Mongabay.co.id

Perairan Tuing yang Dijaga Suku Lom, Kini Terancam Tambang Timah

 

 

Sukardi [51], keturunan Suku Lom, masyarakat adat tertua di Pulau Bangka, Kepulauan Bangka Belitung, mencemaskan budaya sukunya yang arif dengan lingkungan akan hilang akibat aktivitas ekonomi ekstraktif. Sebut saja pertambangan timah dan perkebunan monokultur skala besar, yang mengambil atau merusak ruang hidup mereka.

Suku Lom tersebar di Dusun Mapur, Air Rabik, Dusun Pejem dan Dusun Tuing [Kecamatan Riau Silip dan Kecamatan Belinyu, Kabupaten Bangka] atau di antara Gunung Muda dan Gunung Pelawan. Luas wilayahnya sekitar 89.125 hektar. Mereka hidup dari dataran tinggi hingga pesisir.

Dusun Tuing, dulunya disebut Tu Wing, merupakan dusun yang berada di pesisir Tanjung Tuing, yang menghadap Laut Natuna. Pembatas dusun dengan laut adalah sebuah bukit dengan ketinggian sekitar 300-an meter, dinamakan Bukit Tuing. Dusun ini luasnya sekitar 2.500 hektar dengan penduduk sekitar 185 kepala keluarga. Selain masyarakat keturunan Suku Lom, juga terdapat warga keturunan Tionghoa, Jawa dan Sumatera. Para pendatang ini hadir karena menikah dengan keturunan Suku Lom di Dusun Tuing.

Dusun Tuing bersama Dusun Puntik dan Dusun Mapur, masuk Desa Mapur. Luas Desa Mapur sekitar 7.363.57 hektar. Sekitar 4.034,45 hektar merupakan kawasan hutan lindung.

Baca: Jejak Suku Lom, Perlahan Hilang Akibat Tergerus Tambang

 

Perairan Tuing dilihat dari atas Bukit Tuing, Desa Mapur, Kabupaten Bangka. Perairan adat Suku Lom yang lestari ini terancam penambangan timah laut. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Dusun ini dipercaya sebagai titik awal kedatangan leluhur Suku Lom sekian abad lalu ke Pulau Bangka. Banyak versi mengenai asal Suku Lom, berdasarkan cerita yang dituturkan keturunannya. Ada yang menyebutnya dari Kerajaan Funan [Vietnam], pelarian dari Mojokerto, Jawa Timur, serta perlarian dari Kedatuan Sriwijaya ketika terjadi wabah lepra atau kusta di Sumatera.

Selain itu, Suku Lom juga dipercaya sebagai keturunan dari Akek Antak [Kakek Antak], legenda terkenal di Pulau Bangka. Dia dipahami sebagai manusia sakti, yang pernah hidup sekitar abad ke-10. Jejak keberadaan Akek Antak dikaitkan dengan sejumlah artefak batu granit, baik berupa telapak kaki, topi, dan lainnya.

Di Pantai Tuing, sekitar 25 kilometer dari permukiman warga di Dusun Tuing, terdapat hamparan batu granit [geosite], yang dipercaya sebagai jejak kehadiran Akek Antak. Terdapat batu yang di atasnya ada telapak kaki manusia, lalu batu menyerupai potongan ular piton [batu sabak], juga batu gendang. Sama halnya dengan legenda Si Pahit Lidah di Bukit Barisan, Sumatera. Manusia sakti yang hidup di masa lalu, yang dapat menyumpah apa pun menjadi batu.

Baca: Nelayan Versus Tambang Timah, Akankah Berakhir di Bangka?

 

Pesisir Tuing dibatasi perbukitan yang hutannya masih terjaga, bersama mangrovenya. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Bebas penambangan timah

Sejak masa Kesultanan Palembang, kolonial Belanda dan Inggris, serta Indonesia, Dusun Tuing bebas dari penambangan timah. “Bukan hanya daratan juga laut,” kata Sukardi, tokoh masyarakat Dusun Tuing, keturunan Suku Lom, kepada Mongabay Indonesia, Selasa [25/5/2021].

Di era 2000-an, ketika booming tambang timah rakyat di Pulau Bangka, yang juga terjadi di Kecamatan Belinyu dan Kecamatan Riau Silip, hanya di Dusun Tuing yang bebas. “Kami tetap melaut dan berkebun. Mungkin ada satu dua warga di dusun ini terlibat penambangan timah, tapi tidak di dusun ini,” katanya.

Saat itu warga di Dusun Tuing, yang sebagian besar keturunan Suku Lom dinilai bodoh oleh warga dusun lain, karena tidak mau hidup mewah dari hasil timah. Misalnya, dapat membeli mobil, sepeda motor, atau membangun rumah besar dari hasil menambang timah.

“Hidup kami sudah damai dan bahagia. Kami tidak kelaparan, bisa menyekolahkan anak dari hasil laut dan kebun. Jadi buat apa merusak alam dengan menambang timah,” kata Supardi, selain bertani [kebun] juga menjadi nelayan.

 

Hamparan batu granit [geosite] di pesisir Tuing, yang dikaitkan dengan legenda Akek Antak. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Sekian tahun, sebagian warga yang membuka timah kini hidupnya jauh lebih sulit dibandingkan warga yang tidak melakukannya. Kondisi mereka, misalnya terjebak hutang, keluarga bubar [cerai], atau terserang penyakit mematikan [kanker, TBC dan liver].

“Saya dulu penambang timah, modal sendiri. Awalnya sukses, lalu nafsu mencari lokasi baru dan akhirnya ambruk. Semua kekayaan hasil timah terjual. Untung tidak punya utang dan saya berhenti,” kata Tono [38], warga Dusun Tuing yang tengah menjala ikan, kepada Mongabay Indonesia.

Saya tidak menambang di dusun ini, masyarakat jelas menolak. “Saya menambang keliling Pulau Bangka,” lanjutnya.

Meskipun bebas tambang, Dusun Tuing, seperti dusun keturunan Suku Lom lainnya; Dusun Mapur, Dusun Air Abik, Dusun Pejem, tidak dapat menolak kehadiran perkebunan sawit PT. Gunung Pelawan Lestari.

“Banyak hutan atau kebun di dusun ini yang dulunya lada menjadi kebun sawit. Hutan yang tersisa itu tinggal hutan lindung. Kalau mau mencari sumber obat-obatan terpaksa ke hutan lindung,” kata Sukardi.

 

Para nelayan hanya menggunakan jaring dan pancing untuk menangkap ikan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Laut dijaga

Tidak hanya hutan, laut juga dijaga oleh masyarakat Dusun Tuing. Perairan ini dikenal sebagai sentra cumi-cumi di Pulau Bangka. Sekitar 173 nelayan dari sejumlah dusun di Desa Mapur mencari ikan di perairan Tuing.

“Sejak dulu kami hanya mencari ikan dengan mancing dan menjala, tidak sampai lima mil dari pantai. Kami dilarang merusak atau mengubah apa pun di laut. Banyak nelayan daerah lain mencari ikan ke sini. Selama mereka menggunakan pancing dan jaring kami persilakan,” kata Sukardi.

Yang jelas, penghasilan kami cukup. Kisaran Rp200-300 ribu setiap kali melaut. Hasil itu cukup menghidupi keluarga kami. “Leluhur kami mengajarkan agar hidup tidak tamak dan menyusahkan orang lain,” katanya.

Bukti perairan Tuing lestari adalah dengan terjaganya terumbu karang yang berada di sepanjang pesisir Tuing. “Di batu karang tersebut, kami mencari ikan dengan cara mancing. Kami tahu, kalau batu karang rusak, ikan akan hilang,” lanjut Sukardi.

 

Cumi-cumi hampir sepanjang tahun didapatkan di perairan Tuing. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Ancaman penambangan timah laut

Saat ini, ketenangan warga Dusun Tuing terusik karena perairan ini masuk IUP [Izin Usaha Penambangan] PT. Timah Tbk.

Seperti disampaikan PT. Timah Tbk, saat sosialisasi rencana kerja perusahaan di wilayah perairan Tuing, pada 18 Maret 2021, seperti dikutip dari bnbabel.com, hal tersebut merujuk data alokasi ruang kelola perairan dalam Perda Nomor 03 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil [RZWP-3-K] Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Sementara zonasi pertambangan yang disepakati antar-pihak di wilayah perairan Bangka Belitung sebesar 11,20 persen, yang salah satu wilayahnya di kawasan perairan Tuing, Kabupaten Bangka.

“Masyarakat adat Suku Lom menolak keras terkait rencana penambangan timah di perairan Tuing. Warga beberapa kali melakukan pertemuan guna menolak rencana penambangan timah laut tersebut,” kata Edo Martono, Ketua BPD [Badan Permusyawaratan Desa] Mapur.

 

Hutan di Bukit Tuing ini merupakan sumber obat-obatan warga Dusun Tuing. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Menurut Edo, mereka ini sebagian besar keturunan Suku Lom. Mereka hidup sejahtera. Setiap bulan rata-rata penghasilan nelayan di sini sekitar Rp10 juta. Jika nantinya laut rusak sebagai dampak penambangan timah, jelas kehidupan nelayan serta masyarakat lainnya di sini menjadi sulit.

“Sudah banyak contoh di Bangka, bagaimana nasib nelayan berubah miskin atau kesulitan setelah adanya penambangan timah laut. Misalnya, di Matras dan Teluk Kelabat,” ujarnya.

“Jika laut adat kami juga rusak seperti halnya hutan kami, maka sesungguhnya suku Lom sebagai suku tertua di Pulau Bangka memang akan dilenyapkan, setidaknya kami kehilangan akar budaya kami yang harmonis dengan alam,” kata Sukardi.

Jadi, kami sangat mengharapkan pemerintah, khususnya PT. Timah, membatalkan niatnya untuk melakukan penambangan di perairan Tuing. “IUP itu kan aturan manusia, bukan ayat [kitab suci], jadi bisa dibatalkan karena banyak merugikan,” paparnya.

 

 

Exit mobile version