- Teguh Turasno, kena bui 10 bulan karena membakar semak di sepetak tanah ukuran 30 tumbuk (3.000 meter). Niatnya membersihkan tumpukan semak bekas tebasan untuk bisa segera tanam sayur.
- Petani kecil kena tangkap karena buka lahan dengan membakar cukup banyak di Jambi. Pada Oktober 2015, Polda Jambi menangkap 30 orang, 27 jadi tersangka pembakaran lahan. Dalam 2019, Polda Jambi menangkap 37 orang dan jadi tersangka. Bagaimana penegakan hukum bagi korporasi?
- Feri Irawan, Direktur Perkumpulan Hijau, organisasi pegiat lingkungan hidup di Jambi, mengatakan, penangkapan petani kecil bukan solusi menghentikan kebakaran hutan dan lahan yang hampir setiap tahun terjadi di Jambi. Pemerintah, mesti tegas terhadap koporasi yang jadi penyumbang terbesar kasus karhutla di Jambi.
- Rudiansyah, aktivis lingkungan di Jambi melihat, ada ketimpangan penegakan hukum antara petani kecil dan perusahaan. Penggunaan UU Perkebunan menjerat petani kecil yang diduga membakar lahan tidaklah obyektif.
Teguh Turasno, dikenal sosok lelaki polos, tak neko-neko. Pria asal Kebumen, Jawa Tengah itu mendekam di balik jeruji Polres Muaro Jambi, Jambi, lalu pindah ke Lapas Kelas IIA Kota Jambi, lebih lima bulan gara-gara bakar semak bekas tebasan. Teguh berniat tanam sayur mayur di lahan pamannya yang dia garap.
“Niatnya merantau cari duit malah dipenjara,” katanya lewat sambungan telepon tengah Agustus lalu.
Dia tertekan, pikiran kusut ingat anak dan istri di Jawa. “Biasa balik kerja telepon, walau belum bisa kirim (uang) tapi kan bisa telepon jadi agak tenang. Kalau dipenjara gak bisa, ngenes.”
Dua bulan setelah bebas bersyarat Februari lalu, dia langsung pulang ke Kebumen menemui anak dan istrinya.
“Lagi pengen istirahat, nenangin pikiran dulu. Walau hidup seadanya, alhamdulillah lebih tenang sama keluarga,” katanya.
Sekarang, dia mengelola sawah dan merumput untuk pakan ternak. Meski sudah pulang ke Jawa, dia tak pernah lupa kehidupan pahit kala dipenjara.
Ceritanya, 23 Agustus 2020, saat pekerjaan di gudang pinang lagi kosong. Pria 40 tahun itu pergi ke ladang di RT 17 Desa Kasang Pudak, Kecamatan Kumpeh Ulu, Kabupaten Muaro Jambi. Ladang seluas 30 tumpuk atau sekitar 3.000 meter itu milik Warto.
Teguh mau tanam sayur mayur. Semak sudah dia bersihkan. Tumpukan semak bekas tebasan minggu lalu itu mulai mengering setelah beberapa hari terkena panas terik. Dia pun mengambil sejumput rumput dan menyalakan api.
Perlahan api membesar dan makin beringas membakar tumpukan semak. Asap tebal membumbung tinggi ke langit. Kepulan asap mengundang helikopter water bombing yang tengah patroli.
Enam kali helikopter BNPB bolak-balik menumpahkan ribuan liter air berupaya memadamkan api. Teguh yang ketakutan campur bingung melihat helikopter berputar-putar, bergegas ikut memadamkan api dibantu warga. Air parit di sekeliling ladang terkuras habis.
Di tengah kepanikan itu, ponsel Darmin, Ketua RT 17 berdering, beberapa pesan masuk di grup WhatsApp, anggota bintara pembina desa (babinsa) tengah mencari lokasi titik api yang terpantau tak jauh dari rumahnya.
“Orang (satgas karhutla) itu langsung ke sini, kerno api itu masuk dalam GPS, nampak di satelit,” kata Darmin yang ditemui Mongabay tengah Agustus lalu.
Empat jam setelah itu, sekitar pukul 16.00, Teguh dijemput tiga polisi dari Polsek Kumpeh Ulu. Warto kaget keponakannya dicokok polisi.
“Aku kejar, kenapo keponakanku itu ditangkap, masalah kebakaran lahan kato polisi itu, aku ajak damai dak mau orang itu,” kata Warto.
Baca juga: Jatuh Bangun Selamatkan Gambut Jambi
Dua hari setelah Teguh ditangkap, Polres Muarojambi menggelar jumpa pers. AKBP Ardiyanto, Kapolres Muaro Jambi (kini AKBP Yuyan Priatmaja) saat itu menyebut, Teguh ditangkap atas laporan warga Desa Kasang Pudak karena membakar lahan.
Dia dijerat UU No.39/2014 Pasal 108 Jo Pasal 56 ayat (1) tentang perkebunan atau Pasal 187 jo Pasal 188 KUHP. Ancaman hukuman 10 tahun penjara, denda Rp10 miliar.
Polisi juga menyita korek warna biru dan kayu bekas terbakar sebagai barang bukti.
“Kalau warga dak ado yang lapor, api itu memang nampak di satelit, helikopter itu di sini mutar-mutar nyiram air,” kata Darmin.
Teguh tak mengira, api yang dia sulut merembet kemana-mana walau ladang Warto berkeliling parit.
“Kanan kiri depan belakang primer, makanya berani membakar,” katanya.
Niat Teguh tanam sayur buat tambahan penghasilan justru berakhir petaka. Ketika digelandang polisi dia hanya nurut, tak banyak membantah.
“Saya pikir mau diajak musyawarah ke kantor desa, tahunya dibawa ke Polres,” katanya.
Hasil putusan sidang Pengadilan Negeri Sengeti 17 Desember 2020, Teguh Turasno dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana “membakar yang mengakitbatkan bahaya umum bagi barang” dan dijatuhi hukuman 10 bulan penjara.
Teguh dipindahkan ke Lapas Kelas II A Kota Jambi setelah empat bulan susah tidur lantaran di sel Polres Muarojambi, sesak dengan tahanan. Dalam satu sel seukuran kamar berisi 25 orang.
“Di lapas pindah di ruang tengah isinya 60 orang, kalau tidur disusun kayak pindang.”
Selama di penjara Teguh selalu gelisah. Pikiran tak tenang teringat anak dan istri di kampung. Dia tulang punggung keluarga sedang masuk bui.
Istrinya terpaksa banting tulang memenuhi kebutuhan keluarga. “Saya bilang ke istri yo sabar-sabar dulu namanya lagi kena musibah,” katanya.
Teguh bebas setelah 5,5 bulan jalani tahanan. Kementerian Hukum dan HAM memberikan asimilasi bagi narapidana guna pencegahan dan penanggulan penyebaran COVID-19. Banyak narapidana bebas, termasuk Teguh. Mereka hanya wajib lapor setiap minggu.
“Kapok sudah, gak mau lagi (dipenjara),” katanya.
Pada 3 Agustus 2020, Heri Kiswanto dan Nazarudin juga ditangkap Polres Muaro Jambi. Kasus sama, membakar lahan. Polisi turut menyita jerigen sebagai barang bukti.
Heri ditangkap atas kasus kebakaran lahan seluas satu hektar di Desa Sungai Bertam. Nazarudin, kena kasus kebakaran di Bukit Baling. Di hadapan polisi, Nazarudin mengaku kalau lahan 700 meter yang dia bakar buat tanam cabai dan kangkung.
Ardiyanto dengan lugas mengatakan, penangkapan dua petani itu sebagai pembelajaran untuk warga lain agar tidak membuka lahan dengan cara membakar.
“Ini tindakan serius kita terhadap orang perorangan maupun korporasi yang masih berani menbakar hutan lahan dengan sengaja. Kita tindak tegas.”
Baca juga: Kebakaran Gambut Jambi, Kualitas Udara Buruk, Sekolah Diliburkan
Tangkap petani, bagaimana korporasi?
Petani kecil kena tangkap karena buka lahan cukup banyak di Jambi. Pada Oktober 2015, Polda Jambi menangkap 30 orang, 27 jadi tersangka pembakaran lahan. Dalam 2019, Polda Jambi menangkap 37 orang dan jadi tersangka.
Feri Irawan, Direktur Perkumpulan Hijau, organisasi pegiat lingkungan hidup di Jambi, mengatakan, penangkapan petani kecil bukan solusi menghentikan kebakaran hutan dan lahan yang hampir setiap tahun terjadi di Jambi. Pemerintah, katanya, mesti tegas terhadap koporasi yang jadi penyumbang terbesar kasus karhutla di Jambi.
KKI Warsi mencatat, luas kebakaran 2015 mencapai 191.378 hektar, disumbang dari 17 perusahaan hutan tanaman industri (HTI), 54 perusahaan perkebunan sawit, dua HPH, dua izin restorasi, hutan lindung hingga taman nasional dan tahura.
Pada 2019, Walhi Jambi merilis luas kebakaran mencapai 165.186,58 hektar, dengan 62 konsesi perusahaan jadi penyumbang terbesar. Bahkan, beberapa perusahaan tercatat pernah mengalami kebakaran pada 2015.
“Saat ini, justru seolah keberhasilan penegakan hukum itu dengan menangkap petani-petani kecil, sementara dengan korporasi pemerintah tak berani,” katanya.
Dia bilang, banyak kasus kebakaran melibatkan perusahaan tak sampai ke pengadilan. Bahkan, perusahaan yang vonis pengadilan hingga kini tak kunjung eksekusi.
“Ini menunjukkan lemahnya pemerintah dalam penegakan hukum bagi perusahaan, hingga perusahaan jadi arogan.”
Rudiansyah, aktivis lingkungan di Jambi melihat, ada ketimpangan penegakan hukum antara petani kecil dan perusahaan.
Direktur Walhi Jambi, periode 2017-2021 itu menilai, penggunaan UU Perkebunan menjerat petani kecil yang diduga membakar lahan tidaklah obyektif.
“Dalam konteks kerusakan lingkungan harusnya UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang melihat aspek dampak lingkungan. Jadi, jangan dipukul rata kalau kebakaran di wilayah APL (alokasi penggunaan lain) itu digunakan UU Perkebunan,” katanya.
Menurut dia, penegak hukum seharusnya memperhatikan motif pembakaran lahan, berapa luas, dan apa fungsi lahan sebelum terbakar. “Penegak hukum harusnya melihat dalam konteks itu, bukan ada api, tangkap, ada api tangkap.”
Dia juga mengkritisi proses eksekusi yang melibatkan perusahaan besar lamban, seperti PT Ricky Kurniawan Kertapersada (RKK), Makin Group yang hingga kini masih di Pengadilan Negeri Jambi.
Dalam catatan pengadilan, pada 16 November 2017, Pengadilan Tinggi Jambi menghukum RKK membayar kerugian materil dan biaya pemulihan ekologis Rp191, 804 miliar atas 591 hektar konsesi mereka terbakar pada 2015. Dalam putusan kasasi 8 Oktober 2018, Mahkamah Agung juga menolak permohonan RKK. Dia dorong, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk eksekusi.
“Kalau tidak, ini akan memperburuk lagi kerusakan lingkungan akibat kebakaran yang terus mengancam ke depan.”
Rudi bilang, pemerintah terlalu banyak pertimbangan dalam penegakan hukum pada perusahaan, salah satu alasan menjaga stabilitas investasi.
Yasmin Ragil, Direktur Penyelesaian Sengketa KLHK beralasan, eksekusi RKK lamban karena pandemi COVID-19 dan pemberlakukan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM).
Selain itu, katanya, eksekusi juga harus melalui beberapa tahapan, mulai pemberian surat teguran sampai sita eksekusi.
Dia katakan sudah melayangkan surat teguran pada RKK, tetapi tidak ada kesepakatan berkaitan pembayaran. “Kita berharap mereka membayar sukarela. Karena tidak membayar sukarela, kita melanjutkan dengan proses sita eksekusi,” katanya dihubungi Mongabay, 10 Agustus lalu.
KLHK mengajukan beberapa aset RKK untuk eksekusi: rekening dan sertifikat HGU untuk tiga lahan konsesi. Tak disebut rinci berapa luas obyek lahan hak guna usaha (HGU) akan disita. Tak semua rekening dan tiga lahan HGU disita.
“Kalau rekening sudah cukup, yang disita rekening saja, kalau belum akan ditambah lahan HGU satu atau HGU dua sampai nilainya sesuai putusan pengadilan.”
Ragil mengatakan, proses eksekusi akan dilakukan Pengadilan Negeri Jambi dengan melibatkan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat serta Pengadilan Negeri Sengeti.
Dia bilang, datang ke Muaro Jambi dan berkomunikasi dengan panitera Pengadilan Negeri Sengeti 5 Agustus lalu.
Ragil berharap, pengadilan, BPN, kantor lelang punya komitmen sama dengan KLHK untuk eksekusi putusan pengadilan.
“Mudah-mudahan tahun ini bisa dilakukan (eksekusi).”
Dalam catatan KLHK hingga Juni lalu, selain RKK, ada lima perusahaan dalam proses eksekusi, dengan total aset sitaan Rp17,7 triliun lebih.
Menurut Ragil, ada lima perusahaan lain dalam persiapan eksekusi. Mereka juga diganjar membayar kerugian dan pemulihan lingkungan hidup Rp1,9 triliun lebih.
Mongabay menghubungi Aman Masni, asisten humas RKK. Dia dia menolak pembicaraan dikutip. Aman minta Mongabay datang ke kantor Makin Group, 16 Agustus 2021. “Di sana yang lebih berwenang memberi keterangan,” katanya, 14 Agustus lalu.
Mongabay datang ke Kantor Makin Group, di Jalan Inu Kertapati, Telanaipura, Kota Jambi. Syaiful, satpam Makin Group mengatakan di kantor tidak ada humas.
Dia menyarankan kembali menghubungi Aman Masni untuk berkomunikasi dengan Dian Haris, humas RKK. Aman tak merespon panggilan dan pesan yang dikirim Mongabay.
***
Seminggu sebelum, Rasio Ridho Sani, Dirjen Gakkum KLHK, datang ke Muaro Jambi, September 2019, langit di Desa Puding dan Pulau Mentaro, merah. Jambi terkepung kepung api.
BNPB mencatat, api membara pada 408 titik kala itu. Berminggu-minggu ribuan hektar lahan gambut terbakar, Muaro Jambi, macam dipanggang.
“Waktu 2019 itu, iyolah parah nian, lebih parah dari 2015. Yang terkenal langit merah itu di sinilah (Desa Betung) tempatnyo. Sekilo dari belakang sini itu api galo, sampai puluhan kilo [meter] itu terbakar semuo. Langit gelap, siang hari itu macam jam 8.00 malam,” kata Sarkim, warga Pulau Mentaro, mengenang kebakaran 2019.
Kebakaran gambut memicu bencana kabut asap parah mencekik puluhan ribu warga Jambi. Kualitas udara di Muaro Jambi dan Kota Jambi, masa itu terus memburuk, bahkan berhari-hari dalam kondisi berbahaya.
Bahaya kabut asap kemudian terekskalasi menciptakan serangan ISPA. Lebih 63.000 warga Jambi terserang gangguan pernapasan.
“Kalau di sini hampir merato, keno (ISPA) galo. Tapi, yang dikhawatirin anak kecil, bayi, orang tuo-tuo. alau macam kito itulah biaso, dak heran lagi, wong kebakaran hampir tiap tahun.”
Di Desa Puding, konsesi RKK kembali terbakar. Api tak terkendali meluluhlantakkan ribuan lahan gambut. Dalam catatan KKI Warsi, luas kebakaran anak perusahaan Makin Group itu mencapai 1.200 hektar.
Di tengah kepungan asap, Roy, sapaan akrab Rasio, datang langsung ke Jambi menyegel konsesi RKK pada 28 September 2019.
Dia tak merespon pertanyaan Mongabay berkaitan pencabutan izin RKK. Ragil bilang, untuk kasus kebakaran RKK 2019 telah ditangani pihak lain—bukan tim Ragil.
“Yang pertama saja belum diselesaikan, nanti kalau kita lakukan lagi, nanti numpuk lagi dan belum tentu itu dilakukan.”
Ninda, Diputi Direktur Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL) mengatakan, pemerintah sebetulnya punya cara lebih efektif memaksa perusahaan memulihkan lahan tanpa perlu proses peradilan yang panjang. Caranya, dengan penegakan hukum administratif.
KLHK, katanya, memiliki kewenangan penuh untuk memberikan teguran tertulis, sanksi paksaan pemerintah, pembekuan izin, pencabutan izin dan denda administratif pada perusahaan yang terbukti melakukan pelanggaran.
Pemerintah, katanya, bisa memberikan sanksi paksaan pemerintah untuk memaksa perusahaan melakukan pemulihan lingkungan. Pemerintah, juga bisa bekukan atau cabut izin.
“Saya yakin perusahaan akan takut kalau izin dicabut, karena mereka tidak bisa berusaha lagi.”
Bila perlu, katanya, pemerintah bisa memberikan sanksi komulasi internal yang dapat memaksa perusahaan melakukan pemulihan lahan sekaligus membayar denda sebagai efek jera.
“Jadi, perusahaan bisa kena pencabutan izin atau pembekuan izin dan paksaan pemerintah sekaligus.”
Edi Sutrisno, Direktur Eksekutif Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia mengingatkan, penyandang dana RKK berisiko terkena masalah keuangan karena membiayai perusahaan yang terjerat hukum dan kerusakan lingkungan.
“Membayar denda Rp191 miliar itu tidak uang sedikit, tentu akan memengaruhi keuangan korporasi dan akan berdampak pada bagimana mereka akan membayar pada lembaga yang mendanainya, pasti akan berisiko.”
TuK belum bisa mengindentifikasi siapa penyandang dana untuk RKK, Makin Group ini.
Perusahaan sawit Gudang Garam sebagai induk RKK juga akan kena dampak.
Edi bilang, aturan pasar global sekarang makin baik, hingga mereka akan seleksi ketat dalam menerima atau tidak produk perusahaan.
“Ini jadi pelajaran bagi lembaga jasa keuangan dan korporasi untuk lebih serius pada prinsip-prinsip keberlanjutan.”
Edi mengatakan, nilai yang diterima negara dari perusahaan pemegang izin tak sebanding dengan risiko yang dihadapi. Pada 2015, kerugian negara dampak karhutla mencapai Rp200 triliun lebih, pada 2019 sekitar Rp75 triliun.
“Ini bisnis proses yang salah, rugi kita melanjutkan bisnis seperti itu. Negera harus me-review itu.”
Persoalan lingkungan hidup, katanya, sebagai kejahatan luar biasa. Banyak perusahaan kena segel KLHK, seharusnya masuk daftar hitam hingga tak perlu dibiayai lembaga jasa keuangan manapun.
Edi sarankan, saat ini masa tepat bagi KLHK dan pemerintah melihat, ada masalah dan perlu lakukan evaluasi. KLHK, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun penegak hukum lain juga harus saling bersinergi untuk mengembalikan uang negara.
“Beberapa perusahaan yang diputuskan pengadilan tidak dieksekusi, padahal nilai ganti rugi sangat besar, mencapai triliunan rupiah.”
TuK mendorong, Gubernur Jambi yang baru berani evaluasi menyeluruh perusahaan-perusahaan yang terbukti melanggar hukum, dan memikirkan usaha lebih berkelanjutan.
Liputan ini didukung The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) dalam program Fellowship Jurnalis Lingkungan “Build Back Better, Karhutla dan Penegakan Hukum”.
******
Foto utama: KLHK segel konsesi perusahaan terbakar di Muara Jambi, pada 2019. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia