Doni Monardo memberi teladan bagaimana seharusnya menjadi pemimpin. Purnawirawan Jenderal Bintang Tiga ini menyuarakan bagaimana pentingnya melestarikan lingkungan demi hajat hidup orang banyak. Dia menjelaskan dengan tangkas bagaimana cara merawat kepedulian menyoal isu lingkungan di Indonesia yang dirundung banyak polemik.
Sosoknya yang tegap terlihat keras, tapi dia menyimpan sisi lembut. Mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) adalah pencinta tanaman. Kecintaannya bermula dari pekarangan rumah sendiri.
Awalnya, lelaki kelahiran Cimahi, Jawa Barat, 10 Mei 1963 ini kagum melihat biji tanaman liar yang tumbuh tunas di dekat rumahnya. Biji itu kemudian dipindahkan ke halaman rumah dan tumbuh besar. Sejak itu, Doni jatuh cinta pada tanaman.
Perhatiannya tanpa putus pada isu lingkungan hidup membawa lelaki berdarah Lintau, Sumatera Barat ini, menerima penghargaan gelar doktor kehormatan (doctor honoris causa) dari IPB University beberapa waktu lalu.
Doni dinilai melakukan pengabdian dan jasa luar biasa bagi kemajuan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang ilmu pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan, pendidikan, pembangunan pertanian dalam arti luas, serta kemanusiaan.
Selepas menuntaskan bakti pada bangsa, dia tak ingin berhenti menanam. Hingga di usianya kini, 58 tahun, Doni masih aktif berkegiatan dalam pembibitan berbagai macam jenis pohon, termasuk pohon-pohon langka, untuk dibagikan di berbagai tempat di Indonesia.
Setidaknya, bersama Paguyuban Budiasi, dia sudah menyemaikan beragam bibit pohon, termasuk jenis pohon endemik Indonesia yang sudah mulai langka, seperti ulin, eboni, torem, rao, palaka, dan cendana.
Sejak tahun 2006 sampai dengan tahun 2020, Budiasi telah memproduksi sekitar 15 juta bibit dari 151 spesies tumbuhan. Lebih dari 10 juta bibit telah didistribusikan. Tidak hanya di berbagai daerah di Indonesia, tetapi juga hingga ke Timor Leste.
“Saya selalu menginisiasi gerakan peduli lingkungan dimana pun ditugaskan. Saya selalu menanam pohon. Jika tidak percaya silahkan cek saja rekam jejak saya,” sebut Doni dalam petikan wawancaranya bersama Mongabay Indonesia.
Melihat sepak terjangnya itu, Doni dianggap seperti oase. Di tengah banyak pejabat sipil, TNI/Polri yang terlibat dalam perusakan ekosistem, dia malah bertindak nyata.
Saat melarang penambangan Doni, juga menghadapi banyak rintangan dan tantangan. Tapi begitulah Doni. Bukannya ciut, nyalinya kian menjadi demi melindungi lingkungan dan rakyat.
Dalam filosofinnya, Doni pernah berujar, hidup itu selayaknya tumbuhan; tumbuh ke atas. Jadi, seseorang harus berusaha meraih mimpinya. Tanaman tumbuh dengan proses yang mengajarkan kesabaran hidup dalam kesungguh-sungguhan.
***
Berikut wawancara dengan Letjen. (Purn.) Dr. (HC) Doni Monardo disajikan khusus dalam rangka Hari Lingkungan Hidup yang diperingati setiap tanggal 5 Juni.
Adapun wawancara lengkap dapat di lihat dalam tautan video berikut:
Mengapa seorang purnawirawan jendral bintang tiga seperti Anda, punya konsen dengan tumbuhan dan lingkungan?
Jika ingin mengetahui secara detail, akan panjang sekali saya menjawabnya. Yang jelas saya meniru dari ibu dan nenek saya. Keduanya sangat mencintai tanaman terutama bunga, dan saya selalu punya rasa hutang pada pohon. Seperti ada ikatan histroris dengan tumbuhan.
Ketika saya bertugas di Baret Merah Koppasus TNI, saya mulai sadar bahwa hutan seperti rumah kedua. Hutan punya unsur sosial budaya, ekonomi, sumber daya alam, dan nilai lainnya yang perlu dilestarikan.
Anda tahu menjaga itu tidak mudah, lalu bagaimana cara meminimalisir kerusakan?
Masalah utama kita saat ini adalah mengubah prilaku. Salah satu faktor yang menyebabkan perusakan lingkungan itu karena ketidaktahuan, mungkin karena tak pernah mendapat akses pendidikan atau literasi kita rendah. Jadi perlu ada gerakan di tengah-tengah masyarakat.
Baca juga: Nilai Doni Monardo Konsisten pada Isu Lingkungan Hidup, IPB University Anugerahi Doktor Kehormatan
Sadar kerusakan lingkungan membawa dampak buruk, sejauh mana Anda memandang solusi yang dapat diimplementasikan?
Kolaborasi adalah kunci. Solusi yang dicanangkan secara parsial tak akan mampu bisa berjalan. Semua butuh dikerjakan secara pararel dan simultan. Baik pemerintah, akademisi, masyarakat serta media mesti gerak berirama. Tentu agar upaya yang dilakukan dapat terukur.
Saya mengambil contoh di Desa Sarongge, Cipanas, ada pembukaan hutan untuk pertanian.
Karena ada kelompok kecil yang gusar akan kerusakan lalu mereka konsisten berkolaborasi dengan beragam pihak membina masyarakat di sana yang akhirnya bisa memanfaatkan hutan tanpa merusak dengan menanam kopi dan beternak. Mereka sudah sadar dan peduli akan ekosistem dan kelestarian alamnya. Itu baik.
Tentang emas biru dan emas hijau ketika tugas di Maluku, serta pemulihan Sungai Citarum saat menjadi Pangdam III/Siliwangi itu semua gerakan yang langsung Anda pelopori. Sebenarnya apa motif Bapak melakukan itu?
(Doni tertawa kecil….) soal lingkungan memang mesti ada yang mempelopori. Ketika saya ditugasi negara. Saya mempelajari betul karakteristik setiap daerah dan keunggulan tiap daerah itu. Selalu saya optimalkan agar isu lingkungan bisa digaungkan. Melalui pendekatan semacam ini, mudah merangkul semua komponen.
Saya mengamini kewajiban seorang prajurit harus menjadi contoh dan pelopor usaha-usaha dari kesulitan rakyat sekitar. Karena sejak berkiprah di Baret Merah saya selalu pegang prinsip Lao Tse.
“Datanglah kepada rakyat, hiduplah bersama mereka. Belajarlah dari mereka dan cintailah mereka. Mulailah dari apa yang mereka tahu. Bagunlah dari apa yang mereka punya. Tetapi, pendamping yang baik adalah ketika pekerjaan selesai dan tugas dirampungkan.”
Baca juga: Doni Monardo: Tangani Bencana Perlu Kerja Bersama
Karir Anda kemudian berlabuh di Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Sejak aktif di sana Anda getol ke daerah rawan dan mencetuskan mitigasi berbasis vegetasi. Menurut Anda seberapa pentingkah mitigasi ini?
Kita perlu tahu bahwa bangsa ini hidup di negara rawan bencana. Maka, Indonesia harus memiliki upaya pencegahan dan mitigasi yang kuat. Keberagaman jenis vegetasi yang ada di Tanah Air dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk mengurangi risiko bencana. Karena itu, mitigasi bencana berbasis ekosistem perlu didorong sebagai strategi utama yang dijalankan.
Terlebih Indonesia memiliki banyak jenis tanaman yang bermanfaat untuk mengurangi timbulnya resiko korban jiwa saat terjadi bencana. Mitigasi berbasis ekosistem harus menjadi strategi utama kita dalam menghadapi potensi bencana.
Bank Dunia menyebutkan bahwa Indonesia adalah salah satu dari 35 negara dengan tingkat ancaman bencana tertinggi di dunia. Ibu Menteri Keuangan bilang negara kita rugi Rp 22 triliun per tahun akibat dampak bencana. Maka pemerintah selalu mendorong kemandirian mitigasi.
Infrakstruktur memang perlu, tapi jika kembali ke sejarah, data-data yang berhasil kita kumpulkan menyebutkan Jepang sendiri pernah membangun sea wall di Sendai.
Belasan tahun mereka membangun dengan dana Rp 120 triliun. Itu dilakukan karena pernah terjadi tsunami pada periode 1900-an awal. Lalu diresmikan tahun 2009, dan 2 tahun setelah itu, terjadi tsunami berulang dan tanggul itu tidak kuat menahan kekuatan alam.
Korban jiwa dan kerugian materi begitu banyak dan besar. Jadi kesimpulannya sekuat apapun buatan manusia belum tentu bisa menjadi mitigasi yang paling optimal. Vegetasi kita beragam dan sudah terbukti di beberapa daerah mampu menahan abrasi pantai dan melindungi dari potensi bencana di pesisir. Model mitgasi ini adalah solusi paling mudah dan murah.
Karena bencana sifatnya periodik dan pasti berulang. Konsep mitigasi vegetasi ini menjadi perlu didorong dengan menyeuaikan karakteristik di daerah. Apalagi jika daerah itu punya historis bencana.
Saya juga sering menginisiasi agar kepala daerah mau untuk mengontrol vegatasi di wilayah mereka. Terutama alih fungsi kawasan. Masalah biasanya muncul pada peralihan musim. Banyak terjadi bencana hidrometerologi cukup masif.
Bahkan tren kerusakannya sudah kian mengkhawatirkan. Begitu juga musim kemarau, krisis air begitu nyata ada dihadapan kita. Tentu ini perlu dipikirkan. Bencana ini tidak hanya mengacam jiwa tetapi menimbulkan kerugian ekonomi yang tidak sedikit nominalnya.
Baca juga: Buku: Doni dan Catatan Kisahnya buat Jaga Alam Indonesia
Faktor apa yang mendorong Anda untuk turun tangan langsung dan turut menyelamatkan ekosistem?
Dulu tahun 1999, ketika ditugaskan di Bali, saya bertemu dengan seorang ahli berkebangsaan Jerman. “Dia tanya, Doni kamu tahu bangsa yang tercerdas di dunia? Saya bilang yaa bangsa Jerman. Kamu tahu kenapa bisa begitu? Saya jawab tidak tahu. Lalu diberikan penjelasan karena air yang kami minum berkualitas.”
Dari situ saya berpikir menyelamatkan ekosistem adalah bagian dari menyelamatkan kehidupan dan untuk menjadikan bangsa kita sehat dan punya sumber daya manusia unggul perlu akses air bersih. Tapi sekarang, masyarakat kita terancam tidak akan lagi mendapat sumber mata air yang berkualitas karena kerusakan hutan.
Di sisi lain hutan punya peran strategis. Perjuangan kita untuk merdeka bermula dari pinggiran hutan. Kalaupun kini ada modernisasi senjata tapi tanpa mengusai teritori tentu tak akan mampu menahan gempuran musuh.
Mesti ada kombinasi antara kemampuan persenjataan dengan adanya hutan sebagai medan perjuangan. Kita bisa mengatur siasat dan strategi dalam hutan. Maka saya bilang, hutan amat dekat dengan prajurit.
Anda seorang prajurit, tapi banyak pihak menganggap Anda begitu punya perhatian lebih dengan persoalan lingkungan negeri ini. Apakah begitu penting?
Perang itu mungkin, tapi bencana itu pasti. Sebetulnya TNI dan Polri punya peran strategis menyelamatkan hutan.
Selama saya menjabat Kepala BNPB, banyak jumlah korban meniggal karena illegal mining. Dan TNI mesti memberi dukungan kepada tugas Polri. Kerusakan jangan dibiarkan, apalagi ini menyangkut kedaulatan negara. Yang paling penting, jangan teribat dengan perbuatan illegal loging dan mining.
Jika TNI dan Polri bisa bersama-sama menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam upaya mitigasi hutan kita. Maka, saya yakin alam akan terpelihara. Semoga kita semua selalu memberikan pengabdian terbaik kepada bangsa dan negara.
Kini Anda sudah purnabakti, lalu apakah masih ada kegelisahan di diri Bapak?
Satu hal yang selalu membuat saya risau, tidak banyak orang yang menghargai pohon. Padahal pohon adalah sumber kehidupan. Selama saya berkeliling, banyak kisah orang yang selamat dari bencana karena pohon.
Saya contohkan pohon ulin. Biji pohon ini baru muncul tunasnya jika sudah 3 bulan. Sebatang ulin ditebang biasanya saat berumur 200 tahun. Tapi ia ditebang hanya dalam waktu 5-10 menit pohonnya hilang.
Kalau kita mau menghitung kerugian dari hilangnya pohon. Kita bisa dimulai dari mengkonversi kebutuhan konsumsi air saja.
Satu orang mengkonsumsi satu liter, dikali satu desa, satu kecamatan, satu kota, dan satu provinsi. Maka niscaya akan keluar angka triunan hanya untuk kebutuhan air.
Di sisi lain hutan tropis kita salah satu paling luas di dunia. Banyak negara yang mendambakan punya hutan seperti kita. Dimana air, oksigen, dan udara bersih kita begitu kaya. Sebetulnya apabila dimanfaatkan dengan baik kita mungkin bisa menjadi bangsa yang makmur dan unggul.
Untuk itu, saya ingin tekankan kepada para penegak hukum. Kita perlu menjaga sisa-sisa hutan alam yang masih ada. Jangan menebang hutan. Kalau ingin menebang pohon sebaiknya tebang pohon yang ditanam sendiri. Kira-kira itu pesan saya.