- UNESCO mendesak Pemerintah Indonesia agar memberikan detail pembangunan jalan di Taman Nasional Lorentz Papua. Salah satu yang menjadi sorotan adalah pohon Nothofagus.
- Di Indonesia, pohon ini memiliki banyak jenis dan hanya berada di Pulau Papua.
- Pohon Nothofagus memiliki peran ekologis yang penting karena sejarah biogeografinya,
- Pohon Nothofagus sering ditebang oleh masyarakat lokal untuk bercocok tanam. Tegakan-tegakan yang tidak terganggu yang berbatasan dengan petak-petak terbuka atau di lokasi yang lebih tinggi digunakan oleh masyarakat lokal untuk berburu dan mengumpulkan kayu, kulit kayu dan buah-buahan.
Badan Khusus PBB yang menangani masalah Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan, UNESCO [United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization], menyoroti Pemerintah Indonesia dalam hal pembangunan infrastruktur di Taman Nasional Lorentz, Papua. Hal ini disebabkan adanya proyek infrastruktur pembangunan Jalan Trans Papua rute Wamena-Habema-Kenyam, yang dikhwatirkan akan berdampak pada habitat dan perlindungan alamnya.
Akibat proyek infrastruktur tersebut, UNESCO mendesak Pemerintah Indonesia agar memberikan detail pembangunan dan peninjauan berbagai proyek yang dituangkan dalam keputusan Komite Warisan Dunia. Dari beberapa poin yang menjadi sorotan UNESCO, salah satunya merujuk pada hasil penelitian mereka yang menunjukkan ada kemungkinan serangan kumbang penggerek kayu hingga menyebabkan pohon Nothofagus terinfeksi dan terjadi kematian pohon tersebut, pada 2019.
Namun tidak banyak yang tahu, seperti apakah pohon Nothofagus yang menjadi sorotan UNESCO di Taman Nasional Lorentz tersebut.
Merujuk pada penelitian yang dilakukan Purwaningsih dan Polowakan [2018], berjudul “Keanekaragaman Jenis dan Sebaran Fagaceae di Indonesia” disebutkan bahwa pohon Nothofagus termasuk dalam famili Fagaceae, yang memiliki 11 jenis, tersebar di tanah Papua. Habitat tumbuh Fagaceae di hutan alami, tetapi ada beberapa yang tumbuh di rawa seperti jenis Nothofagus womersleyi.
Baca: Taman Nasional Lorentz, Situs Warisan Dunia yang Terancam Proyek Jalan Trans Papua
Merujuk Wikipedia, Nothofagus disebutkan sebelumnya ditempatkan pada famili Fagaceae, setelah tes genetik oleh Angiosperm Phylogeny Group diungkapkan bahwa mereka berbeda secara genetik. Sekarang dimasukkan dalam famili sendiri, yaitu Nothofagaceae.
Pohon ini memiliki tepi daun bergerigi atau rata, selalu berdaun atau gugur. Sedangkan buahnya berupa kacang kecil, memipih atau segitiga, terbungkus dalam kupula yang terdiri 2-7 kacang.
Kartikasari et al. [2012] dalam buku Ekologi Papua, menjelaskan lebih banyak tentang pohon ini. Menurut penelitian dalam buku ini, Nothofagus memiliki ukuran tajuk bervariasi dari yang tingginya mencapai 30-35 meter, sampai ke perdu yang lebih rendah dari 1 meter, khususnya di habitat yang lebih terbuka pada ketinggian sampai 3.000 meter. Jenis Nothofagus biasanya dominan di hutan Papua yang ada di pegunungan tengah pada ketinggian antara 1.500 dan 2.800 meter.
“Nothofagus memiliki peran ekologis yang penting karena sejarah biogeografinya,” demikian ditulis dalam buku tersebut.
Penelitian itu menjelaskan, selama masa glasial atau lapisan besar es, Nothofagus berada pada sekitar dua pertiga dari ketinggian yang ada sekarang. Namun karena iklim menghangat, persebarannya berangsur ke lokasi yang lebih tinggi dan hutan Nothofagus yang sangat luas kemudian dikoloni oleh marga lain yang sekarang menghuni hutan pegunungan tengah Papua. Perpindahan Nothofagus umumnya berlangsung lebih cepat melalui biji dari pada pertumbuhan tunas.
Pada ketinggian lebih dari 2.000 meter, komposisi hutan yang ditumbuhi Nothofagus umumnya mirip hutan yang berbatasan tanpa Nothofagus. Di lokasi yang lebih rendah, hutan di punggung bukit dengan Nothofagus juga mencakup jenis dan marga di batas-batas bawah kisaran ketinggiannya, seperti Castanopsis acuminatissima atau Lithocarpus, tetapi di lokasi-lokasi yang diteliti di wilayah Papua Nugini, jenis Nothofagus selalu menempati punggung-punggung bukit.
Baca: The Last Glacier, Runtuhnya Salju Abadi Papua
Ditebang
Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa hutan Nothofagus sering ditebang oleh masyarakat lokal untuk bercocok tanam. Tegakan-tegakan yang tidak terganggu, yang berbatasan dengan petak-petak terbuka atau di lokasi yang lebih tinggi, digunakan oleh masyarakat lokal untuk berburu dan mengumpulkan kayu, kulit kayu dan buah-buahan.
“Anakan Nothofagus kadang ditanam di dekat desa. Kayunya memiliki tekstur keras dan cukup kuat sehingga masyarakat lokal memanfaatkannya untuk membangun rumah, berbagai perkakas dan alat-alat kebutuhan rumah tangga lainnya, serta untuk bahan bakar.”
Dijelaskan lagi, dampak pembalakan hutan pada Nothofagus bergantung pada beberapa faktor. Sebut saja, jumlah dan proporsi jenis berbeda yang tetap ada setelah proses pembalakan, gangguan lantai hutan, ketersediaan benih dan tunas, serta kegiatan setelah proses pembalakan seperti budidaya pertanian dan pembakaran lahan.
Jika gangguannya tidak terlalu berat maka hutan sekunder dan hutan yang dibalak kadang masih memiliki Nothofagus. Namun, jika tingkat kerusakannya parah, maka padang rumput dan hutan sekunder akan berkembang. Meski demikian, kecenderungan penyempitan luas hutan Nothofagus sekarang terjadi karena konversi ke penggunaan lahan lainnya.
Secara rinci lagi disebutkan berbagai jenis pohon Nothofagus yang bervariasi menurut ketinggian di Papua: N. flaviramea, N. starkenborghii, N. rubra, N. carri dan N. crenata tumbuh di bawah ketinggian 900 meter. Sedangkan N. brassii, N. perryi dan N. Grandis banyak terdapat di atas ketinggian 1.500-2.500 meter, dan N. pullei sampai di atas 2.800 m.
“Di lokasi manapun, jarang ada hutan campuran yang memiliki dua atau tiga jenis Nothofagus,” ungkap peneliti.
Pohon Nothofagus umumnya berasosiasi dengan curah hujan tinggi dan kondisi berawan terus-menerus, yang mengurangi penetrasi cahaya sampai 70 persen. Dalam kondisi sangat berawan dan lembab, cahaya yang hanya sedikit membatasi pertumbuhan pohon. Nothofagus mencapai ketinggian maksimum 3.100 m.
Selain itu, Nothofagus memerlukan pasokan air teratur dari tanah beraerasi baik dan umumnya tidak ada di lokasi yang selalu kekurangan air. Daun-daun Nothofagus mengeluarkan air relatif lambat dibandingkan jenis lain di zona pegunungan tengah Papua yang mengindikasikan ketahanan terhadap kekurangan air.