Tigel, Tarian Suku Melayu untuk Menjaga Tujuh Bukit Permisan Bangka

 

  • Sejumlah suku Melayu di sekitar lanskap Bukit Permisan, Kabupaten Bangka Selatan, Kepulauan Bangka Belitung, mengenal Tari Tigel. Tarian yang asalnya dari seni Suku Sekak yang dikenal sebagai suku lanun ini, dijadikan masyarakat lokal sebagai seni untuk melindungi hutan mereka yang berada di tujuh bukit.
  • Tari ini sempat menghilang ketika pemerintahan adat dihapuskan pemerintah. Tapi saat ini, Tari Tigel dihidupkan kembali.
  • Saat ini adat dan seni pada masyarakat di sekitar Bukit Permisan mulai luntur. Sejalan dengan lunturnya adat, sebagian masyarakat juga tidak lagi peduli dengan alam, khususnya hutan.
  • Guna melindungi lanskap Bukit Permisan, tradisi kembali ke adat perlu dihidupkan kembali pada masyarakat di sekitarnya.

 

Pada sejumlah Suku Melayu di Kecamatan Simpang Rimba, Kabupaten Bangka Selatan, Kepulauan Bangka Belitung, seperti Suku Sebagin, Suku Basung, Suku Gudang, Suku Jerieng, dan Suku Gayi, dikenal Tari Tigel. Tarian ini berisi pesan perlindungan terhadap hutan di tujuh bukit di lanskap Bukit Permisan.

Tujuh bukit tersebut adalah Bukit Nenek, Bukit Batu Kepale, Bukit Nangka, Bukit Putus, Bukit Meninjon, Bukit Mengkubung, dan Bukit Cek Antak.

“Saat ini sebagian hutan di tujuh bukit tersebut mulai rusak, dirambah untuk diambil kayunya atau dijadikan kebun sawit,” kata Sumardoni, pegiat seni dan budaya di Bangka Selatan, kepada Mongabay Indonesia, awal Agustus 2021.

“Beranjak dari persoalan lingkungan tersebut dan takut tradisi ini hilang, saya dan beberapa teman menghidupkan kembali tari tersebut,” lanjutnya.

Sumardoni yang juga penari dan pekerja teater, belajar Tari Tigel dari Atok Li Ing [Sainan], sekitar 2017. Tiga tahun kemudian, Atok Li Ing meninggal dunia dalam usia 80-an.

Dijelaskan Sumardoni, Tari Tigel kali pertama dikenalkan oleh Suku Sekak yang datang ke Sebagin, ratusan tahun lalu. Suku Sekak dikenal sebagai lanun atau bajak laut, yang suka merampas dan melakukan kekerasan terhadap penduduk lokal.

Baca: Setiap Bukit di Bangka adalah Wilayah Larangan, Mengapa?

 

Wajah penari tigel harus tertutup, simbol untuk mengelabui orang-orang yang berniat merusak alam. Foto Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Dari lanun menjaga bukit

Awalnya, Tigel merupakan tarian mistis yang dilakukan para perempuan [ibu-ibu], sebagai ungkapan rasa syukur atas keberhasilan melanun.

Para penari tidak boleh diketahui oleh warga, bahkan wajah penari selalu ditutup selendang lebar dan panjang yang ditelekungkan, hanya menyisakan mata.

Para penari ini dahulu berbaju adat dengan peniti berjumlah 10 lebih. Ini menandakan sang penari sudah memiliki keturunan, jika lebih dari 10, menandakan jumlah anak yang dimiliki.

Gerakannya berupa langkah kecil-kecil, hati-hati, dengan tangan membentang berayun, mirip orang yang menjaga keseimbangan di dak kapal atau perahu. Tidak ada gerakan erotis sama sekali.

Musiknya, berupa iringan nada monoton dari gendang dan gong dengan ritme menghinoptis menuju kesadaran trance.

“Tigel artinya menipu karena penari tidak dikenal penonton,” kata Sumardoni.

Baca: Menjaga Suku Lom, Menyelamatkan Pulau Bangka dari Kerusakan Lingkungan

 

Dua penari menunjukkan gerakan Tari Tigel di sekitar Bukit Nenek, Bangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Dalam perkembangannya, Tigel dijadikan seni pertunjukan. Bukan hanya menyambut para lanun yang sukses merompak di laut, juga dalam acara pesta perkawinan atau hajatan. Sementara, masyarakat lokal memanfaatkan tarian ini sebagai bentuk pengetahuan/informasi untuk melindungi alamnya [tujuh bukit] dari pengrusakan.

Tarian ini popular hingga tahun 1970-an akhir. Seiring hilangnya masyarakat adat, tari ini pun hilang.

“Ternyata, hilangnya Tigel mempengaruhi kesadaran masyarakat dalam melindungi hutan di tujuh bukit di Bukit Permisan. Semoga, dengan dihidupkan lagi tari ini membuat warga kembali peduli atau melindungi tujuh bukit,” kata Sumardoni yang saat ini mengajar di sebuah sekolah menengah atas.

Baca: Geopark Gunung Permisan Bangka dan Jejak Manusia Austronesia

 

Sep Amir Ibrahim, tokoh Adat Permisan yang tidak pernah lelah menjaga lingkungannya. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Adat mulai luntur

Sep Amir Ibrahim [80], tokoh masyarakat Desa Permis mengatakan, dulu suku-suku di sini sangat melindungi semua hutan. Mereka tidak sembarangan menebang pohon dan memburu hewan.

“Misal, pohon dengan ukuran kecil tidak boleh ditebang. Bila boleh, jumlahnya terbatas. Termasuk pula sejumlah akaran tidak boleh dipotong. Sebab, diyakini sebagai obat dan akan diambil jika dibutuhkan,” jelasnya.

Terkait hewan, burung sangat dilarang diburu. Sementara hewan berkaki empat yang tengah bunting, tidak diperkenankan diburu atau ditangkap.

Jika ada warga melanggar, akan dihukum secara adat, seperti denda. Hukuman yang paling ditakutkan adalah dikucilkan masyarakat.

“Misalnya tidak dihadiri warga jika dia menggelar hajatan dan sebaliknya tidak diundang bila ada acara di rumah warga,” jelasnya.

Tahun 1970-an hingga 1980-an, adat tersebut masih berlaku. Tapi, setelah maraknya perambahan pohon dari orang luar [Sumatera Selatan dan Lampung], pertambangan timah liar, serta perkebunan sawit, hutan mulai terbuka. Bahkan, banyak kebun lada dan kelekak [kebun buah] yang diubah menjadi kebun sawit.

“Bahkan, karena sawit ini orang bernafsu membuka hutan di atas bukit, termasuk di sekitar mata air. Saat ini orang kaya, kian bertambah tamak saja. Mereka tidak lagi menggunakan akalnya. Jika mereka peduli, pasti akan melindungi hutan agar anak cucunya aman dan terjauhkan dari bencana,” jelasnya.

Baca juga: Geopark, Jejak Manusia Purba, dan Legenda Akek Antak di Bangka

 

 

Menghidupkan tradisi dan adat

Sep Amir Ibrahim berharap, adat dan tradisi yang ada di sekitar Bukit Permisan dihidupkan kembali. “Termasuk menghidupkan seni yang nilai-nilainya terkait hubungan manusia dengan Tuhan dan alam.”

Kulul Sari, pegiat budaya di Bangka Selatan, juga mencemaskan banyaknya hutan yang rusak atau berubah karena dirambah atau menjadi perkebunan sawit di lanskap Bukit Permisan.

“Saat ini banyak warga tidak punya lagi kebun, sebab terjual dengan mereka yang berkebun sawit. Akhirnya, mereka membuka hutan di bukit. Bukit menjadi rusak, dampaknya mata air mulai terganggu, termasuk pula banyak hewan yang mulai hilang. Rusa, kijang, mulai sulit dilihat saat ini,” ujarnya.

 

Aliran air di lanskap Gunung Permisan tidak pernah kering sepanjang tahun yang menjadi sumber air baku masyarakat sekitar. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Untuk menyelamatkannya, kata Kulul, adat dan tradisi harus dihidupkan kembali. “Dengan adat, masyarakat lebih patuh terhadap aturan yang melindungi alam, khususnya hutan. Ini jika dibandingkan dengan aturan hukum yang dijalankan pemerintah. Sebab masyarakat melihat, pemerintah juga mengeluarkan izin untuk sejumlah perusahaan yang dipahami masyarakat telah merusak atau membuka hutan.”

Terkait Tari Tigel, Kulul sangat setuju jika dijadikan seni yang wajib diajarkan pada generasi muda di wilayah Bukit Permisan.

“Bukan soal keindahan saja, tapi juga pesan atau nilai-nilai di balik tarian tersebut. Saya percaya, banyak tradisi dan seni di sini yang harus digali atau dihidupkan kembali,” tandasnya.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,