- Muda mudi adat di Pegunungan Meratus ikut merayakan HUT RI 76. Berbagai macam lomba mereka adakan. Sisi lain, mereka berada dalam berbagai keterbatasan, seperti infrastruktur jalan buruk, belum ada penerangan. Fasilitas pendidikan sulit. Bahkan, Masyarakat Adat di Pegunungan Meratus, belum mendapatkan pengakuan dan perlndungan dari negara. Bagaimana makna kemerdekaan RI bagi mereka?
- Pada 17 Agustus lalu, puluhan muda mudi menyiapkan diri mengikuti pengibaran bendera merah putih secara perdana di ketinggian 453 mdpl di Puncak Titian Musang (Putimus). Meskipun dengan kondisi serba terbatas, mereka melakukan dengan penuh khidmat.
- Tomy, pemuda berusia 19 tahun mengaku belum merdeka secara menyeluruh terkait kesejahteraan masyarakat adat di Pegunungan Meratus. Sudahlah infrastruktur jalan, penerangan maupun fasilitas dan layanan sekolah masih sulit, pengakuan dan perlindungan dari negara pun belum ada kepada masyarakat adat di Pengunungan Meratus ini.
- Muhammad Reza Fahlipi, Pembina Pokdarwis Datar Bunglai menilai, kondisi masyarakat adat Meratus seperti dianaktirikan pemerintah. Warga di Desa Patikalain, misal, masih jauh dari kata merdeka.
Pada Hari Kemerdekaan Indonesia ke-76, pada 17 Agustus lalu, muda mudi di Pegunungan Meratus, Kampung Papagaran, Desa Patikalain, Kecamatan Hantakan, Hulu Sungai Tengah (HST), Kalimantan Selatan juga ikut merayakan. Berbagai macam lomba mereka adakan. Sisi lain, mereka berada dalam berbagai keterbatasan, seperti infrastruktur jalan buruk, belum ada penerangan. Fasilitas pendidikan sulit. Bahkan, Masyarakat Adat di Pegunungan Meratus, belum mendapatkan pengakuan dan perlndungan dari negara. Bagaimana makna kemerdekaan RI bagi mereka?
Pada 17 Agustus lalu, puluhan muda mudi adat menyiapkan diri mengikuti pengibaran bendera merah putih secara perdana di ketinggian 453 mdpl di Puncak Titian Musang (Putimus). Meskipun dengan kondisi serba terbatas, mereka melakukan dengan penuh khidmat.
Setelah itu bermacam lomba berlangsung. Ada lomba panjat pinang, memecah balon dengan sumpit dan makan kerupuk, diikuti anak-anak Meratus. Dana mereka kumpulkan lewat donasi pertemanan. Pokdarwis Datar Bunglai mengumpulkan uang sekitar Rp500.000 buat hadiah.
Sudahkah merdeka?
Sembari memegang bendera merah putih, terlihat anak-anak muda Meratus tengah berlari dengan penuh ceria. Mereka bersemangat mengayunkan bendera. Mereka pun belum pernah merasakan denyut kemerdekaan itu di atas tanah leluhurnya.
Tomy, pemuda berusia 19 tahun mengaku belum merdeka secara menyeluruh terkait kesejahteraan masyarakat adat di Pegunungan Meratus.
“Pertama, 2,5 kilometer jalan kampung masih belum beraspal dan berbatu. Kedua, belum ada listrik menyentuh desa ini, apalagi terkait pendidikan cukup miris di sini,” katanya.
Tomy kecewa tidak ada perhatian khusus terhadap kondisi masyarakat adat di Kabupaten HST. “Jangankan jalan, rusak. Lampu sebagai penerang di desa ini pun belum masuk.”
Akses pendidikan pun sulit. Anak-anak harus menempuh sekitar 5,5 kilometer jalan kaki dari desa ke sekolah. “Anak-anak mesti melakukannya setiap hari.”
Tak hanya sekolah jauh, seragam sekolah pun anak-anak Meratus di kampung ini tak punya. Tomy bilang, anak-anak ke sekolah memakai sendal dan celana pendek, serta tas punggung itu melewati kaki lereng pegunungan Meratus. “Dari kampung Papagaran menuju Kampung Cabai di SDN 2 Haruyan Dayak, mereka menempuh jalan kaki sekitar 5,5 kilometer.”
Sudahlah infrastruktur jalan, penerangan maupun fasilitas dan layanan sekolah masih sulit, pengakuan dan perlindungan dari negara pun belum ada kepada masyarakat adat di Pengunungan Meratus ini.
“Memang benar Indonesia sudah merdeka pada 17 Agustus 1945 namun bagi masyarakat balai adat Pantai Uang, Desa Patikalain, maupun Dayak Meratus di Kalimantan Selatan, sangat jauh dari kata merdeka,” kata Hadi Irawan, Ketua Persatuan Anak Dayak Meratus (PADN) juga anggota BPH Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalsel.
Masyarakat adat Meratus, katanya, masih dalam kondisi marginal karena belum ada pengakuan dan perlindungan.
“Kami dibedakan dengan kelompok lain, bahkan dengan kelompok marga satwa,” kata pengurus Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Desa Patikalain itu.
Di beberapa daerah di Indonesia, komunitas adat sudah ada yang mendapatkan pengakuan lewat peraturan daerah, surat keputusan bupati maupun penetapan hutan adat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
“Sedangkan kami, tidak diakui dan dilindungi, padahal konstitusi jelas melindungi dan mengakui. Pemerintah telah mencederai konstitusi kemerdekaan itu sendiri.”
Muhammad Reza Fahlipi, Pembina Pokdarwis Datar Bunglai menilai, kondisi masyarakat adat Meratus seperti dianaktirikan pemerintah. Warga di Desa Patikalain, misal, masih jauh dari kata merdeka.
***
Di tengah kondisi sulit masyarakat adat di Pegunungan Meratus ini dengan berbagai keterbatasan, mereka berupaya beraksi agar berdaulat di tanah sendiri.
Sejak Juli, dia bersama Kelompok Sasar Wisata (Pokdarwis) Datar Bunglai membangun wisata Putimus untuk bangun perekonomian.
“Putimus memiliki konsep ekowisata sekaligus destinasi wisata daulat pangan, karena keanekaragaman tumbuhan pangan ada di sini. Ada talas, ubi kayu dan rambat, padi, durian, pampakin, cempedak, jambu, kopi, alpukat, mangga, pisang, jahe, cabe dan tumbuhan lain,” katanya.
Wisata ini, pokdarwis bangun dan kelola swadaya dengan mengedepankan berbagai aspek kearifan adat budaya lokal. “Salah satu kuliner tradisional yang sering disuguhkan di sini nasi humbal lauk bapalan, serta sebagai penghidang lain ubi bapalan,” ucap pemuda asal Pandawan itu.
Dengan ada wisata Putimus, mereka ingin membangun perekonomian swadaya hingga masyarakat adat di Desa Patikalain, memiliki tambahan pemasukan.
“Istilahnya itu meningkatkan taraf perekonomian warga Patikalain, ada penghasilan tambahan. Ku ajari dan populerkan produk-produk pertanian, misal, ubi dengan ragam varietas seperti ubi kayu dan ubi jalar, mulai hulu sampai hilir. Kami ajarkan juga jualan online,” kata Reza.
Dalam upaya meningkatkan ekonomi warga lewat wisata ini, katanya, perlu juga didukung infrastuktur seperti listrik, perbaikan jalur desa ke kota, maupun berhubungan dengan sarana dan prasarana pendidikan yang minim.
Di tengah pandemi, Reza bersama pemuda desa membangun tempat alternatif buat pendidikan bernama Rumah Baanjung. Rumah Baanjung adalah rumah adat campuran Suku Banjar dan Dayak.
“Jadi, ditempat wisata Putimus itu kami bangun rumah Baanjung, yang multifungsi.”
Pada hari Minggu, Reza bersama pemuda lain, memfungsikan rumah Baanjung sebagai rumah pintar bagi anak-anak Meratus demi mendapatkan pelajaran tambahan. “Atau sekadar membaca buku, kami juga sediakan perpustakaan mini.”
*****
Foto utama: Tujuh belasan di Kampung Papagaran, Desa Patikalain, Kecamatan Hantakan, Hulu Sungai Tengah (HST), Kalimantan Selatan . Foto: M Rahim Arza/ Mongabay Indonesia