- Gempa Bantul, Yogyakarta, sudah 15 tahun berlalu. Jatmiko Setiawan, Ketua Jurusan Teknik Geologi Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta mengatakan, gempa 2006, didahului aktifnya gunung api yang jadi pengganjal tumbukan hingga terjadi percepatan gerak lempeng yang menyodok Jawa. Gaya lalu lewati patahan-patahan, terjadilah gempa dangkal di bawah Bantul, yang membuat goncangan hebat.
- Laporan Bappenas bersama Pemerintah Jawa Tengah dan Yogyakarta, serta mitra internasional menyebut korban jiwa saat gempa Bantul pada 2006 , mencapai 5.700 orang, luka-luka 70.000 orang. Sekitar 154.000 rumah hancur, 260.000 rumah rusak parah, kerugian mencapai Rp29,1 triliun.
- Saat gempa Bantul, pengetahuan masyarakat soal gempa memang masih minim. Meskipun begitu, berkat kekompakan semua tingkat hingga seluruh elemen sosial bergerak bersama memulihkan kerusakan dampak gempa. Proses pemulihan terbilang cepat, tercatat hanya sekitar dua tahun.
- Lilik Kurniawan, Sekretaris Utama BNPB mengusulkan, bangun tempat edukasi bencana gempa bumi. Tujuannya agar generasi muda belajar tentang kegempaan, sekaligus meningkatkan kewaspadaan bencana yang bisa datang sewaktu-waktu.
Wartiyem sambil menggendong cucunya mendekat ke tugu peringatan gempa bumi di Dusun Potrobayan, Desa Srihardono, Kecamatan Pundong, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Beberapa wartawan foto mengabadikan momen itu. Di depannya terletak prasasti bertanggal 27 Mei 2016 ditandatangani Kepala BNPB Willem Rakpangilei.
“Tugu prasasti ini merupakan pusat episentrum gempa bumi, 27 Mei 2006. Tugu ini sebagai saksi sejarah untuk selalu diingat bahwa pada 27 Mei 2006, pukul 05.59 WIB, terjadi gempa bumi dengan kekuatan 5,9 SR, hanya 59 detik, namun menyebabkan kerusakan dan korban jiwa sangat banyak.” Begitu antara lain tulisan pada prasasti itu.
Laporan Bappenas bersama Pemerintah Jawa Tengah dan Yogyakarta, serta mitra internasional menyebut, korban jiwa karena gempa mencapai 5.700 orang, luka-luka 70.000 orang. Sekitar 154.000 rumah hancur, 260.000 rumah rusak parah, kerugian mencapai Rp29,1 triliun.
Pusat gempa tektonik ini tercatat hanya di kedalaman 33 kilometer dan disebut gempa dangkal. Hentakan dari dalam tanah yang kuat dan berlangsung lama menimbulkan kerusakan luar biasa di wilayah Bantul, termasuk Dusun Potrobayan di pinggir Sungai Opak.
Wartiyem mencoba mengingat kembali gempa bumi 15 tahun lalu yang meluluhlantakkan rumahnya. Begitu pun puluhan rumah tetangganya di Dusun Potrobayan.
“Waktu itu, saya sedang masak, dengar gemuruh saya lalu mencari anak saya paling kecil di kamar. Kemudian saya tertimbun tembok. Orang-orang mencari saya, tembok sempat diinjak-injak orang-orang itu. Alhamdulillah, anak-anak semua selamat. Suami selamat,” kenangnya.
Seperti juga tetangganya, usai gempa dia terpaksa tidur di tenda, mandi pun di sungai karena sumur tidak berfungsi.
Sekitar enam bulan memperbaiki rumah sampai kembali berdiri dan bisa ditinggali. Dia sempat rasakan trauma selama seminggu karena masih muncul gempa susulan meski dalam skala lebih kecil.
Lain lagi tetangga Wartiyem, yang memperkenalkan diri sebagai istri Joyo Sumarno. Dia cerita, saat gempa tubuhnya terpental. Saat itu, dia di dalam rumah dan tertimbun reruntuhan.
“Saya ketutup puing-puing bata. Bergerak tidak bisa. Teriak-teriak minta tolong tidak ada yang menolong. Perlahan-lahan lalu saya singkirkan bata. Saat berhasil keluar muka sudah penuh darah. Lalu saya dibawa ke rumah sakit, namun tidak diapa-apakan saking banyaknya pasien. Saya lalu minta pulang,” katanya.
Baca juga : Begini Mitigasi Gempa dan Tsunami di Malang
Tumbukan lempeng
Jatmiko Setiawan, Ketua Jurusan Teknik Geologi Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta menjelaskan, mengapa tempat itu sebagai episentrum gempa. Gempa Bantul juga sering disebut Gempa Yogyakarta, tergolong istimewa karena merupakan gempa dangkal. Dia menyebut, titik episentrum gempa bahkan ada di kedalaman 10 kilometer, yang dilalui patahan Opak.
“Karena lempeng Indoaustralia yang menumbuk Jawa waktu itu 2006 menumbuk Bantul. Saat tumbukan refleksi gaya itu disalurkan lewat patahan besar, namanya patahan Opak. Lokasinya di sebelah sini,” katanya kepada Mongabay, usai Refleksi 15 Tahun Gempa Bantul, di Tugu Peringatan Gempa Bantul, beberapa waktu lalu.
Pulau Jawa, katanya, pada 90 juta tahun lalu baru berupa tempelan pecahan Australia di bagian timur dan pecahan Eurasia di bagian barat. Tempat tempelan ada di Karangsambung-Karangbolong, Kebumen, yang ditetapkan sebagai geopark nasional.
“Ada batuan 6.000 meter di bawah laut sudah tergencet dua benua. Kemudian batuan-batuan lantai samudera ini sekarang sudah menjadi pegunungan yang namanya melange dan ofiolit.”
Fase berikutnya, arah tumbukan yang semula berjajar dari tengah Jawa sampai Kalimantan Selatan, berubah ke selatan Jawa hingga sekarang. Sementara patahan naik menyambung mulai dari India yang menumbuk Euroasia membentuk pegunungan Himalaya yang menjadi pegunungan paling tinggi, terus menumbuk Myanmar, Sumatera, hingga Papua. Karena tumbukan sangat besar maka disebut megathrust.
“Gunung api aktif Jawa itu dulu di 33 juta sampai 15 juta tahun lalu tumbuh di bagian selatan Jawa. Kalau diurut mulai dari bagian timur di sana ada bekas gunung api namanya Gunung Batur di selatan Wonosari. Kemudian diurut ke barat ada gunung api purba Nglanggeran, sampai ke Imogiri Mangunan,” kata Jatmiko.
Matinya gunung aktif di selatan Jawa diikuti proses tumbuhnya gunung api aktif di tengah Jawa, mulai Krakatau hingga Gunung Ijen. Setidaknya ada 22 gunung aktif di tengah Jawa.
“Sodokan aktif itu memecah Yogyakarta jadi dua patahan besar, yaitu patahan Opak, sungai ada di sebelah timur. Patahan Kulon Progo, Sungai Progo adalah bukti patahan besar. Saat terjadi dua patahan besar ini, Yogyakarta direndahkan. Kota ini terus bergerak, turun ke arah selatan. Batas paling timur Kota Yogyakarta.”
Gempa 2006, katanya, didahului aktifnya gunung api yang jadi pengganjal tumbukan hingga terjadi percepatan gerak lempeng yang menyodok Jawa. Gaya lalu lewati patahan-patahan, terjadilah gempa dangkal di bawah Bantul, yang membuat goncangan hebat.
“Dampak gempa makin terasa karena gempa berlangsung hampir satu menit. Gempa-gempa sebelumnya mungkin hanya tiga, empat, atau lima detik.”
Baca juga: Bersiap Segera Antisipasi Kemungkinan Tsunami di Pantai Selatan Jawa
Belajar dari Bantul
Dwi Daryanto, Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bantul mengatakan, gempa Bantul bukan hanya menimbulkan kerugian harta, benda, dan nyawa, juga mengubah tatanan kehidupan dan sosial.
“Jadi titik balik bangkitnya kesadaran masyarakat bahwa kita hidup di daerah rawan bencana, kapan saja bisa terjadi lagi ancaman bencana,” katanya.
Saat gempa Bantul, pengetahuan masyarakat soal gempa memang masih minim. Meskipun begitu, berkat kekompakan semua tingkat hingga seluruh elemen sosial bergerak bersama memulihkan kerusakan dampak gempa. Proses pemulihan terbilang cepat, tercatat hanya sekitar dua tahun.
“Belum ada yang menandingi pemulihan bencana lebih cepat dari Bantul. Kearifan lokal masyarakat yang mendorong percepatan pemulihan harus terus dirawat dan diingat untuk generasi penerus,” katanya.
Kearifan lokal ini dikenal dengan nama 5G, yaitu guyub, rukun, golong gilig, gotong royong, greget, dan gumregah gumregut.
Idham Samawi, anggota MPR– Bupati Bantul saat gempa terjadi—mengisahkan daya rusak gempa saat itu. Kala itu, dia sedang memberi makan ayam di halaman belakang rumah dinas.
“Saya jalan masuk ke rumah sampai sempoyongan. Kolam ikan separuh air terlontar keluar beserta ikannya. Lukisan hancur, tembok retak. Rumah dinas kokoh saja begitu, bagaimana dengan rumah rakyat?”
Selang beberapa saat di jalan banyak warga membawa korban gempa dengan berbagai kendaraan termasuk gerobak menuju RSUD Panembahan Senopati, Bantul.
“Gempa sekitar jam enam pagi, jam tujuh kurang seperempat saya meninjau ke RSUD Panembahan Senopati. Sudah tidak cukup tempat. Selasar, kamar jenazah, dipakai untuk merawat korban. Bahkan korban ditempatkan di tempat parkir tanpa alas.”
Kisah itu diamini Joko Purnomo, kini wakil Bupati Bantul– saat itu Ketua DPRD— mendampingi Idham Samawi menjenguk korban gempa di rumah sakit.
Saat sama, dia mendapat laporan ada isu tsunami di pantai selatan yang membuat warga berupaya menghindar dengan bergerak ke utara. Meski isu itu tidak benar, makin menambah kepanikan warga.
Banyak pihak memuji cepatnya pemulihan bencana gempa di Bantul terutama rekonstruksi rumah, bangunan, dan sarana umum lain.
Idham berbagi kiat. Saat pemerintah pusat memutuskan memberi bantuan Rp15 juta untuk rumah rusak berat, Rp4 juta untuk rusak sedang, dan Rp1 juta untuk rusak ringan. Guna memaksimalkan dana terbatas itu, agar dana yang terbatas itu bisa dimanfaatkan secara maksimal maka dibuatlah kelompok masyarakat (pokmas).
Dia bilang, setiap pokmas beranggotakan 10-15 keluarga. Pokmas memutuskan yang lebih dulu menerima bantuan 40% pada termin pertama. Selang dua tahun, banyak mendapat pertanyaan wartawan bagaimana bisa menyelesaikan dampak gempa dengan cepat.
“Saya sampaikan itu karena gotong royong. Saya jelaskan, tentang pokmas. Dari 15 anggota kelompok, yang dapat enam keluarga, sembilan keluarga lain kerja tanpa dibayar. Bahkan dapat bantuan pekerja dari Magelang, Purworejo, Kebumen. Tiap pagi mereka datang pakai truk. Dua tiga tahun kemudian BPK audit nilai rumah roboh dibangun rata-rata lebih dari Rp37 juta.”
Lilik Kurniawan, Sekretaris Utama BNPB mengusulkan, bangun tempat edukasi bencana gempa bumi. Tujuannya agar generasi muda belajar tentang kegempaan, sekaligus meningkatkan kewaspadaan bencana yang bisa datang sewaktu-waktu.
Dia memuji masyarakat Bantul yang cepat bangkit usai gempa. Kegotong-royongan masyarakat Bantul menginspirasi Pemerintah Indonesia untuk menerapkan nilai-nilai sama dalam pemulihan pascagempa di beberapa daerah. Bahkan, setelah lima tahun sesudah gempa Bantul, atau enam tahun usai tsunami Aceh, pada 2011, Presiden RI kala itu mendapat Global Champion on Disaster Risk Reduction.
Pada pertemuan Menteri Penanggulangan Bencana Asia Pasifik pada 2012, bertema “Memperkuat Kapasitas Lokal dalam Pengurangan Risiko Bencana yang dihadiri 72 negara dihasilkan Deklarasi Yogyakarta. Yaitu, perjanjian internasional tentang pengurangan risiko bencana, di bawah koordinasi United Nations International Strategy for Disaster Reduction (UNISDR).
Ada tujuh kesepakatan deklarasi Yogyakarta, secara ringkas bisa dinyatakan sebagai berikut, pertama, mengintegrasikan upaya pengurangan risiko bencana dan adaptasi perubahan iklim dalam program pembangunan nasional.
Kedua, kajian risiko finansial di tingkat lokal dengan antara lain memberi dukungan kepada masyarakat lokal untuk mendapatkan dan mengelola bantuan. Ketiga, penguatan tata kelola risiko dan kemitraan di tingkat lokal.
Keempat, membangun ketangguhan masyarakat dengan cara antara lain mempromosikan, mereplikasi dan mengembangkan pengurangan risiko bencana berbasis masyarakat. Kelima, mengidentifikasi hal-hal yang akan dicapai pasca Hyogo Framework for Action 2015.
Keenam, mengurangi faktor-faktor yang berisiko bencana, antara lain pada perencanaan infrastruktur di semua level. Ketujuh, mengimplementasikan isu-isu lintas sektoral dalam Hyogo Framework for Action.
*****
Foto utama: Beberapa mobil ringsek akibat gempa Bantul 2006. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia