- Pesisir Kulunprogo berpasir hitam tetapi tak gersang dan tandus. Lahan berpasir ini produktif dengan beragam tanaman sayur mayur nan subur. Warga pesisir pun hidup makmur. Mereka tanam cabai, kacang panjang, terung, semangka dan banyak lagi. Ketenangan mereka terganggu atas rencana kehadiran perusahaan tambang pasir. Tulisan ini merupakan bagian kedua dari seri tulisan hasil peliputan Mongabay bersama Tim Kolaborasi Liputan Agraria sepanjang Maret– Juli 2021.
- Selama 15 tahun, para petani lahan pasir pesisir Kulonprogo, di Yogyakarta, menolak dan melawan rencana perusahaan menambang pasir besi di lahan garapan mereka. Ada yang masuk penjara, tetapi tak menyurutkan langkah para petani untuk terus melawan…
- Data BPS Kulonprogo memperlihatkan, selama empat tahun, 2017-2020, cabai jadi jenis sayuran dengan hasil terbanyak dan terus meningkat. Panen cabai di Kulonprogo mencapai 37.000 ton. Dari jumlah itu, tertinggi dari Kecamatan Panjatan 14.000 ton, disusul Wates 7.000 ton, dan Galur 5.000 ton.
- Pemandangan lahan pasir dengan beragam tanaman ternyata berbeda jauh dengan kondisi puluhan tahun lali. Dwi Purwanta, Penanggung Jawab (PJ) Lurah Karangwuni, mengenang masa 1970-an, ketika lahan pasir pesisir tak dapat ditanami. Gersang dan tandus. Warga pesisir Kulonprogo, banyak miskin sampai warga yang bermukim di pesisir kerap jadi bahan olok-olok warga sekitar sebagai wong cubung.
Hamparan pasir pesisir selatan Kulonprpogo, Yogyakarta, hitam pekat. Meski begitu lahan-lahan berpasir itu jadi ruang hidup produktif warga. Beragam tanaman sayur mayur ada, seperti cabai merah, terong, kacang panjang, semangka dan banyak lagi. Beragam tanaman ini tumbuh subur.
Sore itu, Tukijo bersama petani lain memasuki masa tanam. Sambil menyiram, dan menanam bibit terdengar obrolan dan canda. Mereka bergembira dan bersemangat turun-menurun mengelola lahan pertanian di Desa Karangsewu, Kecamatan Galur, Kulonprogo, ini.
Lahan pasir ini, kata Tukijo, sangat cocok untuk tanaman pangan. “Panen cabe di pasir bisa lebih banyak. Kalau biasa dapat dipetik delapan kali satu musim, ini bisa hampir dua kali lipat, 15-20 kali,” cerita anggota Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulonprogo (PPLP-KP) ini.
Ketika puncak musim panen, lahan sekitar 2.600 meter persegi bisa hasilkan satu ton cabai dalam satu kali petik. Satu kilogram sekitar Rp30.000 untuk cabai keriting dan Rp90.000 untuk cabai rawit.
Sekali tanam cabai, perlu waktu sekitar 70 hari untuk bisa panen. Setelah itu, dalam waktu lima hari cabai bisa berbuah dan panen kembali. Tak hanya memenuhi kebutuhan di Yogyakarta, cabai lahan pasir Kulonprogo ini dijual sampai Lampung, Jambi, Medam dan Batam.
Hasil bumi dari lahan pasir melimpah ini jadi sumber utama pemasukan keluarga Tukijo. Dia menekuni ini sejak 1987.
Gepeng, petani asal Desa Banaran, Kecamatan Galur,juga sama. Lahan pasirnya sudah masuki panen kedua. Dua kuintal cabai merah keriting dari dua petak lahan seluas 2.000 meter persegi.
Gepeng juga anggota PPLP-KP.
Ruang hidup para petani ini tengah terancam tambang pasir besi termasuklah Tukijo dan Gepeng. Para petani dalam paguyupan ini gigih melawan rencana PT Jogja Magasa Iron (JMI) menambang pasir pesisir Kulonprogo.
Lahan pertanian dan rumah mereka merupakan warisan tiga generasi keluarga Gepeng. Kalau JMI datang, semua itu bisa hilang.
Baca juga: Was-was Petani Pesisir Kulonprogo Kala Lahan Tani Terancam Tambang [1]
Dulu gersang dan tandus
Pemandangan lahan pasir dengan beragam tanaman ternyata berbeda jauh puluhan tahun lalu. Dwi Purwanta, Penanggung Jawab (PJ) Lurah Karangwuni mengenang masa 1970-an, ketika lahan pasir pesisir tak dapat ditanami. Gersang dan tandus. Begitu miskinnya, hingga Dwi dan warga lain yang bermukim di pesisir kerap jadi bahan olok-olok warga sekitar sebagai wong cubung.
“Dulu saya waktu kecil, yang namanya Karangwuni itu jadi olok-olokan orang utara (daratan, kota). Kasarannya, wong cubung, ra ngerti opo-opo. Sekarang (warga utara) kalah (makmur).”
“ Wong (orang) pesisiran bisa beli mobil, motor. (Sementara) wong lor [utara malah harus] utang bank untuk beli motor. Pasir sulit diolah, tapi hasilnya maksimal. Warga malah malas pindah dari pesisir.”
Cerita petani pesisir Kulonprogo itu senada dengan data yang tergambar di Badan Pusat Statistik dalam ‘Kulonprogo dalam Angka 2021.’ Data BPS memperlihatkan, selama empat tahun, 2017-2020, cabai jadi jenis sayuran dengan hasil terbanyak dan terus meningkat.
Selama 2020 saja, panen cabai di Kulonprogo mencapai 37.000 ton. Dari jumlah itu, tertinggi dari Kecamatan Panjatan 14.000 ton, disusul Wates 7.000 ton, dan Galur 5.000 ton. Tiga kecamatan ini masuk lokasi klaim PAG dan terdampak kontrak karya JMI.
Lahan panen cabai mencapai 3.706 hektar di tiga kecamatan dengan luasan terbesar Panjatan 1.101 hektar, Wates 775 hektar, dan Galur 536 hektar. Tanpa detail jenis lokasi tanam, hasil ini termasuk sumbangsih cabai-cabai di lahan pasir pesisir selatan.
Tak hanya pandai bertani di lahan sulit, para petani pesisir Kulonprogo juga berdaya membangun posisi tawar terhadap pasar.
Sudiro, petani yang terampil menghindari permainan harga dari tengkulak. Sejak 2004, dia mempelopori pasar lelang cabai pada 2004. Sebagaimana dikutip dari buku Menanam Adalah Melawan, penawar tertinggi adalah yang berhak membeli semua cabai dari petani. Kini, pasar lelang kelompok petani pantai pesisir selatan ada 23 tempat.
Petani di pesisir Kulonprogo pun terbilang makmur. Tukijo, kini mengendarai sepeda motor Yamaha NMAX seharga Rp30-an juta. “Lewat pertanian saja sudah sejahtera. Ketika ini ditambang, banyak sekali orang-orang yang dirugikan,” kata Tukijo.
“Petani kalau berhasil terus, kaya. Apalagi harga cabai mahal,” kata Suratinem, istri Tukijo.
Tukijo dan Suratinem, pasangan petani di Desa Karangsewu yang cukup vokal dalam menyuarakan penolakan tambang pasir besi JMI di pesisir Kulonprogo. Tahun 2010, dia malah terjerat hukum karena aktif menolak rencana kehadiran perusahaan tambang itu.
“Saya digelandang masuk mobil, pas saya tanya mau kemana, tidak dijawab. Dibawa ke kantor polisi. Setelah itu, saya tidak pulang. Saya dipenjara tiga tahun,” katanya mengingat kejadian 10 tahun lalu.
Meski sudah masuk bui tiga tahun di Lembaga Permasyarakatan Wirogunan, tak membuat Tukijo takut bersuara. Setelah keluar penjara Oktober 2013, Tukijo tetap konsisten menolak tambang pasir besi.
“Keluar penjara sebenarnya, masuk penjara sesungguhnya karena berhadapan dengan tambang.”
Gepeng pun melawan. Meski banyak dari petani tak memiliki dokumen, tetapi lahan pasir itu penghidupan mereka turun menurun. Lahan pertanian itu merupakan warisan mbah dari trah istri Gepeng.
“Daripada kita makan beton. Mau ditukar (mobil) Avanza pun gak mau. Makanya kami berjuang untuk lahan ini.”
Area tambang yang tertera dalam kontrak karya JMI seluas 2.977 hektar, membentang di enam desa di pesisir Kulonprogo. Yakni, Desa Karangwuni (Kecamatan Wates), Desa Bugel, Garongan dan Pleret (Kecamatan Panjatan), serta Desa Karangsewu dan Banaran (Kecamatan Galur).
Jauh hari sebelum JMI mengantongi kontrak karya, para petani seperti Widodo, Tukijo, dan Gepeng tahu bahwa kemakmuran lahan pasir mereka terancam rencana penambangan pasir besi di sana. Mereka tahu, mereka harus yang melawan para kerabat Sri Sultan Hamengku Buwono X yang notabene adalah Gubernur Yogyakarta, dan kerabat Pakualam X yang adalah Wakil Gubernur Yogyakarta.
Dari Data Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang diakses pada 7 September 2021menunjukkan, 210 dari 300 lembar saham JMI dikuasai Indo Mine Ltd, perusahaan tambang asal Australia yang mayoritas saham dimiliki Rajawali Group. Ada 90 lembar saham JMI, setara 30%, dimiliki PT Jogja Magasa Mining (JMM), sebuah perusahaan tambang lokal di Yogyakarta.
Data Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia diakses pada 5 Maret 2021 merinci siapa saja pemegang saham JMM sejumlah 300 lembar itu. Dari 90 lembar saham JMM dikuasai PT Mitra Westindo Utama. Putri sulung Sri Sultan Hamengku Buwono X, GKR Mangkubumi menguasai 75 lembar saham JMM. Adik Pakualam X, BRMH Hario Seno juga menguasai 75 lembar saham JMM. Sebanyak 50 lembar saham JMM lain punya kemenakan Sri Sultan Hamengku Buwono X, RM Sumyandharto. Sisanya, 10 lembar saham JMM, dimilik Imam Syafii, seorang pengusaha asal Yogyakarta.
Para petani pesisir Kulonprogo, pada 1 April 2006, mendirikan Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulonprogo. Pada 2007, beberapa kali PPLP-KP menggelar demonstrasi dengan menggeruduk Pemerintah Kulonprogo dan DPRD Kulonprogo pada 2007.
Akhirnya, Bupati dan Ketua DPRD Kulonprogo, meneken pernyataan menolak tambang pasir besi di pesisir selatan.
Kampus Universitas Gadjah Mada (UGM) juga jadi sasaran unjuk rasa PPLP-KP pada pertengahan 2008, lantara Fakultas Kehutanan UGM terlibat dalam penelitian dampak kerusakan lingkungan penambangan pasir besi di pesisir Kulonprogo.
Akhirnya, UGM pun menghentikan kerjasama itu.
Di tengah aksi gencar PPLP-KP menolak tambang pasir besi itu, segerombolan orang menyerang basis petani PPLP-KP Desa Garongan di Kecamatan Panjatan dan Desa Karangwuni di Kecamatan Wates pada 27 Oktober 2008.
Delapan hari setelah serangan itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Purnomo Yusgiantoro, menandatangani kontrak karya tambang pasir besi JMI pada 4 November 2008. (Bersambung)
*Tulisan ini hasil peliputan Tim Kolaborasi Liputan Agraria yang melibatkan Arif Koes Hernawan (Gatra), Lusia Arumingtyas (Mongabay.co.id), Mariyana Ricky PD (SoloPos.com), Soetana Monang Hasibuan (KabarMedan.com), dan Cahyo Purnomo Edi (Merdeka.com).
*****
Foto utama: Lahan pasir di pesisir Kulonprogo itu kini lahan tani produktif nan subur, yang memakmurkan kehidupan petani di sana. Foto: Lusia arumingtyas/ Mongabay Indonesia