- Di lokasi tempat penangkaran di Desa Dawuhan Kulon, Kecamatan Kedungbanteng, Banyumas, ada 63 buaya yang hidup
- Dari jumlah tersebut, 50 di antaranya merupakan milik negara, titipan dari BKSDA
- Memasuki masa pandemi, tempat penangkaran buaya juga terpengaruh, karena tidak banyak yang datang memberi makan
- Selain sebagai tempat penangkaran, tengah dirintis sebagai lokasi penelitian dan edukasi
Buaya-buaya itu terlihat diam saja di kandang masing-masing. Kandang berupa kolam yang dipagari besi di atasnya. Dalam satu kandang ada yang diisi satu ekor, dua ekor, hingga di atas lima ekor. Pengelola membaginya sesuai dengan umur dan usianya. Kalau yang sudah besar, maka kandangnya akan lebih lebar. Atau kandang sempit, tetapi hanya untuk satu ekor. Secara keseluruhan, luasan lokasi penangkaran kisaran 500 m2.
Namun, yang namanya satwa liar, tetap kelihatan beringasnya. Tetapi begitu dikasih pakan, langsung agresif. Begitu ada pakan yang dilempar atau sengaja digantung, langsung disambar. Ada daging ayam, kambing, sapi dan lainnya yang menjadi makanan buaya di tempat penangkaran di Desa Dawuhan Kulon, Kecamatan Kedungbanteng, Banyumas, Jawa Tengah (Jateng) tersebut.
Pengelola penangkaran buaya, Fatah Arif Suyanto, mengatakan bahwa pada awalnya, penangkaran yang dikelolanya dimulai dari hobi. Kemudian pada tahun 2016, Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Jateng mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Kepala BKSDA Jateng No. SK.262/IV-K.11-KKH/2016 tanggal 30 Desember 2016 tentang Pemberian Izin Penangkaran Jenis Reptil Dilindungi UU Generasi Kedua (F2).
Tetapi dalam perkembangannya, tempat penangkaran itu juga sebagai lokasi penampungan buaya-buaya milik negara. “Dari 63 buaya yang kini ada di lokasi penangkaran, 50 ekor di antaranya merupakan milik negara. Terutama yang besar-besar itu. Kenapa milik negara, karena buaya tersebut bukan milik saya, melainkan titipan dari lembaga berwenang yakni BKSDA Jateng,” kata Fatah saat berbincang dengan Mongabay Indonesia pada Sabtu (28/8/2021).
baca : Buaya Muara Dievakuasi dari Rumah Warga, Lalu?
Dijelaskan oleh Fatah, buaya-buaya yang dititipkan oleh BKSDA di sini merupakan hasil penyitaan atau evakuasi dari tempat yang tidak berizin dan penyerahan dari masyarakat. Selain itu, buaya titipan dari negara merupakan hasil penangkapan dari lokasi yang potensial terjadi konflik dengan masyarakat. “Penangkapan dilakukan karena habitat buaya dengan dengan pemukiman penduduk. Karena itu, demi keamanan dan kenyamanan semuanya, maka buaya ditangkap dan dievakuasi ke sini,”ujarnya.
Menurutnya, nantinya buaya-buaya yang ada di sini direncanakan dilepasliarkan di tempat habitat buaya, jauh dari pemukiman penduduk. “Barangkali juga dapat dilepasliarkan di luar pulau. Namun di mana tempat dan kapan masih belum tahu. Untuk sementara masih di sini,”ungkap Fatah.
Buaya-buaya dititipkan ke tempat penangkaran di Desa Dawuhan Kulon, karena di Jateng, hanya itu lokasi yang paling representatif. Sehingga BKSDA memiliki menitipkan ke penangkaran yang dikelola Fatah.
Dari 63 ekor buaya, 13 di antaranya merupakan milik pribadi dan 50 lainnya adalah titipan negara. Sebagian merupakan buaya F2 atau generasi kedua yang dapat dijual, karena merupakan hasil penangkaran.
“F2 yang ada di sini merupakan hasil dari penetasan telur buaya. Sebetulnya, setiap tahun ada saja buaya yang bertelur. Tetapi, sebagian tidak jadi karena pecah. Ada juga yang bisa menetas, namun jumlahnya tidak banyak. Jadi proses penangkaran untuk mendapatkan F2 itu sama sekali tidak mudah,”jelasnya.
Dijelaskan oleh Fatah, sampai sekarang buaya yang ada di lokasi penangkaran ada tiga jenis. Yakni buaya muara (Crocodylus porosus), buaya Papua (Crocodylus novaeguineae) dan buaya sapit atau senyulong (Tomistoma schlegelii).
“Jenis yang paling besar adalah buaya muara. Waktu datang ke sini panjangnya mencapai 4,3 meter. Diangkut oleh 12 orang tidak kuat. Akhirnya memakai lori untuk mengangkut dari mobil ke penangkaran. Sekarang panjangnya sekitar 4,5 meter. Itu yang paling besar dan merupakan milik negara dan titipan dari BKSDA Jateng. Ada yang masih kecil dengan ukuran sekitar panjang 1 meter,”jelasnya.
baca juga : Dilindungi dan Dihormati, Buaya Endemik Papua Ini Masih Diburu
Terdampak Pandemi
Bagi Fatah sebagai pengelola tempat penangkaran buaya, pandemi Covid-19 ternyata berdampak juga. Sebab, sebelum pandemi, banyak yang datang ke sini untuk memberi makan. Hal itu sangat membantu dirinya. “Sama seperti aktivitas orang lain, pandemi memberi dampak bagi pengelolaan penangkaran buaya. Sebab, sebelum pandemi, banyak yang datang ke sini untuk memberi makan. Namun setelah ada pandemi dan kebijakan pembatasan hingga PPKM, maka jarang ada yang datang, sangat minim. Kami sebagai pengelola juga mengikuti aturan pemerintah,”ungkap Fatah.
Ia mengaku harus membiayai sendiri pakan buaya. Dalam lima hari, setidaknya membutuhkan 150 kilogram (kg) daging. Baik itu daging ayam, sapi atau kambing. Sehingga jika satu bulan, maka kebutuhan dagingnya dapat mencapai 900 kg.
“Jumlah tersebut untuk memberi makan 63 ekor buaya yang ada di penangkaran. Untuk buaya dengan ukuran besar, kebutuhannya mencapai 30 kg per 5 hari. Sebab, saya memberi makan per 5 hari sekali. Namun, di sela-sela pemberian pakan rutin, ada yang datang membawa daging dari kambing dan sapi yang mati maupun ayam tiren. Itu lumayan membantu,”jelasnya.
Fatah mengatakan secara total biaya untuk mencukupi pakan bagi buaya-buaya yang ada di tempat penangkaran Desa Dawuhan Kulon mencapai Rp3 juta. Jika dengan perawatan dan upah pawang serta pekerja mencapai Rp8 juta.
“Saya sudah berusaha untuk membuat taman kecil berupa wisata edukasi agro dan kolam renang di sebelah tempat penangkaran. Namun, situasi pandemi belum memungkinkan untuk membuka bagi masyarakat luas. Niat saya, dengan adanya wisata kecil di sebelah penangkaran, maka pendapatan yang diperoleh dapat digunakan untuk biaya pemeliharaan buaya. Tetapi hal itu belum memungkinkan karena masih masa pandemi, apalagi ada kebijakan PPKM,” kata dia.
baca juga : Banyak Kasus Buaya Terkam Manusia di Maluku Utara, Ada Apa?
Hal lain yang ditempuh adalah dengan memanfaatkan F2 buaya. Sebab, sesuai dengan aturan, maka F2 dapat dijual tentu dengan berbagai syarat yang harus dipenuhi. “Syarat-syaratnya telah lengkap, sesuai aturan. Jika ada yang berminat, maka kami menjualnya Rp17,5 juta. Nantinya, akan kami gunakan untuk membiayai dana pemeliharaan di lokasi penangkaran,”ujar Fatah.
Ke depan, kata Fatah, pihaknya akan menjalin kerja sama dengan Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto sebagai lokasi untuk penelitian maupun edukasi. “Kebetulan, saat sekarang juga ada mahasiswa dari Fakultas Biologi yang tengah KKN di sini. Kami sangat terbuka, apalagi untuk kepentingan riset dan edukasi,”tambahnya.
Sementara salah seorang mahasiswa Fakultas Biologi Unsoed Salsabila Septiani mengatakan ada puluhan mahasiswa Fakultas Biologi yang mengikuti KKN tematik dengan program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). “Kalau KKN reguler biasanya selama 35 hari, namun MBKM ini berlangsung selama 4 bulan atau 16 minggu. Kebetulan kami memilih Taman Buaya ini sebagai lokasi MBKM,”jelas Salsabila.
Menurutnya, selain program MBKM ada juga yang menjadikan Taman Buaya sebagai tempat praktik kerja lapangan (PKL). “Kebetulan, saya PKL di sini. Karena peminatan saya ekologi. Di sini, tidak hanya soal ekologi saja, melainkan juga ada mata kuliah lain seperti herpetologi atau mempelajari kehidupan reptil, kemudian etologi yang mempelajari tingkah laku hewan, juga ecotourism, ekotoksikologi, limnologi dan lainnya,”katanya.
Meski baru baru beberapa minggu, tetapi pelajaran yang dapat dipetik salah satunya adalah soal tingkah laku buaya. “Saya baru tahu, kalau buaya itu tidak gampang dipasangkan. Jika menemukan pasangannya, mereka memilih setia, bahkan sampai mati. Ternyata memang buaya merupakan salah satu hewan yang setiap terhadap pasangannya,”tandasnya.