- Desa Gamtala, Jailolo, merupakan salah satu desa wisata di Halmahera Barat, Maluku Utara. Mereka mengusung tema wisata alam berwawasan lingkungan, edukasi dan budaya.
- Wisata Gamtala ini berupa hutan mangrove dengan tiga mata air yakni panas, hangat dan dingin. Sumber mata air itu melintasi hutan mangrove yang bertemu di satu titik dan membentuk sungai menuju pantai yang dikenal dengan Sungai Banyo Sau.
- Dulu, marak perambahan mangrove di Desa Gamtala. Sejak jadi desa wisata, perlahan-lahan perusakan mangrove berkurang walau perambahan masih terjadi. Namun, pendekatan persuasif dan sosialisasi terus dilakukan guna memberikan penyadaran tentang betapa penting hutan mangrove bagi warga.
- Halmahera Barat, adalah satu-satunya kabupaten di Maluku Utara yang menginisiasi Peraturan Daerah Halmahera Barat Nomor 4/2012 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil secara Terintegras dan Berkelanjutan.
Siang jelang sore itu matahari masih terik. Kala berada di Desa Gamtala, Jailolo, Halmahera Barat, Maluku Utara ini, meskipun cuaca panan tetapi terasa sejuk. Kiri kanan jalan pepohonan hijau. Desa ini di kelilingi hutan mangrove.
Suasana tambah asri kala setiap rumah punya halaman luas dengan beragam tanaman buah. Ada rambutan, manggis, jeruk bahkan durian. Tak ketinggalan pisang dan kelapa.
Gamtala, adalah salah satu dari 17 desa wisata di Halmahera Barat sejak 2015. Mangrove, salah satu destinasi wisata di desa ini. Ada juga sumber mata air.
Untuk mencapai lokasi wisata hutan mangrove dan sumber air, terbilang mudah. Dengan kendaraan roda dua atau roda empat, pengunjung sampai ke lokasi hanya perlu 15 menit dari pusat Kota Jailolo.
Wisata Gamtala ini berupa hutan mangrove dengan tiga mata air yakni panas, hangat dan dingin. Sumber mata air itu melintasi hutan mangrove yang bertemu di satu titik dan membentuk sungai menuju pantai yang dikenal dengan Sungai Banyo Sau. Setelah mengalir ke Sungai Banyo Sau ini, air akan bertemu di sungai besar, Lako Akelamo, selanjutnya menuju muara sungai dan laut.
Di perbatasan Desa Gamtala dan Lako Ake Lamo , ada benteng tinggalan zaman kolonial. Benteng bernama Saboega yang dibangun bangsa Belanda itu di kelilingi hutan mangrove. Benteng ini jadi satu kesatuan dalam susur mangrove di wisata mangrove Gamtala.
Tidak itu saja, masyarakat turut menawarkan pesona budaya tari tarian, makanan di rumah adat Sasadu dengan menggabungkan potensi alam dan budaya.
Setiap hari libur, warga datang dari berbagai penjuru Halmahera Barat. Mereka tak sekadar mandi dan berendam, juga ikut menyusuri hutan mangrove yang lebat sambil berswa foto di jembatan kayu sepanjang hampir satu kilometer itu.
Untuk menyusuri benteng, dari Gamtala, bisa pakai perahu bermesin tempel sekitar 1,5 jam melewati Sungai Banyo Sau.
Saat mengunjungi kampung ini Maret lalu, saya sempat menyusuri Gamtala dan melihat dari dekat warga memanfaaatkan berbagai macam kekayaan alam ini sekaligus melindunginya. Ini sejalan dengan tema yang diusung tempat wisata Desa Gamtala ini sebagai wisata jasa lingkungan, budaya dan edukasi.
Sumber mata air berada sekitar 100 meter dari Desa Gamtala. Di bagian barat desa, tepatnya di ujung kampung, ada kolam besar berukuran 50 x 75 meter dengan air dari mata air ini. Warga desa melindungi kolam ini. Mereka menyebut Balen Lasa atau tempat mandi dengan penanda pohon langsat.
Kolam besar ini juga sebagai tempat bersandar perahu milik warga. Perahu perahu bermesin tempel ini selain untuk melaut, mencari ikan juga alat transportasi ketika pengunjung mau susur sungai melihat mangrove dan benteng. Pengunjung bisa sewa perahu Rp250.000.
“Dulu, ketika akses transportasi keluar masih tertutup, alur sungai ini dimanfaatkan warga untuk akses ke Ternate dan kampung lain dengan perahu,” kata Nelson Liot Sekretaris Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Banyo Sau.
Ketika warga mau menjual hasil kebun, seperti kopra maupun pangan lokal mereka gunakan sungai ini sebagai akses luar masuk desa.
Setelah 2000-an, katanya, jalan sudah bagus dan pilihan transportasi tersedia sudah beragam. Saat ini, sungai untuk melaut atau mau mengunjungi sanak famili di kampung pesisir lain di Kecamatan Sahu, Halmahera Barat.
Hutan mangrove di kawasan wisata ini ternyata cukup luas, sekitar 10.000 hektar. Ini kalau dihitung sampai ke pesisir pantai.
Di wisata mangrove ini, juga bisa jadi sarana edukasi. Pengunjung bisa datang melihat dan mengamati mangrove dan berbagai satwa seperti burung di hutan mangrove.
Untuk mangrove sendiri sesuai hasil identifikasi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Universitas Khairun Ternate bersama Mapala Pecinta Alam Pesisir FPI menemukan ada beberapa jenis. Antara lain, ada Alanthus ilicifolius L dengan nama local rawi, jeruju hitam, daruyu dan darulu. Sonneratia caseolaris atau nama lokal posi-posi. Nypa fruticans, orang Maluku Utara mengenal dengan nama bobo, Avicennia alba Bl nama lokal fika fika atau api api. Ada juga Pandanus tectorius atau orang Maluku Utara sebut dengan buro buro. Antara lain ragam jenis mangrove inilah yang menghiasi hutan mangrove di Gamtala, mulai yang jadi obyek wisata maupun yang belum.
“Dulu, sebelum jadi desa wisata mangrove ini banyak dirambah. Hutan mangrove ini untuk berbagai kepentingan terutama bisnis kayu bakar maupun kebutuhan rumah tangga lain,” kata Nelson.
Sejak Gamtala jadi desa wisata, perlahan-lahan eksploitasi yang merusak mangrove berkurang walau perambahan masih terjadi. Namun, mereka terus lakukan pendekatan persuasif dan sosialisasi guna memberikan penyadaran tentang betapa penting hutan mangrove bagi warga.
Selain itu, katanya, terpenting upaya perlindungan mangrove sebagai tempat hidup berbagai biota. Mereka perlu pemerintah membantu, misal, dengan memasang papan larang menebang pepohonan di hutan mangrove.
Memang, katanya perangkat desa tetap berupaya mencegah penebangan atau perusakan tetapi ada saja orang tidak bertanggung jawab yang merusak.
“Kita alami kesulitan jika perambah dari luar desa Gamtala. Untuk masyarakat Gamtala karena sosialisasi manfaat hutan mangrove terus menerus masyarakat sadar hingga mereka ikut menjaga hutan mangrove.”
Regulasi mangrove
Halmahera Barat, adalah satu-satunya kabupaten di Maluku Utara yang menginisiasi Peraturan Daerah Halmahera Barat Nomor 4/2012 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil secara Terintegras dan Berkelanjutan.
Daerah ini memiliki desa pesisir dan pedalaman. Berbeda dengan kabupaten lain di Maluku Utara, rata-rata desa di daerah pesisir. Halmahera Selatan, misal desa pesisir dan pulau terbanyak namum sejauh ini belum memiliki regulasi daerah yang mengatur pesisir dan pulau- pulau kecil.
Halmahera Barat, pertama kali menelurkan Perda Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Untuk Maluku Utara, pada 2018 baru menghasilkan Perda Rencana Zonasi Wilayah Peisisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) lewat Perda Nomor 2/2018.
Sejak Halmahera Barat, ada perda delapan tahun lalu, gerakan perlindungan mangrove dan terumbu karang menguat.
Tak hanya jadi kawasan dilindungi, hutan mangrove juga warga manfaatkan sebagai obyek wisata seperti di Desa Gemtala itu.
Untuk pengembangan wisata desa, Pemerintah Halmahera Barat telah membangun sejumlah sarana penting. Ada puluhan gazebo, jembatan kayu untuk susur mangrove, sampai sarana di ketiga mata air Gamtala.
Sarana prasarana ini, diharapkan ikut membantu pemanfaatan kawasan mangrove ini menjadi icon wisata di Halmahera Barat.
Dinas Pariwisata Halmahera Barat, dengan beberapa pertimbangan menetapkan kawasan ini menjadi wilayah ekowisata sekaligus tempat pendidikan dan mengenal budaya, biasa disebut dengan ekoeduwisata.
Feny Kiat, Kepala Dinas Pariwasata Halmahera Barat, bilang, mangrove ini masuk kawasan hutan. Setelah penetapan jadi kawasan wisata, warga dengan dukungan Dinas Pariwisata bisa mengelola. Harapannya, selain ekowisata, juga banyak pelajar dari SD hingga SMA memanfaatkan sebagai tempat belajar mangrove dan ekosistemnya.
“Jadi, dari lokasi wisata ini tidak hanya susur mangrove dan menikmati alam juga tempat belajar mangrove,” kata Feni.
*****
Foto utama: Hutan mangrove Gamtala, sebagai obyek wisata alam berwawasan lingkungan, dan edukasi. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia