- Vakninasi dengan mengharuskan punya nomor induk kependudukan (NIK) bisa jadi kendala percepatan vaksinasi, terlebih di kelompok rentan seperti masyarakat adat. Banyak warga adat belum miliki NIK.
- Sosialisasi soal vaksin pada masyarakat adat masih minim, jadi mereka tak dapatkan informasi secara utuh. Yang banyak mereka terima, malah informasi-informasi soal vaksin itu berbahaya bisa menyebabkan orang meninggal dunia.
- Pada 29 Juli lalu, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Akses Vaksinasi bagi Masyarakat Adat dan Kelompok Rentan membuat petisi kepada Presiden Joko Widodo. Mereka menyerukan, jangan jadikan NIK penghalang akses vaksin.
- Data resmi Satgas Penanggulangan COVID-19, per 1 Agustus 2021, warga terpapar mencapai 3.440. 396, sembuh 2.809.538, dan meninggal dunia sebanyak 97.723 orang dengan kematian hari itu 1.604 orang. Vaksinasi terbilang lambat, baru 40 jutaan orang vaksin pertama, dan 20 jutaan orang sudah vaksin kedua dari target 208 juta orang.
Pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) makin menggila terlebih setelah muncul berbagai varian, seperti Delta, dengan penularan lebih tinggi. Warga terpapar makin banyak, yang meninggal dunia terus bertambah. Indonesia, bahkan jadi negara dengan penularan terparah di dunia.
Data resmi Satgas Penanggulangan COVID-19, per 1 Agustus 2021, warga terpapar mencapai 3.440. 396, sembuh 2.809.538, dan meninggal dunia sebanyak 97.723 orang dengan kematian hari itu 1.604 orang. Vaksinasi terbilang lambat, baru 40 jutaan orang vaksin pertama, dan 20 jutaan orang sudah vaksin kedua dari target 208 juta orang.
Vakninasi dengan mengharuskan punya nomor induk kependudukan (NIK) bisa jadi kendala percepatan vaksinasi, terlebih di kelompok rentan seperti masyarakat adat. Banyak warga adat belum miliki NIK.
Hingga kini, sosialisasi soal vaksin pada masyarakat adat masih minim, jadi mereka tak dapatkan informasi secara utuh. Yang banyak mereka terima, malah informasi-informasi soal vaksin itu berbahaya bisa menyebabkan orang meninggal dunia.
Mijak Tampung, pemuda rimba Makekal Hulu, Merangin, Jambi mengatakan, bisa jadi hambatan vaksinasi pada kelompok Orang Rimba, banyak belum miliki NIK. Lebih dari separuh populasi Orang Rimba di Makekal Hulu, belum memiliki KTP.
Beda masalah yang terjadi di Komunitas Adat Rambang Kapak Tengah di Muara Enim, Sumatera Selatan. Warga adat di komunitas ini siap vaksin tetapi akses vaksin yang terbatas.
“Penanganan COVID-19 berjalan lamban terutama untuk masyarakat adat di pedalaman, kendalanya, kurang banyak vaksin disediakan,” kata Wawan, pengurus kampung Marga Rembang Kapak Tengah Suku I.
Warga di komunitas adat ini, terbilang tak bermasalah soal NIK, hanya penyediaan vaksin yang terbatas. “Jadwal vaksin juga kejauhan, dua minggu sekali,” katanya. Dia berharap, pasokan vaksin bisa tersedia lebih banyak dan jadwal lebih cepat.
Baca juga: COVID-19 Gelombang Kedua, Waspada Polusi Asap Kebakaran Hutan dan Lahan

Pada 29 Juli lalu, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Akses Vaksinasi bagi Masyarakat Adat dan Kelompok Rentan membuat petisi kepada Presiden Joko Widodo. Mereka menyerukan, jangan jadikan NIK penghalang akses vaksin.
Koalisi ini terdiri dari organisasi masyarakat sipil yang memberikan perhatian dan dukungan pada akses vaksinasi COVID-19 bagi kelompok-kelompok rentan, khusus, masyarakat adat, penyandang disabilitas dan anak-anak.
Selain kepada presiden, surat terbuka itu, mereka tujukan juga buat Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Sosial, Kapolri, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA). Lalu, Dinas PPPA, Dinas Sosial, Dinas Kumham, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri, Dinas Kesehatan, di seluruh Indonesia.
Dalam rilis mereka, koalisi menyebutkan, upaya vaksinasi untuk mencapai kekebalan kelompok, yang menjadi target utama presiden bisa terhambat Peraturan Menteri Kesehatan No. 10/2021 tentang Pelaksanaan Vaksinasi dalam Penanggulangan Pandemi. Dalam Pasal 6 Ayat 3 peraturan ini mewajibkan NIK sebagai syarat mengikuti program vaksinasi.
“Pemerintah perlu mengambil langkah diskresi karena ini masalah nyawa orang, bukan sekadar soal pilkada atau pemilu. Bagi masyarakat adat, mengurus NIK di masa normal pun susah, apalagi masa pandemi,” kata Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).
AMAN memperkirakan, ada 40-70 juta jiwa warga adat tersebar di Indonesia, 20 juta jiwa dari mereka jadi anggota AMAN. Data AMAN, per 21 Juli 2021, baru 468.963 orang mendaftarkan diri untuk vaksinasi, sekitar 20.000 dari mereka sudah mendapatkan vaksinasi tahap pertama. Keterbatasan akses vaksinasi dan ketiadaan NIK jadi kendala utama pendaftar rendah.
Bagi masyarakat adat yang tinggal di pedalaman atau pulau terluar, katanya, kewajiban memiliki NIK jadi sandungan signifikan untuk menjangkau program vaksinasi pemerintah.
“Vaksinasi, aksesnya harus diperluas dan diprioritaskan bagi yang benar-benar membutuhkan.”
Rukka bilang, sebetulnya masyarakat adat bukanlah kelompok rentan. Mereka bisa hidup mandiri. Selama ini, mereka menjaga keharmonisan dan kelestarian alam, serta keragaman hayati di daerah-daerah terdalam dan terluar Indonesia. Wilayah-wilayah adat selama ini katanya, merupakan lumbung pangan.
Selama ini, berbagai kebijakan pembangunan telah meminggirkan masyarakat adat dan membuat posisi mereka rentan, termasuk dalam hadapi pandemi.
Setahun pertama pandemi, lokasi terpencil dan relatif terisolasi, kehidupan mandiri, dan kearifan lokal membuat masyarakat adat relatif aman dari COVID-19. Seiring perkembangan varian virus dan mudah menular, katanya, pertahanan masyarakat adat mulai jebol.
Peningkatan positif COVID-19, kata Rukka, di masyarakat adat cukup signifikan. Informasi yang AMAN kumpulkan, corona masuk ke wilayah adat seperti di Aru Kayau, Kalimantan Utara; Lamandau, Kalimantan Tengah; Tana Toraja dan Toraja Utara, Sulawesi Selatan. Juga Sigi, Sulawesi Tengah, dan Kepulauan Aru, Maluku.
Dia bilang, mengingat peran penting menjaga biodiversitas dan lumbung pangan, masyarakat adat perlu dilindungi.
Persyaratan NIK untuk vaksin juga menjadi persoalan bagi kelompok rentan dalam berbagai bentuk. Kelompok disabilitas, anak-anak dalam berbagai kondisi yang tak memiliki akta kelahiran, petani, lansia, buruh, transpuan, tunawisma, misal, kerap tidak memiliki NIK.
Kalau KTP jadi persyaratan vaksin, katanya, kelompok marjinal akan alami risiko tak tersentuh vaksinasi. “Ini membahayakan keseluruhan upaya penanganan pandemi.”
Sebagian masyarakat adat dan kelompok rentan juga tak memiliki akses layanan kesehatan memadai. Contoh, lokasi tinggal terlalu jauh dari fasilitas kesehatan, ketiadaan infrastruktur, atau keterbatasan fisik.
Maulani Rotinsulu Ketua Umum Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), Maulani Rotinsulu, mengatakan masyarakat disabilitas membutuhkan informasi konstruktif tentang vaksin COVID-19 dan akses fasilitas kesehatan terjangkau, terutama bagi perempuan disabilitas.
Buyung Ridwan Tanjung dari Organisasi Harapan Nusantara juga mendesak ada sosialisasi soal prosedur para penyandang disabilitas, termasuk buat yang tidak memiliki NIK, untuk bisa mendapatkan vaksin.
Filantropi Indonesia, sebuah perkumpulan organisasi dan individu penggiat filantropi, menggarisbawahi, persoalan di lapangan bukan hanya persyaratan kepemilikan NIK yang memberatkan kelompok rentan. Beberapa lembaga filantropi yang menjadi sentra vaksinasi, termasuk melayani kelompok-kelompok rentan, menilai akses terhadap fasilitas pemeriksaan kesehatan membuat kelompok rentan dan masyarakat adat tidak memahami riwayat kesehatan mereka.
Ketersediaan dan distribusi vaksin terbatas juga menyulitkan program kesehatan pemerintah untuk mencapai kekebalan komunitas ini.
“Mereka butuh screening kesehatan tambahan, juga mobilisasi karena ada keterbatasan bagi disabilitas untuk mendatangi layanan kesehatan. Hal yang mungkin kami lakukan, membawa vaksin kepada mereka atau membawa mereka ke lokasi vaksinasi,” kata Hamid Abidin, Direktur Eksekutif Filantropi Indonesia.
Hoaxs menyebar
Kabar vaksin COVID-19 berbahaya menyebar hingga pedalaman, seperti di Komunitas Orang Rimba. “Informasinyo kalau disuntik vaksin itu malah berbahayo, apolagi kalau punya penyakit dalam. Efeknyo itu demam jadi orang malah tambah takut,” kata Mijak.
Dia bilang, informasi itu berkembang dari luar, namun dengan cepat sampai ke telinga Orang Rimba. Mijak bilang, sosialisasi dari pemerintah soal vaksinasi di kelompok Orang Rimba sangat minim, hingga banyak termakan berita hoaks.
Saat ini, kelompok Orang Rimba di Makekal Hulu banyak terserang batuk dan demam walau belum ada laporan soal paparan COVID-19 di sana.
Mijak bilang, kelompoknya tengah ritual adat besesandingon– adat Orang Rimba secara turun temurun saat ada wabah. Menurut dia, adat besesandingon akan menyulitkan pemerintah untuk vaksinasi karena mereka akan menjaga jarak bahkan menutup diri dari orang luar.
“Kalau orang luar jaga jarak paling 2-4 meter, kalau Orang Rimbo biso puluhan meter. Kalau empat meter terbit (kumpul) itu namanya.”
Meski demikian, karena kebutuhan hidup banyak orang di kelompok Makekal terpaksa harus kontak dengan orang luar, misal, saat menjual hasil kebun, dan belanja kebutuhan lain di pasar.
Ngempas, Orang Rimba lain bercerita, kesulitan saat isolasi di hutan adalah pemayau (kemiskinan, atau kelaparan). Sebabnya, hasil hutan seperti jernang, rotan, manau dan lain-lain tidak laku dijual.
“Kalaupun ada toke membeli dengan harga rendah. Jernang mentahan biji biasa mereka jual Rp40.000-Rp60.000 per kilogram. Hanya dibeli Rp15.000 per kilogram,” katanya.
Untuk sampai ke pembeli pun mereka harus menahan ketakutan karena harus bertemu orang luar. Kondisi ini, sangat rawan bagi Orang Rimba.
Ketakutan sama juga terjadi di Kelompok Air Panas, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun. “Banyak kejadian kalau disuntik vaksin itu tibo-tibo meninggal, tanpo gejala demam,” kata Meti, Orang Rimba Kelompok Air Panas.
Dia juga tidak mau vaksin. Meti bilang, punya penyakit dalam dan sudah tiga malam demam batuk tak kunjung sembuh meski telah berobat.
Meski begitu, katanya, belum ada sosialisasi soal suntik vaksin, baik dari Dinas Kesehatan maupun puskesmas.
****
Foto utama: Pelaksanaan vaksin. Vaksin terbilang lambat, baru 40 juta orang dapat vaksin pertama dan 20 jutaan orang peroleh vaksin kedua, dari target 200-an juta orang, per 1 Agustus 2021. Foto: BPNB