- Hasil pemantauan terkait industri kayu/kehutanan yang dilakukan JURnal Celebes menunjukkan adanya penurunan produksi industri kayu di Sulsel, namun di saat yang sama pembalakan liar justru meningkat.
- Diduga ada praktik ilegal dalam peredaran kayu bahan baku industri, serta monopoli atau penguasaan bahan baku oleh perusahaan tertentu.
- Dampak pandemi sangat dirasakan oleh industri kecil, selain kekurangan pasokan bahan baku, permintaan kayu atau produk kayu juga anjlok.
- Pemerintah diharap bisa mengambil langkah strategis untuk memastikan industri kayu terutama industri kecil dan menengah bisa bertahan di masa pandemi, terutama kelangsungan hidup tenaga kerja.
Industri kayu dan kehutanan di Sulawesi Selatan anjlok di masa pandemi COVID-19, pendapatan industri kayu berkurang antara 30 sampai 70 persen. Di saat yang sama pembalakan liar justru semakin meningkat, terjadi peningkatan kasus illegal logging hingga 70 persen pada periode 2020 – 2021.
“Pada tahap pertama hasil pemantauan yang dipresentasikan Januari 2021 lalu, kami menemukan terjadi peningkatan kejahatan pembalakan liar cukup signifikan di Sulawesi Selatan pada masa pandemi. Sementara pada tahap kedua ini kami menemukan industri kayu, terutama industri kecil menerima dampak pandemi cukup signifikan,” ungkap Mustam Arif, Direktur JURnal Celebes, pada diskusi yang dilaksanakan di Kafe Baca, Makassar, Jumat (30/4/2021).
Menurut Mustam, kondisi ini menimbulkan kondisi dilema yang bisa menimbulkan anomali dalam tata kelola kehutanan berkelanjutan dan pengembangan industri di bidang kehutanan.
“Industri kayu atau usaha di bidang kehutanan anjlok, sebabnya antara lain kekurangan bahan baku permintaan pembeli yang menurun. Sebaliknya, kejahatan pembalakan liar meningkat kemungkinan memanfaatkan pembatasan kegiatan pemantauan aparat di masa pandemi, terkait kebijakan pembatasan aktivitas,” tambahnya.
Dijelaskan Mustam bahwa pada pemantauan tahap pertama mereka menemukan indikasi kejahatan pembalakan liar dilakukan pihak perusahaan, cukong-cukong kayu yang memanfaatkan masyarakat lokal di sekitar hutan, yang sebagian karena terdesak kebutuhan ekonomi di masa pandemi.
“Ketika tindakan pembalakan liar ini ditindak, yang tertangkap justru hanya pelaku-pelaku lapangan masyarakat lokal, dan para cukong kerap tidak tersentuh proses hukum.”
Dikaitkan dengan hasil pemantauan tahap kedua ini, dengan anjloknya industri kayu di masa pandemi, Mustam menduga ada indikasi praktik ilegal dalam peredaran kayu bahan baku industri. Kemungkinan lain, ada monopoli atau penguasaan bahan baku oleh perusahaan tertentu.
“Dalam tahap ini bukan lagi skala Sulsel, tetapi dalam jaringan peredaran kayu antar-provinsi hulu dan hilir,” ujarnya.
Dijelaskan pula Mustam bahwa untuk industri kecil di Sulsel umumnya menggunakan bahan baku kayu dari hutan rakyat dan hutan tanaman industri di daerah ini. Hampir sebagian besar kayu dipasok dari wilayah Luwu Raya, terutama dari Luwu Timur.
“Sebagian industri juga memasok dari luar Sulawesi Selatan di antaranya Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah. Sementara dari luar Sulawesi di antaranya dari Kalimantan, Papua, Maluku dan Maluku Utara.”
Proses Pemantauan dan Dampak Pandemi
Pemantauan untuk bidang industri kayu ini dilakukan JURnal Celebes bersama tim pemantau di 8 kabupaten di Sulsel. Pemantauan tahap kedua dalam program penguatan tata kelola kehutanan dan kolaborasi parapihak dukungan Program FAO-EU FLEGT ini memantau 25 industri kayu di Sulsel mulai Februari-April 2021.
Di Kota Makassar, pemantauan dilakukan di tujuh industri. Terdiri atas empat Perseroan Terbatas (PT), satu Commanditaire Vennontschap (CV) dan dua Usaha Dagang (UD). Selebihnya di 10 kabupaten, dimana 9 di antaranya dalam bentuk UD dan satu PT di Luwu Timur.
Dijelaskan Mustam bahwa untuk kasus di Makassar ditemukan satu industri besar bangkrut, lainnya menutup sementara dan ada yang terancam tutup. Sebagian unit usaha beroperasi berdasarkan stok bahan baku yang tersedia.
“Ada industri yang masih bertahan yang masih bisa memperoleh pasokan bahan baku dan bisa menjual produk meski produk dan pendapatan menurun,” tambahnya.
baca juga : Area Bekas Tambang Ilegal dan Pembalakan Liar Itu jadi Taman Wisata Ilmiah
Sementara temuan di Luwu Timur, ditemukan bahwa PT Berdaya Hijau, sebuah perusahaan konsorsium kelompok tani hutan, dampingan Sulawesi Community Foundation (SCF) justru tidak bisa memenuhi pesanan yang meningkat dari Jawa di masa pandemi karena kesulitan modal.
“Industri kecil yang kami pantau, hampir semuanya anjlok. Dengan berbagai siasat dilakukan untuk tetap bertahan di masa pandemi, hanya ada satu atau dua industri yang bisa menerima pasokan bahan baku dan punya modal untuk bisa tetap beroperasi, meskipun pendapatannya berkurang.”
Menurut Mustam, dampak pandemi sangat dirasakan oleh industri kecil, selain kekurangan pasokan bahan baku, permintaan kayu atau produk kayu juga anjlok. Sebagian industri kecil mengandalkan permintaan pasokan kayu atau produk kayu dari proyek-proyek properti.
“Tetapi di masa pandemi, proyek-proyek bangunan atau perumahan juga berkurang drastis, bahkan di daerah-daerah kabupaten hampir tidak ada pelaksanaan program properti.”
Kondisi inilah yang kemudian membuat pendapatan industri kayu/kehutanan di Sulsel anjlok sekitar 30-70 persen. Industri dinilai dilematik menghadapi situasi ini terutama terkait dengan karyawan, karena melakukan PHK memiliki konsekuensi harus pembayaran pesangon, sementara mempertahankan karyawan berat dilakukan karena perusahaan tak memiliki pemasukan keuangan yang memadai.
“Industri besar sangat kesulitan menghadapi situasi yang dilematis ini karena secara formal terikat dengan aturan ketenagakerjaan. Pada akhirnya mereka membuat kesepakatan dengan karyawan untuk pengurangan gaji.“
Sementara industri kecil yang tidak terlalu terikat dengan aturan ketenagakerjaan menyepakati pekerjaan dan gaji disesuaikan dengan adanya intensitas pekerjaan. Cara ini merupakan strategi penanggulangan dampak pandemi.
“Melalui pendekatan ini karyawan tidak dirumahkan, tetapi bergiliran kerja dan gaji berdasarkan pesanan.”
Usulan kepada pemerintah
Menurut Mustam, akumulasi anjloknya industri kayu dan meningkatnya pembalakan liar di masa pandemi berdampak langsung pada dua sektor yakni usaha ekonomi dan upaya penegakkan hukum bidang kehutanan. Ini bukan hanya terjadi Sulsel tetapi kemungkinan terjadi berbagai daerah di Indonesia.
“Anjloknya industri kayu tentu berdampak pada penurunan ekonomi dan berkurang atau hilangnya pendapatan karyawan. Industri menghadapi masalah yang dilematik, merumahkan karyawan, konsekuensinya membayar pesangon. Sementara industri kehilangan sebagian pendapatan dan ongkos produksi.”
Di sektor penegakkan hukum, situasi ini dinilai akan terus memicu meningkatnya praktik pembalakan liar dan peredaran kayu ilegal. Kondisi ini juga dianggap akan berpengaruh pada implementasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).
“Dari 25 industri yang dipantau JURnal Celebes, hanya ada enam industri yang memiliki sertifikat SVLK. Lima industri primer dalam bentuk PT dan satu industri kecil berbentuk UD yang tidak lagi memperpanjang masa berlaku sertifikatnya.”
Menjawab kondisi ini, JURnal Celebes mengusulkan kepada pemerintah untuk melakukan tindakan strategis, tidak sekadar antisipatif dengan insentif bersifat sementara.
“Industri UMKM yang kami pantau semuanya tidak memperoleh insentif pemerintah di masa pandemi. Insentif pemerintah dinilai baru menjangkau industri primer yang produksinya diekspor.”
Sebaliknya, eksportir menilai insentif untuk industri padat karya dengan memberi keringanan PPh dan iuran rutin, tak berdampak signifikan karena selain terbatasnya waktu pemberian insentif, juga problem utama adalah menurunnya permintaan pasar luar negeri.
Mustam berharap pemerintah bisa mengambil langkah strategis untuk memastikan industri kayu terutama industri kecil dan menengah bisa bertahan di masa pandemi, terutama kelangsungan hidup tenaga kerja.
“Kami berharap pemerintah perlu langkah riil untuk tetap tegaknya kepastian hukum dalam pengamanan dan pencegahan kejahatan kehutanan di masa pandemi ini. Implementasi SVLK perlu terus ditingkatkan karena ini adalah instrumen terbaik di dunia dalam pengelolaan hutan berkelanjutan untuk menekan laju deforestasi. Instrumen yang menjamin perdagangan kayu nantinya tidak akan mengalami hambatan di mancanegara.”
Bantuan sertifikasi SVLK bagi industri kecil mesti juga harus ditindaklanjuti dengan memberikan kepastian usaha, keuntungan atau penghargaan. Selama ini SVLK lebih diiraskan manfaatnya oleh industri eksportir.