Indonesia sudah berusia 76 tahun. Dalam usia itu, masyarakat adat masih mengalami kesulitan dan keterbatasan dalam menjaga, mengelola dan mendapatkan hutan adat dan tanah ulayat mereka. Saat ini, sebagian besar wilayah adat jadi hutan negara, izin kehutanan, perkebunan, tambang, infrastruktur, kawasan wisata maupun investasi lain berbasis lahan.
Untuk mengembalikan hutan dan tanah ulayat, masyarakat adat perlu menempuh jalan terjal menembus peraturan perundangan sektoral yang ada saat ini, mulai proses pengakuan dari pemerintah daerah, dan menghadapi proses pengakuan hutan adat di Kementerian Lingkungan Hutan dan Kehutanan (KLHK). Juga tanah ulayat di Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).
Karena itu, sejak rezim Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono hingga Joko Widodo advokasi RUU Masyarakat Adat terus dilakukan kelompok masyarakat sipil. Tujuannya, untuk memperkuat pengakuan dan perlindungan masyarakat adat lebih mudah, murah dan tepat.
Pengakuan masyarakat adat
Hingga Agustus 2021, RUU Masyarakat Adat masih mengalami kebuntuan proses. Dalam dialog Koalisi Masyarakat Sipil Kawal RUU MA dengan seorang Wakil Ketua DPR dan anggota Badan Legislasi DPR, menyatakan, naskah berada di meja Pimpinan DPR. Perlu dukungan para Pimpinan DPR untuk pembahasan RUU Masyarakat Adat dalam sidang pleno dan ditetapkan jadi RUU inisiatif DPR.
Dengan demikian, proses akan bergulir untuk pembahasan oleh pemerintah melalui penyusunan daftar isian masalah (DIM) yang akan dibahas bersama DPR. Jadi, masih panjang perjalanan RUU Masyarakat Adat untuk sampai pengesahan. Tak hanya itu, secara substansial RUU Masyarakat Adat versi DPR saat ini masih banyak kritik dari masyarakat sipil dan akademisi.
Baca juga: Berawal Konflik Lahan, Berujung Jerat Hukum Orang Kinipan
Guna menempuh proses pengakuan masyarakat adat melalui kebijakan daerah jadi satu pilihan saat ini. Memang, langkah ini menuai kritik karena masyarakat adat masuk dalam jebakan regulasi sektoral dan sarat kepentingan politik daerah dan pusat. Kalau tidak ditempuh jalan ini, situasi tenurial wilayah adat terus mendapat tekanan dari pihak luar.
Pemanfaatan hutan adat dan tanah ulayat untuk kepentingan investasi dan pembangunan terus berlangsung hingga kini. Terlebih, dengan ada UU Cipta Kerja yang secara substansi memberikan banyak kemudahan perizinan berusaha berbasis lahan.
Untuk mendapat pengakuan di daerah, masyarakat adat berurusan para pengambil kebijakan di kabupaten/kota atau provinsi, termasuk DPRD. Melalui proses politik dalam pembentukan peraturan daerah (perda) dan surat keputusan kepala daerah mengenai pengakuan masyarakat adat. Setelah perda ada, perlu kelembagaan khusus, seperti Panitia Masyarakat Hukum Adat atau tim kajian di daerah yang bertugas mengidentifikasi dan verifikasi masyarakat adat.
Untuk memenuhi persyaratan verifikasi, masyarakat adat perlu menyiapkan data dan informasi spasial dan sosial yang memadai seperti sejarah asal-usul, kelembagaan adat, termasuk peta wilayah adat.
Apakah beres dengan penerbitan perda atau SK pengakuan masyarakat adat dan wilayah adat? Belum.
Pengakuan hutan adat
Setelah mendapat pengakuan dari pemerintah daerah, untuk mendapat pengakuan hutan adat, masyarakat harus berurusan dengan KLHK. Wilayah adat yang selama ini jadi tempat mereka hidup dan bagian dari asal-usul telah ditunjuk atau ditetapkan oleh KLHK sebagai kawasan hutan. Untuk dapat mengelola dan memiliki alas hak atas hutan adat, mereka perlu menempuh tata cara yang diatur dalam Peraturan Menteri LHK No.9/2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial. Di situ diatur mengenai permohonan pengakuan hutan adat.
Baca juga: Bencana Datang di Tengah Orang Kinipan Terhalang Jaga Hutan Adat
Dalam rilis KLHK, 6 April 2018, luas kawasan hutan Indonesia tercatat sekitar 125,9 juta hektar atau seluas 63,7% dari daratan. Persentase kawasan hutan di wilayah adat tidak berbeda jauh, sekitar 71% dengan luas 8.924.269 hektar dari 12.485.204 hektar peta wilayah adat teregistrasi di Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) saat ini.
Sedangkan 29% berada di areal penggunaan lain dengan luas sekitar 3.569.936 hektar. Dengan demikian, porsi urusan masyarakat adat lebih banyak dengan KLHK. Namun, urusan hak atas tanah dengan Kementerian ATR/BPN sering menimbulkan persoalan. Penerbitan izin dan hak guna usaha (HGU) yang menjadi kewenangan KATR/BPN banyak menuai konflik agraria di wilayah adat.
Luas wilayah adat yang ditetapkan pemerintah daerah mencapai 2.418.926 hektar. Di wilayah adat itu terdapat 81% (1.967.264 hektar) merupakan kawasan hutan, sisanya 451.663 hektar di areal penggunaan lain (APL).
Peta wilayah adat pada provinsi atau kabupaten/kota yang memiliki peraturan daerah mengenai tata cara pengakuan masyarakat adat ada 72% (5.567.408 hektar) merupakan kawasan hutan. Untuk pengakuan hutan adat merujuk data terbaru yang disampaikan Siti Nurbaya, Menteri LHK 18 Agustus 2021) telah ditetapkan peta hutan adat dan wilayah indikatif hutan adat sekutar 1.090.755 hektar. Sedangkan penetapan hutan adat sampai Juli 2021 seluas 59.442 hektar dengan Surat Keputusan Menteri LHK ada 80 unit.
Untuk percepatan penyelesaian konflik agraria termasuk pengakuan hutan adat, Presiden Jokowi menyelenggarakan rapat internal dengan pimpinan organisasi masyarakat sipil akhir 2020. Kemudian, untuk melaksanakan arahan presiden, Kepala Staf Kepresidenan (KSP) membentuk Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria dan Penguatan Kebijakan Reforma Agraria Tahun 2021. Ada 137 lokasi prioritas konflik agraria yang akan diselesaikan melalui tim ini, dan 27 lokasi prioritas itu merupakan usulan hutan adat ke KLHK seluas 1,1 juta hektar.
Lokasi prioritas usulan hutan adat ini merupakan hasil pembahasan data dan informasi dokumen usulan hutan adat dari berbagai daerah. Untuk memperkuat capaian tim ini, usulan hutan adat diutamakan yang memenuhi persyaratan utama, yaitu, ada perda dan surat keputusan pengakuan masyarakat adat.
Hingga akhir Agustus ini baru tiga dari 27 usulan hutan adat yang terverifikasi oleh tim terpadu Dirjen PSKL-KLHK, namun belum ada penetapan. BRWA sebagai anggota tim ini terus membantu komunitas adat, CSOs pendamping dan KLHK dalam penyiapan kelengkapan dokumen usulan hutan adat yang masuk daftar prioritas serta usulan baru dari berbagai daerah.
Tanah ulayat
Bagaimana rezim pertanahan yang diselenggarakan oleh KATR/BPN mengatur dan melaksanakan pengakuan tanah ulayat? Aturan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 3 UU Nomor 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria mengenai pengakuan tanah ulayat diatur dengan Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 5/1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat. Masyarakat Hukum Adat. Peraturan ini dicabut dengan Permen ATR/BPN Nomor 9 tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada dalam Kawasan Tertentu. Tidak berselang lama, peraturan ini dicabut dan diganti dengan Permen ATR/BPN 10/2016.
Selama periode 2015-2016, sudah ada penetapan tanah ulayat oleh KATR/BPN seluas 14.321 hektar untuk empat komunitas adat. Dua Komunitas Adat Suku Moi – Kabupaten Sorong, Suku Agofa – Kabupaten Teluk Bintuni dan Suku Doreri – Kabupaten Manokwari (Rikardo dan Chanif, 2020. Laporan Implementasi pendaftaran tanah sistematis lengkap serta pendekatan untuk tanah ulayat).
Pada webinar “Pengakuan Wilayah Adat dalam Kebijakan Satu Peta” pada 27 Agustus 2020, Badan Informasi Geospasial menyampaikan ada dua tanah ulayat yang terintegrasi dalam Kebijakan Satu Peta, yaitu tanah ulayat Baduy (Lebak, Banten) dan Kampung Naga (Tasikmalaya, Jawa Barat). Dari penelusuran penulis atas dokumen legalitas pengakuan dua komunitas adat tersebut didapatkan luas tanah ulayat Baduy mencapai 5.136,58 hektar dan tanah ulayat Kampung Naga sekitar 10.600 m2.
Akhir 2019, KATR/BPN kembali mengganti Permen ATR/BPN Nomor 9/2016 dengan Permen ATR/BPN Nomor 18/2019 tentang Tata Cara Penatausahaan Tanah Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat.
Saat ini, KATR/BPN bersama Pusat Kajian Hukum Adat Djojodigoeno, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada menginventarisasi dan identifikasi tanah ulayat di enam provinsi. Yakni, di Sumatera Barat, Kalimantan Tengah, Bali, Nusa Tenggara Timur, Papua dan Papua Barat.
Harapannya, hasil kajian itu dapat menjadi program dan aksi pengakuan dan pendaftaran tanah ulayat di seluruh Indonesia.
Kontribusi masyarakat adat dan masyarakat sipil kepada pemerintah pusat dan daerah sudah cukup memadai dalam penyiapan data dan informasi terkait dengan keberadaan masyarakat adat dan wilayah adatnya.
Data registrasi wilayah adat oleh BRWA dan keterlibatan CSOs dalam pembentukan kebijakan di berbagai daerah provinsi dan kabupaten/kota jadi modal sosial signifikan untuk ditindaklanjuti pemerintah.
Dengan kondisi ini, ada tiga hal perlu tindakan segera. Pertama, KLHK dan KATR/BPN dapat mengoptimasi penggunaan data dan informasi pengakuan masyarakat adat serta wilayah adat yang telah mendapat penetapan pengakuan oleh pemerintah daerah untuk memproses pengakuan hutan adat dan tanah ulayat.
Kedua, pemerintah daerah mempercepat pembentukan dan pelaksanaan kebijakan daerah untuk pengakuan dan perlindungan masyarakat adat, karena masih banyak yang belum ditetapkan pengakuannya.
Ketiga, DPR dan pemerintah perlu segera membahas RUU Masyarakat Adat serta membuka ruang diskusi publik, hingga substansi dapat memperkuat pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat.
Negara hadir dan membangun dari pinggiran, salah satunya dengan memperkuat penghormatan, pengakuan dan perlindungan masyarakat adat, hingga mereka merasakan kemerdekaan dalam menjaga, melindungi dan mengelola wilayah adatnya.
* Kasmita Widodo, penulis adalah Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA). Tulisan ini merupakan opini penulis.
*****
Foto utama: Begini penampakan kayu di hutan adat Kinipan, yang bersengketa dengan perusahaan sawit. Foto: Save Kinipan