Buku : Lampung dan Masa depan Sumatera. Konservasi di Mata Jurnalis Penulis : Mongabay Indonesia Tebal : 267 + X halaman Romawi Tahun Terbit : Juli 2021 ISBN : 978-623-6130-93-3
**
Sejak belasan abad lalu, berbagai bangsa di dunia tertarik dengan kekayaan alam Nusantara [Indonesia]. Sebagian hadir dengan damai melalui perdagangan, lainnya datang untuk menguasai dan menjajah.
Setelah Indonesia berdiri atau merdeka, kekayaan alam tersebut tetap menarik perhatian berbagai bangsa dunia. Hanya, mereka datang tidak lagi dengan agresi meliter, tapi dengan skema ekonomi, ideologi, dan budaya.
Menangkis hal-hal yang merusak, Indonesia menerapkan konsep “Ketahanan Nasional”. Yang artinya, bangsa dan negara siap menghadapi ancaman atau tantangan dengan ketahanan ideologi, ketahanan politik, ketahanan ekonomi, ketahanan sosial budaya, serta ketahanan pertahanan dan keamanan.
Membaca buku “Lampung dan Masa Depan Sumatera” yang diterbitkan Mongabay Indonesia bekerja sama dengan Journalist Learning Forum [Juli 2021], menurut saya merupakan upaya ketahanan nasional dengan berbagi pengetahuan dan informasi terkait kekayaan alam Indonesia, yang harus dipertahankan “kemerdekaannya”. Merdeka dari kerusakan dan kepunahan.
Lampung di buku ini, bukan hanya dipahami sebagai wilayah pemerintahan, tapi sebuah lanskap kekayaan alam penting di Pulau Sumatera, baik mineral maupun keanekaragaman hayatinya.
Baca: Merdeka! Kita Butuh Air dan Tanah yang Subur
Dalam pengantar penerbit, dituliskan, “Dua taman nasional berada di Lampung, yakni Taman Nasional Bukit Barisan Selatan [TNBBS] dan Taman Nasional Way Kambas [TNWK]. TNBBS merupakan satu dari tiga taman nasional di Sumatera, yang mendapat penghargaan UNESCO tahun 2004, sebagai Situs Warisan Dunia Hutan Hujan Tropis Sumatera atau Tropical Rainforest Heritage of Sumatra [TRHS].”
Selanjutnya, Cagar Alam Kepulauan Krakatau, yang terdapat anak Gunung Krakatau, serta Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman.
Di Lampung terdapat beragam satwa kebanggaan Indonesia: badak sumatera, harimau sumatera, gajah sumatera, tapir, dan beruang. Kemudian, TNBBS merupakan habitat Rafflesia arnoldii, Puspa Langka Nasional yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden RI No.4 Tahun 1993 tentang Satwa dan Bunga Nasional.
Dengan fakta tersebut, tidak berlebihan jika buku ini memposisikan Lampung sebagai bagian penting masa depan Sumatera.
Buku setebal 267 halaman [full colour], empat bab, sebagian besar merupakan karya jurnalis di Lampung [lima laki-laki dan dua perempuan], serta jurnalis Mongabay Indonesia dan para pakar atau tokoh lingkungan hidup Indonesia.
Pengerjaan buku ini berlangsung di tengah pandemi COVID-19, dimulai dari webinar, pada Juni dan Juli 2020, dilanjutkan riset data dan liputan lapangan.
Baca: Terkait SDA, Publik Lebih Prihatin Korupsi Dibandingkan Kerusakan Lingkungan. Benarkah?
Ridzki R. Sigit, Program Manager Mongabay Indonesia, menilai Lampung sebuah miniatur konservasi di Indonesia. Yang dapat dipelajari, direplikasi bahkan dapat dievaluasi. Ada berbagai cerita sukses konservasi hingga level dunia, sebaliknya juga berbagai cerita enas tentang keterancaman.
Membuat seri tulisan tentang Lampung, Mongabay Indonesia melihat pendekatan pengelolaan konservasi harus diletakkan untuk mencari keseimbangan, sebuah ekuilibrium. Tarik menarik tersebut harus dikorelasikan dengan sisi pemanfaatan, keberlanjutan, sekaligus pengawetannya.
Dalam konteks tata ruang, konservasi tidak boleh dikotak-kotak dalam bagian administratif semata, -apalagi barter politik transaksional. Lebih dalam, konservasi bukan semata upaya memberi penjelasan, tetapi mencari nilai hakikat.
Prof. Dr. Ir. H. Hadi Sukadi Alikodra, MS, Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB, mempertegas, “Lampung merupakan wilayah sangat penting dari sisi konservasi biodiversity, terutama perihal fauna. Mengapa? Di sini ada satwa liar yang menjadi kebanggaan Indonesia. Sebut saja badak sumatera, tapir, gajah, juga harimau.”
Pendekatan bentang alam perlu dikedepankan jika ingin menyelamatkan satwa liar di TNWK dan TNBBS. Bukan hanya satu habitat, tetapi gabungan berbagai habitat satwa liar yang harus kita lindungi masa depannya.
Intensive management sangat diperlukan dalam pengelolaan TNWK dan TNBBS. Dasarnya, bisa berupa ekowisata maupun pemanfaatan tanaman obat atau bioprospeksi.
“Ketika bicara konservasi, kita juga turut memperhatikan nasib masyarakat di sekitarnya. Selain itu, konservasi memberikan manfaat, meningkatkan pendapatan asli daerah,” tulisnya.
Baca: Ekosofi, Era Baru Konservasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Indonesia
Lampung Sebagai Model Kawasan Konservasi Sumatera
Christine Wulandari, Ketua Program Studi Magister Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Lampung [Unila], saat menjadi narasumber diskusi virtual Mongabay Indonesia bertajuk “Lampung Sebagai Model Kawasan Konservasi Sumatera” [25 Juni 2020], menuturkan lima variabel yang harus diperhatikan dalam pengelolaan kawasan konservasi berbasis lanskap di Lampung.
Rinciannya, platform berbagai pemangku kepentingan, pemahaman bersama, perencanaan kolaboratif, pelaksanaan efektif, serta pemantauan.
Pendekatan lanskap merupakan upaya mengakomodir setiap kepentingan, mulai ekologi, budaya, dan ekonomi lokal dalam satu bentang kawasan. “Kuncinya adalah membangun konektivitas antar-kawasan yang memiliki keanekaragaman hayati.”
Keberadaan Lampung yang kaya flora dan fauna, nyatanya tidak luput dari ancaman, terutama para pemburu. Beragam kisah itu diuraikan dalam artikel “Mengendus Aksi Kejahatan Satwa Liar di Lampung” lalu “Lampung “Jalur Sutra” Penyelundupan Burung Kicau dari Sumatera ke Jawa” serta “Kisah Sedih Harimau Batua yang Menghuni Taman Lembah Hijau”.
Harimau bernama Kyai Batua ditemukan terkena jerat pemburu di kawasan TNBBS. Empat jari kaki kananya mengalami infeksi akut, sehingga Tim Medis BKSDA Bengkulu-Lampung terpaksa mengamputasinya, sehari setelah Batua dibawa ke Taman Konservasi Lembah Hijau, Lampung, pada 4 Juli 2019.
Kyai Batua diduga beberapa kali menjadi incaran pemburu. Di pinggangnya ada bekas jerat seling, yang menyebabkan pinggangnya mengecil atau tidak berkembang, serta ada tiga lubang di tubuhnya; pangkal ekor, pangkal leher, dan ketiak kanan depan.
Baca: Lampung, Model Kawasan Konservasi Berbasis Lanskap di Sumatera
Badak Sumatera, Antara Ada dan Tiada
Satu hal menarik buku ini adalah pembahasan mengenai badak sumatera yang kondisinya nyaris punah. Pada artikel “Ancaman Kepunahan Satwa Bercula di Indonesia”, dijelaskan di Indonesia terdapat dua jenis badak; badak jawa dan badak sumatera.
Dua jenis badak ini merupakan yang tersisa dari berbagai wilayah sebarannya. Misal, badak jawa sebelumnya pernah ditemukan di India, Myanmar, Thailand, Kamboja, Laos, Semenanjung Malaysia, Jawa dan Sumatera. Badak Jawa yang statusnya Kritis, kini tersisa 74 individu dan hanya ada di Taman Nasional Ujung Kulon [TNUK].
Badak sumatera, yang merupakan badak terkecil jika dibandingkan jenis badak lainnya di dunia, tinggi sekitar 110-145 sentimeter dan panjang sekitar 240-310 sentimeter, kini tersisa sebanyak 80 individu. Hidupnya hanya ada di Taman Nasional Way Kambas, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Taman Nasional Gunung Leuser, dan di Kutai Barat, Kalimantan Timur.
Baca: Totalitas Widodo Ramono untuk Badak Sumatera
View this post on Instagram
Inspirasi Sumatera
Sosok peneliti dan pegiat lingkungan tersaji juga di buku ini, jejak maupun pemikirannya.
Tukirin Partomihardjo, yang dikenal sebagai “King of Krakatoa”, ditulis dengan gaya naratif dan informatif. Tukirin telah melakukan pengamatan suksesi atau perkembangan vegetasi di Anak Krakatau sejak 1981. Dia pun mengikuti terbentuknya hutan muda di Anak Krakatau.
Pada 22 Desember 2018, Gunung Anak Krakatau erupsi. Empat bulan setelahnya, Tukirin kembali mendatangi Anak Krakatau. Hutan muda yang sebelumnya menutupi Anak Krakatau hilang. Tukirin tidak bersedih. Baginya, ini sebuah kejadian alam yang memberikan pengetahuan, untuk diamati kembali hunian satu daratan dari awal hingga berbagai tingkatan.
Artikel “Kisah Mantan Anak Perambah Menjaga Hutan Bukit Barisan” merupakan narasi semi biografi yang ditulis Suyadi, PhD, peneliti di Pusat Penelitian Biologi Lembaga Pengetahuan Indonesia [LIPI].
Artikel ini ibarat cerita pendek, penuh kejutan, alur dramatis, dan memberikan keharuan. Kisah ini mungkin akan diingat beberapa generasi, tentang seorang anak perambah di tengah rimba TNBBS, yang kemudian menjadi pejuang lingkungan.
Suyadi, bukan hanya belajar berbagai ilmu pengetahuan di sekolah dan perguruan tinggi, dia juga harus belajar kebudayaan baru [moderen]. Sebab, dirinya tumbuh dan berkembang dalam kebudayaan yang dipenuhi mitos dan mistis. Dia mampu menyatukannya sebagai pengetahuan dan pribadi yang terus berjuang melestarikan alam.
Artikel penuh pengetahuan tentang Lampung disampaikan Sunarto, PhD, Ekolog Satwa Liar dan Lanskap, dengan judul “Lampung dan Masa Depan Satwa Liar Sumatera”. Dia menguraikan lanskap Lampung yang khas, karena memiliki semua tipe ekosistem khas Sumatera, seperti terumbu karang, hutan pantai dan mangrove, hutan rawa, hutan dataran rendah mineral, hingga hutan perbukitan dan pegunungan.
Lampung juga memiliki tumbuhan dan satwa ikonik. Misalnya bunga terbesar di dunia, Rafflesia raksasa [Rafflesia arnoldii], dan bunga bangkai tertinggi dunia, yakni bunga bangkai titan arum [Amorphophallus titanium]. Tentang satwa, seperti yang diuraikan sebelumnya, hanya orangutan sumatera yang tidak ditemukan di Lampung.
Saya mengutip pernyataan Profesor Alikodra, yang dimuat di akhir buku ini, yang menurut saya penting bagi kita semua: lestarinya keanekaragaman hayati Indonesia merupakan tanggung jawab kita bersama.
Tanggung jawab yang bukan hanya bagi pegiat lingkungan, tapi juga para penyelenggara negara, pelaku ekonomi, jurnalis, buruh, petani, dan masyarakat luas.
“Apa yang terjadi saat ini, rusaknya hutan dan alam Indonesia, saya pikir merupakan masalah mental manusia, dan etika konservasi yang kurang. Kita butuh manusia-manusia yang konsen, yang mempunyai moral, watak, dan etika berwawasan lingkungan. Manusia yang tidak hanya memikirkan kepentingan pribadi, tapi juga peduli pada kelestarian lingkungan. Kita memang harus menciptakan karakter manusia pembela lingkungan. Saya sudah dan akan terus melakukannya, melalui jalur pendidikan.”
Merdeka!
* Taufik Wijaya, jurnalis, pekerja seni dan budaya di Teater Potlot, Palembang, Sumatera Selatan. Pernah menetap dan bekerja pada media harian di Lampung, 1997-2001.