- Pekan lalu, satu lumba–lumba bungkuk Indo Pasific mati terdampar di Pantai Kata, Pariaman, Sumatera Barat. Ada luka menganga di perut bawah lumba-lumba itu. Tim Reaksi Cepat BPBD Pariaman mengevakuasi dan mengubur bangkai lumba-lumba di pantai tak jauh dari lokasi temuan pertama kali.
- Dalam periode Januari 2019-Mei 2021, terdapat 10 kejadian mamalia laut terdampar di Sumatera Barat. Ada paus baleen, lima hius paus, mola-mola, paus kerdil dan dua lumba-lumba.
- Dwi Suprapti, ahli mamalia laut dari Asosiasi Dokter Hewan Megafauna Akuatik Indonesia (IAM Flying Vet) mengatakan, ada sejumlah indikasi penyebab mamalia laut terdampar, seperti pencemaran laut oleh limbah plastik dan polutan lain, efek samping kegiatan dengan gelombang sonar. Juga, kegiatan manusia yang kurang ramah lingkungan, lalu, kondisi alam, gempa, cuaca buruk, dan lain-lain.
- Dalam periode 2015-2019, terdapat 304 kejadian satwa terdampar, 80% tak terjawab karena keterbatasan biaya, sumber daya manusia, dan informasi. Sisanya, 20% tertinggi karena by-catch, tertangkap manusia, luka, internal, cuaca, tertabrak kapal, predator, dan lain-lain.
Satu lumba-lumba bungkuk Indo Pasific mati terdampar di Pantai Kata, Pariaman, Sumatera Barat, Sabtu (22/5/21). Ada luka menganga di perut bawah lumba-lumba itu. Tim Reaksi Cepat BPBD Pariaman mengevakuasi dan mengubur bangkai lumba-lumba di pantai tak jauh dari lokasi temuan pertama kali.
Syafriyos, anggota TRC BPBD, mengatakan, informasi pertama dari Walikota Pariaman yang melapor ke Kepala Satuan (Kalaksa) bahwa ada lumba-lumba mati di wisata Pantai Kata. “Tim dapat info dari walikota, bahwa laporan warga ada lumba-lumba mati,” katanya.
Pengakuan warga sekitar pantai, lumba-lumba sudah sehari terdampar mati. “Kami evakuasi hari kedua, sudah membusuk. Ada robek di bawah perut sedikit,” katanya.
Dia perkirakan panjang lumba-lumba dari ujung moncong hingga ekor sekitar meter dan berat kira-kira 200 kilogram.
“Kami tidak menimbang berat karena lumba-lumba sudah membusuk dan agak lunak.”
Rahmat Irfansyah, Subkoordinator Pendayagunaan dan Pelestarian Balai Pengelolaan Sumber Daya pesisir dan Laut (BPSPL) Padang mengatakan, jenis lumba-lumba itu lumba-lumba bungkuk Indo Pasific (Indo Pasific humpback dolphin), terlihat dari bercak pink keputihan pada sirip punggung, perut dan moncong. Sirip punggung segitiga cenderung pendek dan ada tonjolan seperti bongkok tempat dorsal berada.
Baca juga : Lumba-lumba Risso Terdampar di Jembrana, Bagaimana Nasibnya?
Menurut dia, ukuran panjang lumba-lumba jenis ini biasa tidak lebih tiga meter. “Habitat lumba-lumba jenis ini biasa ditemukan di muara sungai, pesisir dan dekat pulau. Di perairan Sumbar pernah dijumpai di Muara Bungus, Muaro Padang, pantai Pasir Jambak dan Muara Pariaman.”
Dalam periode Januari 2019-Mei 2021, terdapat 10 kejadian mamalia laut terdampar di Sumatera Barat. Ada paus baleen, lima hius paus, mola-mola, paus kerdil dan dua lumba-lumba.
Dwi Suprapti, ahli mamalia laut dari Asosiasi Dokter Hewan Megafauna Akuatik Indonesia (IAM Flying Vet) mengatakan, luka pada bagian kelamin lumba-lumba bungkuk Indo Pasific di Pantai Kata, Pariaman itu terbentuk pasca kematian (post mortem).
“Kalau sekilas saya lihat dari video yang dikirim, itu luka post mortem (luka terbentuk pasca kematian). Pada bagian itu terdapat dua lubang yaitu lubang genital (kelamin) dan anal. Biasa, pada proses pembusukan terjadi akumulasi gas di dalam tubuh hingga akan berusaha mencari celah untuk keluar.”
Dengan tekanan gas tinggi, kata Dwi, biasa terdorong ke beberapa bagian khusus ke lubang-lubang itu. Kalau tekanan lebih tinggi bisa juga usus dan alat kelamin bahkan ikut terdorong keluar melalui celah lubang itu.
Penyebab?
Menurut Dwi, ada sejumlah indikasi penyebab mamalia laut terdampar, seperti pencemaran laut oleh limbah plastik dan polutan lain, efek samping kegiatan dengan gelombang sonar. Juga, kegiatan manusia yang kurang ramah lingkungan, lalu, kondisi alam, gempa, cuaca buruk, dan lain-lain.
Bisa juga, katanya, tertabrak kapal, aktivitas perikanan, dan bayi terpisah dari induk misal, bayi duyung beda dengan dewasa, perlu tempat rehab kalau tak ditemukan induknya. Kalau tidak, peluang hidup kecil.
Ledakan (blooming) alga, katanya, juga bisa mengakibatkan keracunan yang menyebabkan gangguan syaraf. Banyak juga, katanya, penyakit infeksius pada mamalia laut seperti virus cacar. “Ini bahaya jika dipegang tanpa pelindung tangan bisa tertular.”
Keberadaan dokter hewan, katanya, berperan untuk pengamatan satwa dengan nekropsi dan analisis. Misal, pada kasus bayi duyung terindentifikasi kelebihan klorin, dan perlu sudut pandang lain pihak atau peneliti lain.
“Di sini peran dokter hewan dalam investigasi klinis penyebab terdampar atau kematian. Juga menginformasikan keamanan seperti potensi dari zoonosis, kemungkinan penularan ke manusia.”
Dia contohkan, kasus paus sperma kerdil (Kogia sima) terjebak di air surut di Teluk Benoa, Bali, teridentifikasi terluka kena karang, stres, panik, dan kelelahan lalu mati.
Kalau ada satwa terdampar, katanya, tahap pertama adalah menghubungi instansi terkait seperti BKSDA, BPSPL, Dinas Kelautan dan Perikanan ataupun yang bisa merespon pertama setempat yang terlatih.
Untuk penanganan lumba-lumba atau mamalia laut terdampar, katanya, terbagi dua yaitu penanganan hidup dan bangkai (mati).
Baca juga : Terjerat Jaring, Nelayan Gorontalo Berjibaku Selamatkan Paus Pembunuh
Soal penanganan lumba-lumba mati terdampar di Pantai Kata, kata Dwi, sebaiknya dilakukan nekropsi oleh dokter hewan atau tenaga ahli untuk mengetahui penyebab kematian. Namun, katanya, penanganan mamalia laut terdampar sebenarnya tergantung dari situasi dan kondisi setempat.
“Ada benarnya penguburan langsung jika memang tidak ada dokter hewan atau tenaga ahli yang memiliki kapasitas melakukan nekropsi.” Terlebih, katanya, untuk kepentingan pencegahan potensi penyebaran penyakit karena lumba-lumba sudah membusuk.
Dia mengajak dokter hewan bergabung untuk nekropsi dan meneliti penyebab kematian kalau menemukan satwa terdampar. Makin awal kode terdampar, katanya, akan lebih banyak pesan atau informasi diperoleh melalui sampel yang diamati seperti blubber, gigi, dan lain-lain.
Kalau sudah pembusukan, katanya, maka makin minim yang bisa diteliti, hanya parasit, aspek makrokospis, dan genetika.
Dalam periode 2015-2019, terdapat 304 kejadian satwa terdampar, 80% tak terjawab karena keterbatasan biaya, sumber daya manusia, dan informasi. Sisanya, 20% tertinggi karena by-catch, tertangkap manusia, luka, internal, cuaca, tertabrak kapal, predator, dan lain-lain.
Penanganan mamalia terdampar, kata Dwi, perlu pelatihan karena ada penilaian dan tahapan. “Kalau belum pernah cukup melaporkan. Mamalia laut dinyamankan, diberi peneduh jika kepanasan. Kalau berbatu pindah ke lebih lembut. Tak ada yang mendekat atau mengganggu. Minta arahan saat kontak respon cepat,” katanya.
Putu Liza Kusuma Mustika, Direktur Cetacean Sirenian Indonesia & Koordinator Whale Stranding Indonesia, mengatakan, banyak hal bisa dipelajari dari kejadian terdampar.
Di dunia, banyak riset terpublikasi mengenai penyebab kejadian terdampar mamalia laut dan berguna bagi usulan-usulan perbaikan pengelolaan lingkungan.
Dia contohkan, hewan laut–tidak hanya mamalia laut –terdampar mati lalu ditemukan sampah terutama sampah plastik di perutnya. Mamalia laut yang kena tangkapan samping bisa dibuang atau terlepas dari jaring dan akhirnya terdampar. Tabrakan kapal bisa juga menyebabkan cidera pada hewan yang akhirnya terdampar. Polusi air dapat menyebabkan tumor atau kanker pada mamalia laut dan kemudian menurunkan imunitas hewan dan menyebabkan lebih mudah terdampar.
“Makin banyak pula bukti, penggunaan low frequency sonar (sonar berfrekuensi rendah) seperti oleh kapal-kapal selam dapat mengganggu Cetacea dan akhirnya menyebabkan emboli dan kematian pada hewan-hewan itu.”
*****
Foto utama:Lumba-lumba bungkuk Indo Pasific ditemukan mati terdampar di Pantai Kata, Pariaman, Sabtu (22/5/21).Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia