Mongabay.co.id

Indonesia dan Laporan Penilaian Keenam IPCC, Bagaimana Harusnya Kita Berubah?

“…the Working Group’s report was nothing

less than a code red for humanity.

The alarm bells are deafening,

and the evidence is irrefutable.

(Antonio Guterres, Sekretaris Jenderal PBB)

 

 

“Code Red for Humanity”

Hanya beberapa hari sebelum Laporan Penilaian Keenam dari Kelompok Kerja I Panel Antar-Pemerintah tentang Perubahan Iklim (The Intergovernmental Panel on Climate Change Working Group I Sixth Assessment Report/AR6 Group 1 IPCC) berita utama terkait cuaca ekstrem benar-benar memberikan gambaran mengerikan. Amerika Serikat mengalami suhu yang ekstrem hingga kebakaran yang besar. Banjir yang sangat parah terjadi di Jerman, Belanda dan Belgia. Sementara, ratusan orang tewas dalam banjir bandang di Tiongkok. Kalau waktunya ditarik lebih jauh lagi, kekeringan dan banjir di lebih banyak tempat di seluruh dunia bisa disebutkan.

Itu semua adalah gambaran bencana terkait cuaca ekstrem yang terjadi ketika dunia mengalami pemanasan rata-rata hanya 1,1 derajat Celsius di atas tingkat pra-Revolusi Industri. Laporan IPCC itu bilang bahwa apa yang sedang kita saksikan ini hanyalah ‘icip-icip’ dari apa yang akan datang beberapa tahun ke depan. Beragam bencana itu bakal lebih kerap dan lebih dahsyat lagi kalau umat manusia tak bisa mengerem kenaikan suhu.

Menurut laporan tersebut, kita sekarang sedang berada di jalur untuk mencapai pemanasan 1,5 derajat Celsius dalam dua dekade mendatang. Padahal, target kenaikan suhu tersebut, agar umat manusia relatif aman seharusnya terjadi di tahun 2100. Dalam skenario yang ditunjukkan oleh IPCC, ada lebih dari 50% peluang bahwa target 1,5 derajat Celsius tercapai atau dilewati antara tahun 2021 dan 2040—dengan perkiraan terbaik akan terjadi pada awal 2030-an. Itu bukanlah skenario emisi tertinggi. Pada skenario emisi tertinggi, dunia bakal mencapai ambang batas itu antara tahun 2018 dan 2037, dan di tahun 2100 Bumi akan memanas 3,3 hingga 5,7 derajat Celsius.

Sangat penting untuk ditekankan bahwa IPCC juga mencatat bahwa sistem iklim tidak akan segera merespon penghilangan emisi, lantaran gas rumah kaca bisa berada di atmosfer dalam jangka waktu yang lama. Beberapa dampak, seperti kenaikan permukaan laut, tidak akan dapat dipulihkan hingga beberapa abad setelah emisi turun.

baca : Tumpukan Pekerjaan Rumah untuk Hindari Bencana Iklim

 

Saat kita menyaksikan planet kita berubah di sekitar kita.. Sumber : Alissa Singer via IPCC

 

Padahal, dampak yang sudah kita lihat hingga saat ini belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah. Dampak ini juga mempengaruhi setiap wilayah di dunia tanpa terkecuali. Laporan setebal hampir 4.000 halaman itu menunjukkan bahwa tidak ada wilayah yang tidak tersentuh oleh dampak perubahan iklim. Afrika Selatan, Mediterania, Amazon, Amerika Serikat bagian barat, dan Australia akan mengalami peningkatan kekeringan dan kebakaran, yang akan terus memengaruhi mata pencaharian, pertanian, sistem air, dan ekosistem. Perubahan salju, es, dan banjir sungai diproyeksikan berdampak pada infrastruktur, transportasi, produksi energi, dan pariwisata di Amerika Utara, Kutub Utara, Eropa, Andes, dan banyak lagi. Badai kemungkinan akan menjadi lebih intens di sebagian besar Amerika Utara, Eropa, dan Mediterania.

Bagaimana dengan Asia Tenggara, kawasan kita tinggal? Laporan tersebut memprediksikan konsekuensi yang sangat mencolok bagi Asia Tenggara. Di situ disebutkan bahwa Asia Tenggara adalah salah satu kawasan paling rentan di planet ini terhadap perubahan iklim. Wilayah kepulauan ini akan mengalami kenaikan permukaan air laut, gelombang panas, kekeringan, dan serangan hujan yang lebih intens dan sering. Kita juga akan ‘dihadiahi’ bom hujan, yaitu hujan ekstra-lebat yang akan meningkat seiring dengan peningkatan suhu.

Asia Tenggara sesungguhnya diproyeksikan memanas sedikit lebih rendah dari rata-rata global. Namun, permukaan laut naik lebih cepat di wilayah ini dibandingkan di tempat lain. Garis pantai bakal terus mundur di daerah pesisir, dan akan berpengaruh pada sekitar 450 juta orang yang tinggal di sana. Air yang naik diproyeksikan menyebabkan kerusakan bernilai miliaran dolar di kota-kota besar Asia pada dekade ini saja. Dan dampak tersebut bakal diperkuat oleh pergeseran tektonik dan efek surutnya air tanah.

Laporan IPCC juga memberikan gambaran detail soal konsekuensi dari pemanasan dunia mulai dari 1,5 hingga 4 derajat Celsius. Kita diberi tahu soal konsekuensi intensitas dan frekuensi curah hujan ekstrem, tingkat keparahan kekeringan dan gelombang panas, serta hilangnya es dan salju. Banyak di antara konsekuensi itu yang tidak dapat dibalik setidaknya dalam jangka waktu yang sangat lama, seperti mencairnya lapisan es, naiknya permukaan laut, hilangnya beragam spesies hewan dan tumbuhan, dan lautan yang menjadi lebih asam. Seluruh dampak negatif itu diketahui akan terus meningkat dan bertambah seiring dengan meningkatnya emisi.

Kalau selama ini daratan dan lautan kita menjadi penyerap karbon yang sangat besar jasanya, kini jasa tersebut berada dalam risiko yang sangat besar. Saat ini daratan dan lautan kita menyerap lebih dari separuh emisi karbon dioksida yang dikeluarkan dunia, tetapi mereka menjadi kurang efektif dalam menyerapnya seiring dengan terus meningkatnya emisi. Tanah yang tenggelam akan menjadi sumber emisi, demikian juga dengan hutan yang mengalami deforestasi. Beberapa bagian hutan Amazon kini diperkirakan sudah lebih menjadi sumber emisi, alih-alih penyerapnya.

baca juga : Indonesia dan Wacana Netral Karbon

 

Garis api bergerak melalui kawasan hutan yang terdegradasi di kawasan hutan di Porto Velho, Rondônia pada 29 Juli 2021. Foto : Christian Braga / Greenpeace

 

Kebutuhan Perubahan Transformasional

Dibandingkan dengan Laporan PeniIaian Kelima (AR5) IPCC yang terbit di tahun 2014 lalu, yang jelas terbaca adalah bahwa sainsnya semakin canggih dan jelas. Keyakinan atas skenario dampak semakin kuat. Tetapi itu juga berarti isi laporan yang makin mengkhawatirkan. Laporan yang terbit tanggal 9 Agustus ini jelas lebih suram. Kalau ada pesan ringkas yang bisa dinyatakan, mungkin bunyinya adalah bahwa umat manusia sedang berada pada dekade terakhir yang memungkinkan kita membatasi kenaikan suhu hingga 1,5 derajat Celsius di akhir abad. Jika kita secara kolektif gagal mengekang emisi pada dekade ini, lalu gagal mencapai emisi nol bersih pada pertengahan abad, maka target pembatasan kenaikan suhu itu tidak lagi bisa terjangkau. Dampak yang bakal dihadapi oleh generasi mendatang akan membuat cuaca yang disebut ekstrem hari ini sebagai gambaran hari yang indah.

Kabar baiknya, membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat Celsius pada akhir abad ini masih dalam jangkauan. Tetapi itu membutuhkan perubahan transformasional. Hanya jika dunia mengambil tindakan yang sangat ambisius untuk mengekang emisi mulai dekade ini saja, kita masih dapat membatasi pemanasan target aman yang dinyatakan di Persetujuan Paris itu. Skenario untuk mencapainya kondisi tersebut adalah potensi kenaikan 1,6 derajat Celsius antara 2041 dan 2060, lalu secara perlahan turun di bawah 1,5 derajat C pada akhir abad ini.

Untuk dapat mencapainya, upaya skala kecil tidak akan cukup. Umat manusia membutuhkan perubahan dalam skala besar dan cepat. Kalau kita ingin membatasi pemanasan hingga 1,5 derajat Celsius, dunia cuma punya jatah 400 gigaton karbon dioksida (GtCO2) lagi. Dengan tingkat emisi global mutakhir yang 36,4 GtCO2 per tahun, jatah tersebut bakal habis dalam 10 tahun saja.

Jelas sekali, kita tak bisa terus hidup dengan cara seperti sekarang, yang bakal menghabiskan jatah karbon pada waktu yang sangat singkat itu. Sepuluh tahun adalah waktu yang tersisa bagi generasi mendatang untuk bisa menolong generasi mendatang untuk hidup ‘normal’. Kita harus mendefinisikan kembali cara kita menghasilkan dan menggunakan energi, membuat dan mengonsumsi barang dan jasa, dan mengelola tanah dan air kita. Membatasi dampak yang berbahaya dari perubahan iklim memang mengharuskan dunia untuk mencapai emisi net-zero di pertengahan abad ini.

Oleh karena itu, semua pakar sepakat, sekaranglah saatnya pemerintah, bisnis, dan investor untuk meningkatkan tindakan mereka agar benar-benar sepadan dengan skala krisis yang sedang kita hadapi. COP26 di Glasgow menjadi sangat penting bagi seluruh pihak itu untuk mengedepankan target pengurangan emisi 2030 yang lebih kuat lagi, dan berkomitmen untuk mencapai emisi nol bersih pada pertengahan abad, atau bahkan bisa lebih cepat lagi, sebagaimana yang ditekankan pada temuan laporan IPCC mutakhir. Masyarakat sipil harus benar-benar menekan pemerintah, bisnis dan investor untuk patuh pada peringatan sains yang sudah sedemikian jelas itu.

perlu dibaca : Demi Aksi Iklim, Jokowi Perlu Perintahkan Swasta untuk Potong Karbon

 

Tim Pemadam Api memadamkan kebakaran di Giam Siak Kecil pada awal Maret 2021. Foto : BKSDA Riau

 

Sikap Indonesia

Berefleksi pada kebutuhan itu, apa yang dilakukan oleh negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia sangatlah penting. Hingga sekarang, walau negara-negara Asia Tenggara diproyeksikan bakal menjadi salah satu wilayah dampak paling parah dari perubahan iklim, sebagian besar negara-negara di kawasan ini belum memiliki strategi pengurangan karbon yang secara efektif akan mengurangi keparahan risiko iklim yang ditegaskan oleh laporan IPCC

Indonesia berencana untuk mencapai emisi nol bersih pada tahun 2060, satu dekade dari waktu yang disarankan sains. Target penurunan emisinya di tahun 2030 tidak ditingkatkan sama sekali, dan benar-benar lembek sikapnya atas energi batubara yang sangat dominan di bauran energinya. Negara tetangga, Malaysia, telah mengatakan akan mengurangi emisi sebesar 45 persen pada tahun 2030, tetapi pada saat yang sama berencana untuk meningkatkan penggunaan tenaga batu bara. Thailand, Vietnam dan Filipina berencana untuk menetapkan target emisi nol bersih menjelang COP26 nanti.

Merujuk pada laporan Swiss Re Institute, Indonesia berada pada dasar daftar 48 negara yang diteliti. Negara-negara Asia Tenggara lainnya memang barada pada kondisi yang buruk, namun Indonesia lah yang diskenariokan bakal menerima dampak terburuk. Singapura ada di peringkat 39, Thailand 44, Filipina 46, dan Malaysia 47. Menurut laporan yang sama, seandainya target Persetujuan Paris bisa tercapai sekalipun, Indonesia akan kehilangan 5% dari GDP-nya di tahun 2050. Sementara, bila skenario business as usual yang berlaku, di tahun tersebut Indonesia bakal kehilangan 40%. Jadi, jelas Indonesia punya kepentingan luar biasa besar agar dunia mencapai target Persetujuan Paris itu.

Tetapi akankah Indonesia mengambil sikap yang benar-benar progresif di COP26? Sampai sekarang pertanda itu belum ada. Dokumen Updated NDC yang diserahkan kepada UNFCCC pada bulan Juli lalu tidak ditandai dengan peningkatan komitmen. Dokumen itu masih membuat Indonesia berada di kategori Highly Insufficient, menurut Climate Action Tracker. Dokumen Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience 2050 menjanjikan target pencapaian emisi nol bersih di tahun 2060, yang tidak kompatibel dengan Persetujuan Paris. Memang di situ ada kalimat bersayap, bisa lebih cepat dicapai dengan bantuan internasional, tanpa skenario jelas kapan dan bagaimana itu bisa dicapai, dan bantuan internasional dalam bentuk apa dan berapa banyak yang dibutuhkan.

Dalam laporan Bloomberg NEF yang terbit di bulan yang sama, Climate Policy Factbook: Three Priority Areas for Climate Action, Indonesia digambarkan sebagai negara yang arah kebijakannya salah arah dalam ketiga area prioritas, yaitu dukungan terhadap energi fosil, harga karbon, dan keterbukaan atas risiko iklim. Di antara negara-negara G20, Indonesia menempati tempat ‘terhormat’ itu hanya bersama Rusia.

baca juga : Konsekuensi Ekonomi dari Strategi Net Zero Emission Indonesia

 

Pembangkit listrik tenaga batubara Suralaya di Cilegon city, Banten, Indonesia. Foto : Ulet Ifansati/Greenpeace

 

Pertanda yang lebih buruk malah jelas ada—dan itu datang dari dunia usaha. Ketika perusahaan-perusahaan progresif di seluruh dunia mendukung dekarbonisasi dengan berapa alatnya, termasuk pengenaan pajak karbon, di sini asosiasi perusahaan beramai-ramai menolak pengenaan pajak karbon. Padahal, nilai yang diajukan Kementerian Keuangan adalah salah satu yang paling rendah di dunia, apalagi dibandingkan dengan nilai kerusakan yang benar-benar ditimbulkan oleh emisi gas rumah kaca. Dalih mereka adalah kondisi ekonomi sekarang yang sedang lesu dihajar COVID-19 dan membutuhkan berbagai insentif untuk bangkit. Tetapi, mereka juga tak mengajukan dengan tegas kapan dan berapa besar pajak karbon yang mereka setujui untuk menyelamatkan generasi muda dan mendatang Indonesia.

Pengutamaan keuntungan bagi pemilik modal, dominasi kepentingan jangka pendek, dan eksternalisasi biaya—tiga ciri kapitalisme purba—agaknya mewarnai sikap para pengusaha itu. Kalau hal-hal itu tetap dibiarkan oleh pemangku kepentingan lainnya, bukan cuma soal pajak karbon, posisi Indonesia di COP26, dan ekonomi jangka panjang Indonesia yang berada dalam bahaya, melainkan juga kehidupan seluruh generasi mendatang.

Hingga sekarang, belum ada perusahaan yang menyatakan secara terbuka berbeda pandangan dalam soal pajak karbon. Belum juga ada perusahaan yang secara jelas menunjukkan kepemimpinan iklim yang benar-benar sesuai dengan tuntunan sains. Dengan urgensi seperti yang digambarkan dalam laporan IPCC, sudah saatnya sikap tegas ditunjukkan kepada perusahaan—dan siapapun—yang menyangkal dan/atau menunda kebutuhan tindakan yang sesuai dengan skala dan kecepatan yang dibutuhkan untuk membatasi dampak perubahan iklim. Indonesia juga perlu membangun peta jalan penanganan perubahan iklim yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan penyelamatan generasi mendatang—bukan yang apologetik dan/atau sekadar memberi ilusi ambisi.

 

****

 

*Jalal, Reader on Corporate Governance and Political Ecology Thamrin School of Climate Change and Sustainability. Artikel ini merupakan opini penulis

 

Exit mobile version