- Walhi NTT menggelar Pertemuan Daerah Lingkungan Hidup (PDLH) yang dihadiri 34 lembaga anggota menyoroti berbagai permasalahan yang terjadi di provinsi NTT terkait dampak pembangunan dan pengabaian hak rakyat
- Dalam PDLH tersebut disoroti berbagai kasus pembangunan proyek pariwisata dan perkebunan yang berdampak pada relokasi warga. Perusahaan swasta diberikan konsensi lahan di Taman Nasional Komodo yang merupakan ruang ekosistem komodo
- Pertambangan dan proyek geothermal serta pembangunan waduk masih menyisakan konflik antara pemerintah dan masyarakat. Investasi ini juga akan menghancurkan kebun-kebun rakyat dan sumber air masyarakat
- Walhi menilai pengelolaan sampah yang buruk pada seluruh kabupaten dan kota di NTT. Belum ada satupun kebijakan pemerintah yang sesuai dengan mandat undang-undang dan hingga saat ini model pengolahan sampah di TPA belum dilakukan
Potret pembangunan di Nusa Tenggara Timur (NTT) disinyalir mengabaikan keselamatan masyarakat dan lingkungkan hidup. Berbagai model pembangunan pemerintah dan investasi swasta bersifat top down yang berarti tidak ada tempat bagi suara suara warga yang potensial jadi korban korban pembangunan.
Walhi NTT meyakini bahwa model top down adalah model pemaksaan kehendak atas nama pembangunan. Termasuk model pemaksaan yang mengabaikan urusan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup di NTT.
“NTT yang merupakan provinsi kepulauan makin kritis keselamatan rakyat dan lingkungan hidupnya akibat model-model proyek Pariwisata, Perkebunan Monokultur yang diprakarsai pemodal dan pemerintah, pertambangan hingga infrastruktur besar,” sebut Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi, Direktur WALHI NTT dalam Dokumen Pernyataan Sikap hasil pertemuan Daerah Lingkungan Hidup (PDLH) Walhi NTT VIII di Kupang yang diterima Mongabay Indonesia, Sabtu (25/9/2021).
PDLH Walhi NTT merupakan pertemuan yang dihadiri pengurus daerah dari 34 lembaga anggota yang menyoroti berbagai berbagai permasalahan terkait lingkungan yang terjadi di NTT.
Umbu Wulang mengatakan terlihat pertumbuhan pembangunan di NTT namun mengorbankan ekologi, sosial ekonomi bagi keseluruhan masyarakat NTT. Terlebih bagi kelompok-kelompok rentan seperti nelayan, petani, masyarakat adat, kelompok disabilitas dan kaum perempuan.
Walhi NTT mengemukakan beberapa fakta pembangunan yang terang benderang menjelaskan bahwa urusan keselamatan rakyat dan lingkungan hidup dinyatakan persetan oleh pemerintah.
“Beberapa proyek dan kelalaian pemerintah yang menjadi perhatian Walhi NTT karena telah dan berpotensi mengabaikan keselamatan rakyat dan lingkungan,” jelasnya.
baca : Survey Walhi : Rapor Merah Kinerja Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup Pemprov NTT
Pariwisata dan Perkebunan
WALHI menyoroti, pertama, investasi pariwisata PT. Sutera Marosi Kharisma di Pesisir Marosi Sumba Barat yang mengakibatkan petani bernama Poro Dukka yang berusaha untuk mempertahan lahan kelolanya ditembak mati oleh oknum aparat.
Umbu Wulang melihat pemerintah tidak menuntaskan kasus ini dalam konteks penegakan hukum dan keadilan ruang penghidupan.
Selain itu, investasi pariwisata di Sumba Tengah juga telah mengakibatkan nelayan Bernama Sony Hawolung dikriminalisasikan oleh oknum pemilik resort di Pantai Aily. Nelayan tersebut dianggap menyerobot di lahan milik resort.
Kedua, proyek pariwisata premium yang dicanangkan pemerintah di Kawasan Taman Nasional Komodo. Proyek yang akan merelokasi warga Pulau Komodo demi kenyamanan wisatawan dalam ruang wisata premium.
“Proyek yang memberikan karpet merah untuk perusahan pariwisata mendapatkan konsesi lahan yang notabene merupakan ruang ekosistem Komodo,” sesal Umbu Wulang.
Proyek pariwisata skala besar dalam aspek ruang dan investasi ini juga, katanya, dipaksakan masuk ke pulau pulau kecil.
Pulau Lembata salah satu pulau yang merasakan dampaknya. Proyek pariwisata di Pulau Awololong telah mengakibatkan konflik akibat pemaksaan pembangunan tersebut.
baca juga : UNESCO Minta Setop Proyek Wisata di TN Komodo, Respon Pemerintah?
Terkait proyek perkebunan monokultur proyek perkebunan tebu dan pabrik gula PT. MSM telah mengakibatkan terampasnya hak masyarakat adat atas tanah ulayatnya.
“Ratusan petani kekurangan air serta hutan-hutan alam dibalak dengan serampangan. Bahkan ada tiga orang masyarakat adat yang melawan pun dikriminalisasi dan dipenjarakan,” paparnya.
Kedua, proyek Food Estate di Sumba Tengah yang mengabaikan petani kecil tak berlahan dan menjadikan ketergantungan asupan pertanian seperti bibit dan pupuk sintetik dari industri.
Umbu Wulang sebutkan, pemaksaan pembuatan ratusan sumur bor di sekitar kawasan tersebut akan menimbulkan bencana dalam jangka Panjang.
Ketiga, pengusiran masyarakat adat Pubabu yang berupaya untuk melindungi dan melestarikan Hutan Kio (larangan) mereka dari ekspansi proyek perkebunan kelor yang dicanangkan Pemerintah Provinsi NTT.
perlu dibaca : Konflik Tanah di Hutan Pubabu. Kenapa Masyarakat Adat Menolak Klaim Pemerintah?
Pertambangan dan Geothermal
Walhi juga melihat janji Gubernur dan Wakil Gubernur untuk menghentikan industri tambang di NTT diingkari. Yang terjadi justru hadir pertambangan dan pabrik semen di Manggarai Timur. Perusahan Istindo Mitra Manggarai diberikan konsesi dengan cara membujuk dan merelokasi masyarakat adat di Lingko Lolok.
Umbu Wulang tegaskan investasi ini juga akan menghancurkan kebun-kebun rakyat dan sumber air masyarakat. Selain itu, diberikan izin bagi perusahan tambang mangan PT. Satwa Lestari Permai yang akan bercokol di Kabupaten Kupang.
“Izin-izin perusahan mangan kedepannya akan terus bertambah, mengingat pembangunan smelter mangan oleh perusahan Australia, PT. Gulf Mangan Grup di Kupang tengah berlangsung,” terangnya.
Umbu Wulang tambahkan, setidaknya ada enam investasi geothermal yang telah dan akan berproduksi. Salah satunya yakni proyek geothermal di Wae Sano Manggarai Barat.
Ia katakana meski ditolak masyarakat, pemerintah tidak bergeming dan memaksakan kehendak atas proyek tersebut. Pemerintah mengabaikan hak tolak warga yang sudah turun temurun hidup di kampung.
“Urusan daya dukung dan daya tampung lingkungan diabaikan oleh pemerintah. Praktek investasi geothermal di Mataloko, Ulumbu yang bermasalah tidak dijadikan bahan evaluasi atau refleksi oleh pemerintah,” sesalnya.
baca juga : Gubernur NTT Didesak Batalkan Izin Tambang dan Pabrik Semen di Manggarai Timur. Kenapa?
Sampah dan Pencemaran Lingkungan
Proyek pembangunan bendungan Lambo di Nagekeo terus mendapat penolakan dari warga yang dibalas dengan praktek praktek intimidasi oleh pemerintah dengan menggunakan aparat keamanan.
WALHI NTT miris sebab seluruh kabupaten dan kota di NTT mendapat rapor merah pengelolaan sampah. Belum ada satupun kebijakan pemerintah yang sesuai dengan mandat undang-undang.
“Hingga saat ini model pengolahan sampah di TPA belum dilakukan. Terminologi pemerintah masih soal membuang sampah ke TPA. Ruang penghidupan rakyat dijejali dengan sampah baik di daratan, sungai hingga lautan,” ungkapnya.
Umbu Wulang katakan soal pencemaran lingkungan hidup, pemerintah lemah dalam konteks penegakan hukum. Kasus pencemaran lingkungan oleh perusahaan infrastruktur di Desa Umbu Langang Sumba Tengah yang terjadi sejak 2020 silam belum ditangani.
“Beberapa fakta memperlihatkan watak kebijakan pemerintah yang gemar menyingkirkan warga lokal, menghancurkan lingkungan hidup, meningkatkan ketimpangan dan tidak peduli dengan pemuliaan keadilan antar generasi,” tegasnya.
perlu dibaca : Masyarakat Menolak Lokasi Pembangunan Waduk Lambo, Kenapa?
Dalam PDLH WALHI NTT sebanyak 34 lembaga anggota yang bekerja bersama rakyat di berbagai pulau di NTT menegaskan, pembangunan di NTT tidak boleh mengecualikan urusan persetujuan rakyat atas pembangunan di ruang hidupnya.
Selain itu, harus menjadikan keselamatan rakyat dan perlindungan lingkungan hidup serta keadilan antar generasi sebagai acuan utama apakah satu jenis pembangunan diperbolehkan atau tidak.
Juga ditegaskan pembangunan di NTT harus dimulai dengan kebijakan publik yang memberi perlindungan hak-hak rakyat atas ruang kelolanya, perlindungan lingkungan hidup, keadilan sosial dan keadilan antar generasi.
“Pembangunan di NTT yang tengah berjalan dan abai pada prinsip prinsip keselamatan rakyat, lingkungan hidup, keadilan sosial dan antar generasi harus dikoreksi ulang dengan signifikan,” tutur Umbu Wulang.
Pemerintah pinta Umbu Wulang, harus menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia dan lingkungan hidup yang belum tuntas dalam konteks penegakan hukum, keadilan ruang dan pemulihan lingkungan hidup.
“Pemodal dan pemerintah harus menghentikan praktek-praktek kriminalisasi terhadap rakyat serta para pejuang lingkungan hidup, masyarakat adat, agraria, perempuan serta hak asasi atas nama pembangunan di NTT ,” tegasnya.
****
Keterangan foto utama : ilustrasi. Ibu-ibu berjalan jauh untuk mendapatkan air bersih di Atambua, Nusa Tenggara Timur. Foto : Wisuda/Mongabay Indonesia