- Perusahaan sawit, PT Kumai Sentosa dengan kebun berada di sisi barat Taman Nasional Tanjung Puting ini kena hukuman perdata ganti rugi Rp175 miliar lebih. Kasusnya, dalam konsesi perusahaan ini alami kebakaran sekitar 3.000 hektar pada 2019.
- Putusan hakim Rp175 miliar itu jauh lebih rendah dari gugatan Ditjen Penegakan Hukum KLHK sebesar Rp1,19 triliun. Rasio Ridho Sani, Dirjen Gakkum KLHK, akan mempelajari pertimbangan dan amar putusan Majelis Hakim PN Pangkalan Bun.
- Mongabay pernah meliput khusus kasus karhutla ini. PT Kumai Sentosa salah satu korporasi sawit dengan lahan konsesi terbakar dan menyebabkan bencana asap pada musim kemarau 2019. Liputan kolaborasi bersama Tempo, Betahita dan Malaysia Kini ini terbit pada 14 September 2020.
- Sebelumnya, PT Kumai Sentosa lolos dari gugatan pidana. Dalam putusan Pengadilan Negeri Pangkalan Bun Nomor 233/PID.B/LH/2020/PN PBU pada 17 Februari 2021, majelis hakim memutuskan terdakwa tidak terbukti sah dan meyakinkan bersalah. Kumai Sentosa yang diwakili I Ketut Supastika pun bebas.
Perusahaan perkebunan sawit di Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, PT Kumai Sentosa (KS), terbukti bersalah atas kebakaran hutan dan lahan (karhutla) pada 2019. Perusahaan sawit dengan kebun berada di sisi barat Taman Nasional Tanjung Puting ini diganjar hukuman perdata ganti rugi Rp175 miliar lebih.
Direktorat Jenderal Penegakan Hukum (Gakkum), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Sabtu (25/9/21), menyebut, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pangkalan Bun dengan Ketua Heru Karyono, dan hakim anggota Erick Ignatius Christofel dan Mantiko Sumanda Moechtar, menghukum perdata perusahaan itu ganti rugi materil Rp175, 179.930 miliar.
Pengadilan juga meminta Kumai Sentosa memulihkan lahan terbakar seluas 3.000 hektar dalam konsesi mereka.
Rasio Ridho Sani, Dirjen Gakkum KLHK, mengapresiasi putusan Majelis Hakim PN Pangkalan Bun dan akan mempelajari pertimbangan hakim dan amar putusannya.
“Kami tidak berhenti melawan pelaku kejahatan lingkungan hidup dan kehutanan. Kami akan gunakan semua instrumen hukum, sanksi dan denda administratif, mencabut izin, ganti rugi, maupun pidana penjara, agar pelaku jera,” kata Roy, sapaan akrabnya.
Jasmin Ragil Utomo, Direktur Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup, Ditjen Gakkum KLH mengatakan, akan banding atas putusan ini karena nilai lebih rendah dari gugatan mereka Rp1,19 triliun.
“PT KS dihukum untuk pemulihan lingkungan. Nilai nominal yang tidak dikabulkan,” katanya melalui pesan Whatsapp, Sabtu (25/9/21).
Mongabay pernah meliput khusus kasus karhutla ini. Kumai Sentosa salah satu korporasi sawit dengan lahan konsesi terbakar dan menyebabkan bencana asap pada musim kemarau 2019. Liputan kolaborasi bersama Tempo, Betahita dan Malaysia Kini ini terbit pada 14 September 2020.
Dari mana datangnya api? Citra satelit menangkap hotspot pertama kali muncul bersamaan pada 21 Agustus 2019 di luar dan di dalam konsesi perusahaan. Titik panas di luar konsesi berada di taman nasional. Jarak kedua hotspot ini sekitar 5,5 kilometer. Lahan di konsesi Kumai Sentosa diduga baru dibuka masif sebelum kebakaran, termasuk berupa pembangunan kanal.
Baca juga: Jejak Korporasi Penyulut Api
Hotspot di konsesi perusahaan bahkan pertama kali muncul di kanal yang ditengarai baru selesai digarap pada pekan ketiga Juni 2019.
Citra satelit menunjukkan, selama periode Mei 2018–November 2019, terdapat delapan titik koordinat pembangunan kanal. Dua titik koordinat bahkan digarap Agustus saat kemarau dan bencana asap sudah terjadi di Kalimantan Tengah. Dua lainnya dibangun pada November, ketika kebakaran baru usai.
Soal asal api, kebanyakan sumber di lapangan menyebut muasal dari arah tenggara, di luar konsesi perusahaan. Api disebut merembet dengan cepat lantaran angin di musim kemarau bertiup ke barat. Konsesi perusahaan dan pemukiman masyarakat Desa Sungai Cabang berada di sisi baratnya. Ada pula yang mengatakan sumber api dari dalam konsesi.
Terlepas dari soal sumber api, kebakaran itu melahap tanaman dan material bekas galian dan pembukaan lahan yang sudah mengering di sekitar 3.000-an hektar kebun. Perusahaan dibantu warga pun tak sanggup membendung api.
“Peralatan itu belum lengkap. Pakai (mesin) robin. Pas memadamkan itu ada yang robin pecah, ada yang hangus dimakan api. Sepeda motor diceburkan ke parit. Kami pulang, motor seperti berjalan di atas api. Jalan membara. Sebulan memadamkan, aku berhenti kerja,” ucap seorang warga ketika peristiwa itu terjadi masih sebagai buruh harian lepas di sana.
Akhirnya, kebun-kebun warga Sungai Cabang, di barat konsesi pun habis dimakan api.
Indirayanto, warga setempat menaksir, bisa miliaran rupiah total kerugian warga karena kebakaran itu. “Sepanjang kampung, kebun kami dari Teluk Ranggau sampai ke sini, 11 kilometer, kebun semua, milik orang banyak se-Desa Sungai Cabang. Pisang dan kelapa habis terbakar. Ada yang jengkol, sengon, jabon, karet. Tak sampai panen, habis.”
Pidana bebas
Meski tampak ketidakberdayaan sistem penanggulangan api dan banyak kerugian harus ditanggung warga desa dan masyarakat luas karena asap karhutla itu, Kumai Sentosa lolos dari gugatan pidana. Dalam putusan Pengadilan Negeri Pangkalan Bun Nomor 233/PID.B/LH/2020/PN PBU pada 17 Februari 2021, majelis hakim memutuskan terdakwa tidak terbukti sah dan meyakinkan bersalah. Kumai Sentosa yang diwakili I Ketut Supastika pun bebas.
Saat itu, majelis hakim diketuai Heru Karyono, hakim yang sama untuk kasus perdatanya. Dua anggotanya, Muhammad Ikhsan dan Iqbal Albanna. Kedua hakim ini sudah tak lagi bertugas di Pengadilan Negeri Pangkalan Bun.
Dalam gugatan pidana itu, Kumai Sentosa dituntut Rp935 miliar untuk memulihkan lahan rusak karena kebakaran sebagai akibat pelanggaran atas Pasal 99 ayat (1) jo Pasal 116 ayat (1) huruf a jo Pasal 119 huruf c Undang-Undang RI Nomor 32/2009 Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, sesuai dakwaan alternatif kedua.
Sejumlah organisasi masyarakat sipil mempertanyakan putusan bebas murni itu. Salah satu, muncul dari Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kotawaringin Barat, Mardani.
Kalau hakim memutuskan bebas, katanya, berarti kasus belum tuntas karena belum diketahui pelaku menyebabkan kebakaran besar itu. “Bila ada kasus karhutla, siapa pelakunya harus dipidanakan. Masalah ini belum tuntas karena tidak ada pelaku. Tidak ada yang bertanggung jawab siapa yang menyebabkan kebakaran besar itu.”
Mardani menyindir, proses penegakan hukum karhutla lambat kalau melibatkan korporasi. “Sementara peladang, di lahan sendiri dan mereka tidak lalai, mereka tunggu (saat membakar), itu ditangkap. Prosesnya cepat. Pengungkapan cepat. Padahal, waktunya kurang lebih bersamaan dengan korporasi ini,” katanya.
Senada disampaikan LBH Palangka Raya. Aryo Nugroho, Ketua LBH Palangka Raya, menilai, bebasnya Kumai Sentosa dari dakwaan pidana berarti hakim tak mendasarkan kepada aspek kerugian lingkungan yang terungkap pada fakta-fakta persidangan.
“Ini mencerminkan lemahnya perlindungan lingkungan hidup dan menyebabkan rentannya hak mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat bagi masyarakat di Kalimantan Tengah.”
Dia menilai, pertimbangan hakim yang menyebut kebakaran itu bencana alam adalah keliru. “Hakim tidak mempertimbangkan unsur kelalain dari Kumai Sentosa yang tidak memadamkan api kebakaran saat masih kecil sebelum membesar dan meluas hingga tidak bisa dikendalikan,” katanya.
Harus bisa eksekusi
Terhadap vonis perdata yang baru diputuskan, LBH Palangka Raya menganggap ini kabar baik. “Ini bisa jadi pembelajaran penting bagi kita semua. Ini menguatkan dugaan, penyebab karhutla di Kalteng bukanlah peladang tradisional atau masyarakat adat yang benar-benar membuka lahan untuk bertahan hidup,” ucap Aryo.
Meski begitu, dia memberi catatan kritis banyak gugatan yang dimenangkan KLHK, tetapi dalam eksekusi sulit. Menurut dia, banyak dari penelitian menyebutkan, eksekusi putusan banyak berjalan di tempat.
Dia berharap, bila putusan Kumai Sentosa ini inkrah, harus benar-benar bisa eksekusi.
“Kami mendorong KLHK bersikap tegas dalam kewenangannya. KLHK bisa mencabut pelepasan kawasan hutan kepada perusahaan. Sedangkan Badan Pertanahan Nasional bisa mencabut izin HGU.”
Kumai Sentosa, belum bisa berkomentar banyak terkait putusan ini. “KS menghormati keputusan majelis hakim. Tim pengacara hingga saat ini masih belum mendapatkan salinan putusan secara lengkap dari PN Pangkalanbun hingga belum bisa menentukan sikap akan banding atau menerima putusan,” kata Nur Alam, Manager Umum Kumai Sentosa.
Dia katakan, tim kuasa hukum akan mengkaji lebih dalam pertimbangan hakim dalam mengambil putusan.
“Mengingat dalam putusan perkara pidana KS dinyatakan bebas murni oleh majelis hakim di PN yang sama, jadi kasus ini akan sangat menarik sebagai bahan kajian bersama,” katanya dia melalui pesan singkat, Sabtu (25/9/21).
*****
Foto utama: Kanal PT Kumai Sentosa. Kanal ini dibangun di dataran tanah gambut pada Agustus 2020. Foto: Budi Badkoro/ Mongabay Indonesia