- Sebuah kawasan mangrove di Kabupaten Pinrang dibabat habis untuk dialihfungsikan sebagai tambak.
- Pihak Pemerintah Kabupaten Pinrang menyatakan praktik itu sudah berlangsung lama dan tak bisa berbuat apa-apa karena wewenang pengelolaan pesisir ada di pemerintaha provinsi.
- Di kawasan alihfungsi tersebut telah ditanami 300 pohon, yang ditanam sejak 4 Agustus 2019 – 26 Juli 2021, dengan tingkat survival rate/daya hidup sampai 70-80%.
- Aktivis menilai Pemkab Pinrang tak bisa melepas tanggungjawab begitu saja, karena persoalan pesisir bukan sekedar soal kewenangan, apalagi jika sudah terjadi perusakan yang berpotensi merugikan publik, maka pihak kabupaten harus mengambil alih.
Idham Malik tampak gundah ketika memperlihatkan sebuah peta kawasan mangrove yang tergerus habis karena alih fungsi lahan di Dusun Tanroe, Desa Bababinanga, Kecamatan Duampanua, Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan. Melalui aplikasi google earth Ia membandingkan dua peta yang sama namun dari tahun berbeda.
“Sebagian besar mangrove telah ditebang untuk kepentingan tambak, padahal itu adalah kawasan penting untuk dijaga,” katanya, Sabtu (14/8/2021).
Idham yang merupakan aktivis mangrove di Sulsel ini menjelaskan bahwa alihfungsi lahan mangrove menjadi tambak ini meski telah berlangsung lama, namun semakin intensif dalam sebulan terakhir. Berdasarkan hasil survei terakhir yang dilakukan pada 7 Agustus 2021 lalu, saat ini telah terbentuk enam buah tambak baru yang dibuat di kawasan bantaran sungai dan pesisir pantai.
Sebuah kawasan rehabilitasi mangrove yang dikerjakan oleh lembaga WWF-Indonesia dua tahun lalu kini sepenuhnya masuk dalam kawasan tambak salah satu warga. Bahkan terdapat 2-3 meter lebar pematang dengan panjang pematang sekitar 15 meter yang tertimbun, serta terdapat puluhan mangrove yang dicabut menggunakan ekskavator.
Idham menjelaskan bahwa kawasan yang dialihfungsikan tersebut merupakan jalur keluar masuk kapal nelayan, kawasan rehabilitasi mangrove, ekosistem mangrove jenis Api-api (Avicennia sp), dan hutan mangrove hasil kegiatan penanaman komunitas maupun instansi pemerintahan. Sejumlah warga menolak alih fungsi tersebut dengan sejumlah alasan.
“Penolakan dilakukan oleh warga setempat karena luasan tambak yang dibangun tidak sesuai dengan kepemilikannya dan menghalangi jalur kapal dan merusak ekosistem yang dapat berdampak pada pemukiman setempat,” jelas Idham
baca : Pengrusakan Mangrove di Lantebung Makassar, Bukti Lemahnya Penegakan Hukum di Wilayah Pesisir
Berdasarkan data history map lokasi pesisir Dusun Tanroe, diketahui bahwa penebangan mangrove untuk dijadikan tambak sudah berlangsung cukup lama, yaitu berkisar antara 2014-2015. Hal ini diketahui dari peta citra satelit/google earth pada lokasi tersebut.
Menurut Idham, pelaku penebangan mangrove untuk dijadikan tambak ini diperkirakan adalah orang yang sama. Oknum ini melakukan penebangan mangrove untuk dikonversi menjadi tambak, dengan alasan bahwa kawasan tambak tersebut memiliki alas hak dalam bentuk sertifikat.
“Meski begitu, hal-hal seperti ini tidak menggugurkan aturan mengenai sempadan pantai dan sungai, serta mengingat nilai penting daripada ekosistem mangrove demi kehidupan generasi yang akan datang,” jelas Idham.
Menurut Idham, isu pengalihan fungsi mangrove ini kembali mengemuka pada bulan Mei 2021 silam ketika sejumlah pegiat mangrove di Kecamatan Duampanua melakukan pengisian polybag untuk pembibitan mangrove. Ketika kegiatan ini berlangsung mereka didatangi salah seorang warga bernama Bidin mengklaim bahwa kawasan miliknya yang akan dijadikan tambak, dan meminta aktivitas penanaman mangrove diurungkan saja.
Beberapa hari setelahnya para pegiat mangrove ini bertemu kembali dengan Bidin untuk meminta izin penanaman dan menjelaskan alasan pentingnya mangrove menjaga lingkungan sekitar. Bidin ini memberikan izin pembuatan kawasan pembibitan asalkan dibangun di luar pematang miliknya, namun masih merupakan bagian dari lahan miliknya.
Bidin selanjutnya membuat tambak perdana pada 21 Juni 2021 di lahan seluas sekitar 6-7 Ha, di sekitar pesisir pantai dan bantaran sungai. Meski idealnya tambak dibangun dengan jarak minimal 100 meter dari pasang tertinggi namun pembangunan tambak ini dilakukan berbatasan langsung dengan pantai.
baca juga : Tanam Mangrove di Lantebung, Upaya Gojek Hijaukan Makassar
Menghadapi situasi ini, para pegiat mangrove ini kemudian bertemu untuk konsultasi dengan pihak pemerintah daerah, antara lain Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Pinrang dan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Sawitto di Hotel MS Pinrang pada 23 juni 2021.
Pada pertemuan ini, pihak pemerintah mengakui isu alihfungsi ini sudah berlangsung lama dan sulit diselesaikan pemda karena Pemda tidak memiliki kewenangan pengelolaan kawasan pesisir yang telah menjadi wewenang pemerintah provinsi. Pihak Pemda juga mengakui tak bisa menganggarkan kegiatan rehabilitasi di kawasan pesisir karena semua adalah kewenangan provinsi sehingga yang berwenang menindak maupun melakukan program pengelolaan pesisir hanya provinsi, sesuai UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Pinrang, Sudirman, yang dikonfirmasi via telpon terkait hal ini tidak memberi jawaban yang pasti. “Saya lagi sakit, datang ke kantor saja,” katanya ketika dihubungi Mongabay, Rabu (18 Agustus 2021).
Sombo, dari KPH Sawitto yang dikonfirmasi hal ini juga tidak memberikan jawaban yang pasti karena mengakui tidak paham masalah. “Maaf pak, orang yang mengurusi hal ini sedang di lapangan tak bisa dihubungi,” katanya ketika dihubungi Mongabay, Rabu (18 Agustus 2021).
Di tengah upaya advokasi, aktivitas alih fungsi masih terus berlangsung. Bahkan alihfungsi ini dilakukan secara besar-besaran yang membabat habis mangrove jenis Api-api yang tumbuh lebat di kawasan tersebut.
“Pada 26 Juli 2021, puluhan komunitas turun melakukan kegiatan rehabilitasi mangrove di Dusun Tanroe sebagai tandingan. Di lokasi, mereka harus berhadapan dengan unit ekskavator yang sedang melakukan pembuatan 2 buah tambak di sekitar kawasan rehabilitasi mangrove tersebut,” jelas ungkap Syafri, salah seorang pegiat mangrove di Kabupaten Pinrang.
Menurutnya, kegeraman para pegiat mangrove atas alih fungsi ini mengingat mangrove yang ditanam di lokasi tersebut telah mencapai 29.300 pohon, yang ditanam sejak 4 Agustus 2019 – 26 Juli 2021, dengan tingkat survival rate/daya hidup sampai 70-80%. Mangrove yang ditanam di awal-awal itu sudah terlihat besar, ada yang tingginya sudah lebih satu meter, dengan akar yang sudah menancap ke dalam tanah.
“Mangrove yang telah direhabilitasi itu pun terancam akan dihancurkan, mengingat posisi mangrove ini yang sudah berada di dalam pematang tambak yang baru saja dibuat. Padahal penanaman mangrove ini memperoleh izin dari warga setempat, warga Dusun Tanroe, yang juga ikut terlibat dalam penanaman mangrove,” ungkap Syafri.
Selain itu, kata Syafri, adanya ketidakpedulian pada kerawanan atas bencana jika lahan tersebut kehilangan ekosistem mangrove, karena dengan demikian akan dengan mudah mengalami abrasi pantai. Padahal mangrove dapat menjadi penghalang (barrier) dari hantaman ombak/arus kencang.
“Para pelaku perusakan mangrove demi tambak ini yang awalnya berpikir untuk memperoleh ekonomi dalam waktu singkat, jadinya ke depan akan mengalami bencana karena kerusakan mangrove dan ketidakseimbangan alam.”
baca juga : Politik Hukum Pemulihan Gambut dan Mangrove
Menjawab soal kewenangan
Menurut Idham, jawaban yang dilontarkan oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH), Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) maupun KPH Sawitto dalam pertemuan dengan pegiat mangrove lebih mengarah melempar tanggung jawab.
“Persoalan pesisir bukan sekedar soal kewenangan, apalagi jika sudah terjadi perusakan yang berpotensi merugikan publik, maka pihak kabupaten harus mengambil alih,” katanya.
Menurutnya, persoalan lepas tangan kewenangan ini berbeda dengan aturan normatif yang tertuang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Pinrang tahun 2012 – 2023. Dalam dokumen tersebut, dijelaskan bahwa perlindungan ekosistem/tumbuhan mangrove terdapat pada poin Kawasan Perlindungan Setempat, di antaranya kawasan sempadan pantai dan sempadan sungai.
Selain itu, pada RTRW terdapat ketetapan untuk Kawasan Lindung lainnya, dijelaskan pada Pasal 29 (1) Kawasan lindung lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf f, terdiri atas kawasan terumbu karang dan Kawasan hutan mangrove serta tanaman padang lamun.
Dijelaskan Idham, pada Pasal 52 Perda RTRW Pinrang, terdapat pula ketentuan umum peraturan zonasi untuk sempadan pantai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) huruf c terdiri atas: a. Kawasan sempadan pantai ditetapkan 100 meter dari titik pasang tertinggi; b. Dalam kawasan sempadan pantai yang termasuk dalam zona inti wilayah pesisir tidak diperkenankan dilakukan kegiatan budidaya kecuali kegiatan penelitian, bangunan pengendali air, dan sistem peringatan dini (early warning system); c. Dalam kawasan sempadan pantai yang termasuk zona pemanfaatan terbatas dalam wilayah pesisir diperkenankan dilakukan kegiatan budidaya pesisir, ekowisata, dan perikanan tradisional; dan d. Dalam kawasan sempadan pan tai yang termasuk zona lain dalam wilayah pesisir diperkenankan dilakukan kegiatan budidaya sesuai peruntukan kawasan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Melihat aturan ini, tidak ada alasan untuk membiarkan perusakan mangrove terus berlangsung, sebab pembuatan tambak yang baru berlangsung beberapa bulan terakhir ini telah menyalahi aturan sempadan pantai. Belum lagi ada pula oknum yang melakukan penebangan mangrove, baik yang alami, maupun merusak mangrove yang telah dilakukan rehabilitasi mangrove oleh kawan-kawan pemuda Pinrang,” pungkasnya.