- Dalam lima tahun belakangan ini, para petani kopi di Kabupaten Malang, Jawa Timur, mulai terapkan pola pertanian berkelanjutan. Hasilnya, produktivitas meningkat dan kesejahteraan bertambah dengan ada pola tumpang sari maupun usaha lain di sela tanaman kopi.
- Perkebunan kopi di Kabupaten Malang, Jawa Timur, ada sejak era kolonialisme Hindia Belanda pada 1823. Perkebunan kopi tersebar di Lereng Gunung Bromo-Semeru, dan Gunung Arjuna-Kawi. Saat ini, luas kebun kopi varietas robustas seluas 34.000 hektar dan arabika 23.500 hektar dengan produktivitas 750 kilogram per hektar. Setiap hektar ditanami 1.400 pohon kopi dengan total sekitar 120.000 petani menggantungkan hidup dari budidaya tanaman ini.
- Petani di Kabupaten Malang mendapatkan dukungan perbankan dengan bunga lunak dengan pinjaman Rp30 miliar untuk meningkatkan modal usaha pertanian.
- Melati, Program Manager Commodities and Intact Forest Yayasan IDH mengatakan, intervensi kepada petani kopi dengan pola ekosistem terintegrasi. Dengan membentuk kelompok tani, lanjut pelatihan dan praktik di lapangan melalui kebun percontohan atau demo farm. Petani juga menerapkan pola tanam tumpang sari, dengan menanam aneka tanaman di sela tanaman kopi seperti vanila, jahe, pisang, berternak lebah madu dan ternak kambing.
Para petani kopi di Kabupaten Malang, Jawa Timur, mulai terapkan pola pertanian berkelanjutan. Hasilnya, produktivitas meningkat dan kesejahteraan bertambah dengan ada pola tumpang sari maupun usaha lain di sela tanaman kopi.
Perkebunan kopi di Kabupaten Malang, Jawa Timur, ada sejak era kolonialisme Hindia Belanda pada 1823. Perkebunan kopi tersebar di Lereng Gunung Bromo-Semeru, dan Gunung Arjuna-Kawi. Kopi pernah alami masa keemasan dengan limpahan produksi pada 1887-1889, dan berangsur menurun hingga kini.
Saat ini, luas kebun kopi varietas robustas seluas 34.000 hektar dan arabika 23.500 hektar dengan produktivitas 750 kilogram per hektar. Setiap hektar ditanami 1.400 pohon kopi dengan total sekitar 120.000 petani menggantungkan hidup dari budidaya tanaman ini.
“Kopi jadi tanaman utama perkebunan di Kabupaten Malang,” kata Jajang Slamet Soemantri, Petugas Penyuluh Lapangan Dinas Tanaman Pangan Hortikultusan dan Perkebunan Kabupaten Malang, dalam webinar Pembelajaran dari Program Pengembangan Produktivitas Kopi di Malang, Jawa Timur awal Juli lalu.
Awalnya, produktivitas kopi terbilang rendah, hanya 700 kilogram, kini sudah tiga ton. Untuk meningkatkan produktivitas, Pemerintah Kabupaten Malang bekerjasama lintas sektor termasuk melibatkan swasta dan menurunkan penyuluh pertanian lapangan.
“Memberi bantuan bibit kopi dan hewan ternak. Tahap awal diberikan untuk 120 kelompok tani di Ampelgading, Sumbermanjing Wetan, Tirtoyudo dan Dampit atau yang dikenal Amstirdam,” katanya.
Selain itu, juga dengan dampingan Yayasan Inisiasi Dagang Hijau (IDH) dan eksportir kopi asal Dampit, PT Asal Jaya. Kolaborasi IDH dan PT Asal Jaya membekali para petani di kaki Gunung Semeru dengan transfer teknologi budidaya tanaman kopi dengan pola keberlanjutan.
Baca juga : Uniknya Kopi ala Suku Osing
Suntikan perbankan
Petani juga mendapatkan dukungan perbankan dengan bunga lunak dengan pinjaman Rp30 miliar untuk meningkatkan modal usaha pertanian. “Sebagian besar petani gurem. Kepemilihan lahan kurang dari satu hektar,” kata Jajang.
Sebelumnya, petani menanam dengan pola tanam monokultur hingga tak berdampak signifikan terhadap kesejahteraan terlebih produktivitas rendah. Kemudian dengan diversifikasi dan strategi meningkatkan produkstivtas, peningkatan mutu kopi maupun mengaktifkan kelembagaan.
Selain itu, juga pola kemitraaan untuk pemasaran kopi. Petani bergabung dalam kelompok tani bekerjasama dengan perusahaan eskportir dengan begitu mereka memiliki kepastian pasar.
Petani juga pakai bibit kopi varietas unggul, mengolah dan memproduksi pupuk organik untuk mengurangi ketergantungan pupuk kimia dan pestisida serta dilatih mengolah biji kopi sampai siap pasar.
“Ada 540 master trainer, masing-masing melatih 28 petani. Target tujuh tahun bisa menyasar 15.000 petani di Amstirdam,” katanya.
Melati, Program Manager Commodities and Intact Forest Yayasan IDH mengatakan, intervensi kepada petani kopi dengan pola ekosistem terintegrasi. Dengan membentuk kelompok tani, katanya, lanjut pelatihan dan praktik di lapangan melalui kebun percontohan atau demo farm.
Awalnya, katanya, petani budidaya kopi dengan cara konvensional karena keterbatasan pengetahuan. Dari persiapan lahan, perawatan, teknik memetik kopi, dan pemasaran masing-masing petani menerapkan cara berbeda hingga kualitas kopi tak maksimal dan tak seragam.
Petani juga menerapkan pola tanam tumpang sari, dengan menanam aneka tanaman di sela tanaman kopi seperti vanila, jahe, pisang, berternak lebah madu dan ternak kambing.
Lebah madu, katanya, mempercepat penyerbukan kopi, sedangkan kotoran dan urine kambing dicampur dengan sisa kulit kopi jadi pupuk organik.
“Petani mendapat penghasilan tambahan dari pembibitan tanaman kopi, penjualan madu dan ternak kambing,” kata Melati.
Haryanto, Direktur PT Asal Jaya mengatakan, mereka lakukan pendampingan ini lantaran produktivitas kopi di Indonesia rendah, jauh dibandingkan Vietnam yang rata rata 2,5 ton. Melihat kondisi ini, mereka terdorong bantu meningkatkan produksi dan kesejahteraan petani.
“Kami bekerjasama dengan IDH untuk membina petani. Menyumbang kambing, green house, dan bibit unggul. Hasilnya, ada yang sampai produktivitas mencapai tiga ton per hektar,” katanya.
Permintaan kopi untuk pasar luar negeri sangat tinggi dan pasokan petani di Malang baru memenuhi 10% dari ekspor perusahaan.
Dia bilang, kerjasama ini dengan sistem co-funding atau pendanaan bersama untuk model pembinaan ekosistem di perkebunan kopi.
Baca juga : Sukses Patola, Ubah Kopi Kampung ke Starbucks
***
Bakri, petani kopi di Harjokuncaran, Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang mengatakan, sejak bertahun-tahun menanam kopi dengan pola pertanian tradisional. Dia belajar budidaya kopi ikut cara orangtua mereka.
Setelah mendapat pelatihan, dia belajar bertani kopi secara berkelanjutan mulai persiapan lahan, merawat tanaman, pemanenan, hingga pengolahan pasca panen. Dia juga merekrut petani muda untuk regenerasi petani dan belajar membuat pupuk organik untuk mengurangi pupuk kimia.
Untuk pasca panen, petani berlatih sortasi biji kopi, sampai teknik penjemuran. Kopi yang dipanen dijemur di solar dryer dome yang bisa mempercepat penjemuran. Kalau jemur secara tradisional perlu waktu selama enam hari, dengan metode penjemuran dome cukup tiga hari.
Dia juga mengolah biji kopi sampai siap dalam kemasan bubuk dan mendirikan kedai kopi untuk meningkatkan penghasilan kelompok tani. Sejauh ini, baru 5% produksi kopi diolah dan dikemas untuk dipasarkan langsung kepada konsumen.
Program pendampingan Yayasan IDH dan PT Asal Jaya diaudit oleh lembaga independen Akvo. Analis data Akvo, Nisa Rahmatika mengatakan, survei terhadap 400 petani dari 15.000 petani memperlihatkan, produktivitas kopi naik 11% per hektar. Semula 750 kilogram, setelah intervensi program selama lima tahun naik 836 kilogram.
Sedangkan produktivitas kopi per pohon naik 30% dari 0,58 kilogram jadi 0,78 kilogram dan biaya produksi berkurang hingga 46,13% setelah petani pakai pupuk organik dan menguragi pupuk kimia serta pestisida. “Rata-rata total keuntungan petani naik 62,3%,” katanya.
Mayoritas kepemilikan lahan petani kurang dari satu hektar hingga produktivitas kopi belum berpengaruh signifikan terhadap kesejahteraan mereka. Untuk meningkatkan kesejahteraan, petani harus diversifikasi usaha dengan beternak kambing, budidaya lebah madu dan menanam tanaman sela dengan pola tumpang sari.
Menurut petani, usaha diverstifikasi paling menguntungkan dengan ternak kambing sumbawa, atau peranakan etawa dan tanam kopi varietas BP308.
“Petani mendapat penghasilan tambahan. Petani memproduksi 2.000 bibit per tahun, sementara kelompok tani mampu menghasilkan 20.000 bibit. Harga jual bibit kopi Rp3.500-Rp4.000.”
Kelompok Tani Sukosari, Kecamatan Tirtoyudo menyuplai 80.000 bibit kopi. Selama setahun mendapat penghasilan tambahan sampai Rp320 juta. Mereka juga memberi pembelajaran kepada petani kopi di Papua, Nganjuk, dan Wonogiri. Sedangkan PT Asal Jaya mendapat biji kopi berkualitas grade A dan B. “Hanya 10% grade C,” kata Nisa.
Do Ngoc Sy, Manajer Keberlanjutan Asia Pasifik Jacobs Douwe Egberts (JDE) mengapresiasi program pendampingan dan pelatihan petani kopi Yayasan IDH dan PT Asal Jaya. Selain mampu meningkatkan produktivitas, juga menerapkan praktik bertanian berkelanjutan.
“Sangat bangga, sukses selama lima tahun petani juga melakukan diversifikasi usaha di sela tanaman kopi,” katanya.
Tessa Meulensteen, Program Manager IDH Sustainable Trade Initiative, mengatakan, pasar kopi dunia mempertimbangkan aspek kualitas, ketelusuran atau asal usul, dan keberlanjutan tanaman kopi. “Indonesia berpeluang besar untuk meningkatkan mutu kopi berstandar internasional dan keberlanjutan.”
*****
Foto utama: Petani panen kopi di Malang. Mereka menerapkan pertanian berkelanjutan. Hasilnya, produktivitas meningkat sejalan dengan peningkatan kesejahteraan petani. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia