- Film Tenggelam Dalam Diam, menceritakan dampak krisis iklim yang mengancam kota-kota pesisir, seperti yang terjadi di Pulau Jawa. Film dokumenter ini hasil tangkapan di pesisir Jakarta, Bekasi, Pekalongan, Semarang, hingga Gresik.
- Hindun Mulaika, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, mengatakan, lewat film ini, masyarakat bisa melihat contoh bencana karena aktivitas manusia (man-made disaster).
- Kejadian di film ini bisa jadi sejarah untuk diketahui generasi ke generasi. Mereka bisa menyaksikan bagaimana kerusakan akibat ulah manusia.
- Asfinawati, Direktur Eksukutif Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia mengatakan, pemerintah itu, mengatasnamakan pembangunan untuk rakyat, dengan mengambil pekerjaan rakyat, mengambil ruang dan rumah mereka, lahan pertanian, bahkan mengambil laut mereka.
Jalanan, bangunan sampai lahan pertanian tergenang kala hujan turun atau air laut naik jadi pemandangan rutin di daerah-daerah pesisir di Pulau Jawa seperti Jakarta, dan Semarang. Kota-kota pesisir di Pulau Jawa ini bahkan daerah-daerah kepulauan lain di Indonesia, terancam dampak dari krisis iklim ini. Setiap sentimeter kenaikan air laut, mengakibatkan jutaan penduduk dataran rendah kehilangan tempat tinggal. Krisis iklim pun bisa jadi krisis kemanusiaan, yang berdampak signifikan terhadap kehidupan sehari-hari, termasuk ekonomi masyarakat.
Kegentingan dampak krisis iklim ini terlihat dalam narasi film ‘Tenggelam Dalam Diam’. Film ini besutan Watchdoc bersama Greenpace dan para pekerja seni seperti Vira Talisa, Asteriska, Oscar Lolang, Chitra Subyakto, The Panturas, Doly, dan Irene Berlian.
Ini merupakan sebuah dokumenter atau hasil tangkapan mereka di pesisir Jakarta, Bekasi, Pekalongan, Semarang, hingga Gresik dan ditayangkan di kanal Youtube Watchdoc.
Dandhy Laksono, dari Watchdoc menceritakan proses di balik pembuatan film ‘Tenggelam Dalam Diam’ itu. Dia semangat ketika Greenpeace mengajak Whatchdoc kolaborasi untuk angkat masalah ini.
“Kami juga beberapa kali merekam kehidupan masyarakat pesisir, terkait kasus reklamasi dan tayang pada beberapa waktu sebelumnya. Man-made disaster atau bencana yang timbul akibat kebijakan tata ruang, ekonomi bisnis properti, dan ragam proyek yang dilakukan manusia lain,” katanya, dalam diskusi daring, beberapa waktu lalu.
Ambil contoh Jakarta, alami banjir berulang padahal punya 13 sungai melintasi ibu kota. Pada akhirnya, pemerintah memberikan solusi yang sifatnya teknokratis. “Dari masalah itu, biasa pemerintah memberikan solusi dengan cara membangun kanal, meluruskan sungai-sungai dan dalam skala ledakan populasi yang luar biasa. Misal, 70 juta pada saat merdeka, menjadi 270 juta saat ini. Ruang masih sama, ini yang menjadi eskalasi persoalan,” katanya.
Persoalan ini, katanya, juga terjadi di Semarang. Stasiun Tawang, misal, kalau banjir biasa tenggelam. “Itu sebenarnya tidak biasa.” Pengetahuan ini, katanya, tidak ada di banyak ruang publik.
Film ini coba menyambungkan berbagai persoalan iklim, seperti narasi polusi, atau penggundulan hutan, lalu meningkatnya suhu bumi berkaitan dengan es di kutub mencair hingga menyebabkan air laut naik. Kemudian, abrasi lalu menenggelamkan sebuah pusat populasi.
“Kita sebenarnya paling malang, kepulauan, ¾ laut tapi malah begitu semangat mengeksploitasi batubara, menebang hutan. Semangat mengambil nikel untuk listrik, kita paling semangat eksploitasi air dan kegiatan merusak lingkungan lain.”
Hindun Mulaika, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, mengatakan, lewat film ini, masyarakat bisa melihat contoh man-made disaster.
“Ini juga disebabkan pola pembangunan. Kenapa Jawa? Karena bagaimana masifnya ekspansi dari industrialisasi yang justru membuat gestruksi dari ruang hidup itu terjadi,” katanya.
Film itu juga menyajikan data kondisi memburuk dalam satu dekade terakhir.
Asfinawati, Direktur Eksukutif Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia mengatakan, beberapa lokasi dalam film itu jadi daerah dampingan YLBHI. Di film itu, persoalan lebih tergambar jelas.

Pemerintah itu, katanya, mengatasnamakan pembangunan untuk rakyat, dengan mengambil pekerjaan rakyat, mengambil ruang dan rumah mereka, lahan pertanian, bahkan mengambil laut mereka.
Rokky Gerung, pendiri Setara Institute menanggapi film itu dalam diskusi ini. Dia bilang, sudah menonton dua kali supaya ketemu persoalan yang dihadapi bagian timur Jawa dan bagian barat Jawa. Dia marah dan senang.
“Marah karena ada hal yang disembunyikan oleh regulasi. Senang karena hal yang disembunyikan itu dibuka oleh Watchdoc.”
Film ini, katanya, akan menjadi semacam rekam jejak yang mengingatkan bahwa pantai Indonesia ada 90.000 kilometer dirusak perlahan-lahan dari Surabaya-Jakarta, Jakarta-Surabaya dan berpuncak di Jawa Tengah. Belum lagi pulau-pulau lain.
Film ini ditutup dengan dengan dokumentasi Doly dan Irene menunjukkan, ada beberapa rumah terus menerus ditinggikan sampai mencapai satu setengah meter ke bagian atap.
“Kejadian di film ini pun jadi sejarah untuk diketahui generasi ke generasi selanjutnya. Itu bisa jadi sejarah yang bisa disaksikan bagaimana kerusakan akibat ulah manusia. Bahkan itu bagi Pulau Jawa. Belum lagi di pulau-pulau lain,” kata Hindun.
*****
Foto utama: Banjir Jakarta, beberapa tahun lalu. Foto: BNPB