkelanjutan memasok air jika pemerintah mampu mengundang partisipasi berbagai pihak untuk berinvestasi di sektor penyediaan air bersih,” ucapnya.
Masih Terus Terjadi
Dalam tulisan berjudul ‘Air Bersih Masih Menjadi Pekerjaan Rumah Walikota Kupang’ di Tuak Lontar 2020, Erik Pratama Dima Talo dari Sahabat Alam NTT (Shalam) menyoroti krisis air bersih di Kota Kupang.
Erik tegaskan,permasalahan air bersih di Kota Kupang bukan lagi masalah yang baru dihadapi, tapi permasalahan yang telah lama dirasakan oleh masyarakat dan sampai sekarang belum juga mendapat penyelesaian serius.
Ia katakan, berbagai faktor mempengaruhinya seperti debit sumber air baku yang menurun, peningkatan jumlah dan kepadatan penduduk di perkotaan akibat urbanisasi, serta buruknya kemampuan manajerial operator air minum.
“Hal ini ikut menjadi penyebab rendahnya kemampuan penduduk mengakses air minum dengan baik atau layak. Apalagi Kota Kupang merupakan pusat berbagai kegiatan di NTT,” ucapnya.
Erik paparkan persentase rumah tangga yang mengalami kesulitan air bersih terutama pada musim kemarau sebesar 35,8% dengan tingkat konsumsi air tertinggi yaitu >50 liter per hari.
“PDAM Kota Kupang sama sekali belum bisa menjawabi kebutuhan masyarakat akan air bersih,” sesalnya.
Erik membeberkan, PDAM Kota Kupang melayani pelanggannya sebanyak 12.521 pelanggan dan yang aktif 10.124 pelanggan.
Sumber air yang dimiliki yakni 14 sumur bor, 2 air permukaan, dan curah Badan Layanan Umum Daerah Sistem Penyediaan Air Minum (BLUD SPAM NTT), dengan memiliki kapasitas produksi sebanyak 146,6 liter/detik.
Di Kota Kupang tercatat ada 14 Kelurahan yang mendapat air dari Bendungan Tilong yang dikelola oleh BLUD SPAM. Antara lain Naimata, Penfui, Liliba, TDM, Kayu putih, Oebobo, Lasiana, Oesapa barat, Oesapa selatan, dan Pasir Panjang.
Tapi ada tiga kelurahan yang terparah mengalami krisis air bersih. Yakni Naimata, Penfui, TDM.Karena alasan kualitas air yang kotor, maka pendistribusiannya pun telah diputuskan dari BLUD sejak bulan september 2019.
Erik menjelaskan pada saat musim kemarau, pemilik sumur bor, atau depo pengisian air tangki di Oepura misalnya, dapat menyuplai air ke mobil tangki 100 hingga 150 buah dengan harga Rp100 ribu.
Dia sebutkan, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2018 menyebutkan, jumlah penduduk Kota Kupang sebanyak 412.708 jiwa, dan setiap jiwa akan membutuhkan air bersih per harinya sebanyak 100 liter.
Maka dalam sebulan kata dia, kebutuhan akan air bersih masyarakat bisa mencapai 1.238.124 m3/bulan.
“Ini tentu akan menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk menyelesaikan persoalan air bersih yang terjadi selama ini masih menghantui,” pungkasnya.