- Dalam 16 tahun terakhir, kawasan pesisir Jakarta terus mengalami penurunan laju muka tanah secara bertahap. Penurunan tersebut, bisa mengancam kawasan tersebut hingga tenggelam di kemudian hari. Diprediksi pada 2050 ancaman tersebut akan terjadi
- Dua penyebab utama adanya ancaman pesisir tenggelam, karena dipicu oleh kenaikan muka air laut dampak dari perubahan iklim. Selain itu, ada juga dampak dari penurunan muka tanah, serta karakter khusus pesisir Jakarta yang landai dan berada di teluk
- Dari dua penyebab, paling berbahaya adalah penurunan laju muka tanah. Namun, jika penyebabnya adalah tiga hal dan terjadi secara bersamaan, maka itu akan memicu bahaya yang serius dan bisa menenggelamkan kawasan di sekitar Teluk Jakarta
- Untuk mengatasinya, tidak hanya dengan cara membangun tanggul raksasa pengaman pantai (National Capital Integrated Coastal Development/NCICD) yang dibangun saat ini, namun juga harus menyiapkan langkah lain dengan melibatkan kegiatan riset
Permukaan tanah yang terus menurun (land subsidence), dinilai menjadi faktor utama yang akan mengancam kestabilan wilayah daratan DKI Jakarta yang berlokasi di dekat kawasan perairan laut Teluk Jakarta. Ancaman tersebut, diprediksi bisa menenggelamkan sejumlah wilayah di Jakarta Utara.
Ancaman lain yang juga muncul, adalah kenaikan permukaan air laut (sea level rise) yang juga diprediksi akan ikut berperan dalam proses tersebut. Keduanya diprediksi akan berperan menenggelamkan pesisir Jakarta yang mencapai puncaknya pada 2050 mendatang.
Demikian kesimpulan diskusi terbuka yang digelar secara daring oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada Rabu (6/10/2021). Dari diskusi, disepakati pula bahwa dua ancaman tersebut menjadi tantangan yang harus dijawab melalui kegiatan riset secara bersama.
Profesor Riset Bidang Metereologi Organisasi Riset Penerbangan dan Antariksa BRIN Eddy Hermawan menjelaskan, ancaman kenaikan permukaan air laut di pesisir Jakarta setiap tahu, sebenarnya terhitung kecil, yakni 3 milimeter (mm). Namun, itu tidak boleh diabaikan begitu saja oleh semua pihak.
Dengan kata lain, dia mengungkapkan bahwa ancaman pesisir Jakarta akan tenggelam kemungkinan besar tidak akan terjadi jika hanya melihat faktor kenaikan permukaan air laut. Lain halnya jika yang dijadikan patokan adalah penurunan muka tanah, maka ancaman pesisir tenggelam sangat mungkin terjadi.
baca : Presiden : Jika Jakarta Tak Mau Tenggelam, Teluk Jakarta Harus Reklamasi
Permukaan tanah di pesisir Jakarta sendiri sepanjang 2015 hingga 2020 mengalami penurunan antara 0 hingga 1,8 sentimeter (cm). Angka tersebut menjelaskan bahwa pesisir Jakarta sedang ada dalam ancaman yang nyata.
Sayangnya, penurunan muka tanah masih belum bisa diprediksi atau dibuat skenarionya dari sekarang. Oleh karenanya, perlu dibuat strategi dan adaptasi, serta tidak cukup hanya dengan melaksanakan pembangunan tanggul raksasa saja.
“Dampak dari fenomena ini akan menghantam Jakarta. Jadi dari sisi bawah rusak dan dari atas pun tidak tanggung-tanggung (kerusakannya),” sambung dia menyebutkan dampak luas dari kenaikan permukaan air laut dan penurunan muka tanah.
Eddy Hermawan menyebutkan, ancaman pesisir Jakarta tenggelam secara bertahap sudah dimulai dari 2005, 2010, 2015, 2020, 2025, 2030, 2035, 2040, 2045, dan 2050. Selama 45 tahun tersebut, kawasan pesisir Jakarta yang diprediksi terdampak adalah Cilincing, Koja, Tanjung Priok, Pademangan, Penjaringan, dan jalan tol Bandara Soekarno-Hatta.
Selain kawasan tersebut, penurunan muka tanah juga diprediksi akan memicu kawasan lain ikut tenggelam, yaitu Sunter, Kemayoran, Ancol, Kota, Pluit
Hingga 2050, wilayah daratan yang berkurang akibat air laut masuk Jakarta terjadi di Tanjung Priok, Sunter, Kemayoran, Ancol, Kota, Pluit, Penjaringan, Kapuk, serta Tol Bandara. Sementara, kawasan Monumen Nasional (Monas) diprediksi tidak akan terdampak dari peristiwa tersebut.
Peristiwa penurunan muka tanah dan kenaikan muka air laut yang terjadi bersamaan, pada 2050 mendatang diprediksi akan membanjiri wilayah di Jakarta hingga seluas hampir 160,4 kilometer persegi (km2) atau mencapai 24,3 persen dari total wilayah DKI Jakarta.
Dari semua kawasan yang disebutkan Eddy Hermawan, dua kawasan yang sudah terdampak adalah Cilincing dan Tanjung Priok, dua kecamatan di Jakarta Utara. Keduanya sudah mulai terdampak sejak 2010 lalu.
baca juga : 21 Provinsi Terjadi Subsiden Tanah, Ancaman Terbesar Berada di Kawasan Pesisir, Seperti Apa?
Eddy kembali mengingatkan, ancaman dua peristiwa tersebut akan sangat berdampak sangat serius jika terjadi secara bersamaan. Bukan hanya kawasan pesisir yang ada di Jakarta saja, namun juga akan mengintai kota-kota lain yang ada di pulau Jawa.
Dengan fakta tersebut, penanganan harus dilakukan dengan tepat dan bijak, sehingga bisa menghasilkan solusi yang baik. Jangan sampai, proyeksi penanganan hanya fokus pada akibat perubahan iklim saja, yakni kenaikan muka air laut.
“Sementara, akibat penurunan muka tanah tidak lakukan, atau sebaliknya, proyeksi hanya difokuskan pada dampak tersebut. Jika demikian, maka analisanya tidak bisa digunakan untuk skala global atau regional,” jelas dia.
Dampak tersebut juga akan terasa di kawasan Pantai Utara (Pantura) Jawa, utamanya di Kota Pekalongan dan Kota Semarang (Jawa Tengah). Pekalongan bahkan disebutkan mengalami penurunan muka tanah terdalam sepanjang 2015-2020 dengan kedalaman 2,1 hingga 11 cm per tahun. Sementara Semarang mencapai 0 hingga 9,6 cm per tahun.
Di sisi lain, kondisi wilayah DKI Jakarta yang landai dan teluk juga ikut berperan dalam proses penenggelaman kawasan pesisir Ibu Kota Negara (IKN) tersebut. Dengan kata lain, kombinasi dampak perubahan iklim yang memicu kenaikan muka air laut, penurunan muka tanah, dan kondisi wilayah DKI, akan mempercepat proses penenggalaman kawasan-kawasan pesisir IKN.
perlu baca : Ketika Rob Rendam Pesisir Utara Jawa Tengah
Kombinasi Proyeksi
Agar persoalan tersebut bisa dipetakan dengan baik dan dicarikan jalan keluar, maka proyeksi harus fokus pada hasil analisis gabungan antara dampak perubahan iklim, dan penurunan laju muka tanah. Dari hasil pengamatan satelit terkini, kawasan pesisir Pantura mengalami penurunan muka tanah paling tajam.
“Kondisi geologi daerah pesisir dengan tanah yang lembut secara alamiah membuat tanah terus turun,” tutur Eddy.
Dengan kondisi tersebut, diperlukan kegiatan pemantauan (monitoring) terhadap penurunan laju muka tanah dan laju perubahan garis pantai akibat perubahan ketinggian muka air laut. Kegiatan itu harus dilakukan, karena Pantura berbeda dengan pantai Selatan Jawa yang struktur geologinya cenderung berbukit.
Fakta di atas harus bisa menjadi rujukan para pemegang kebijakan untuk membuat regulasi tentang penggunaan air tanah, penanaman mangrove, dan pencegahan perusakan lingkungan. Jadi, tidak hanya cukup dengan pembuatan tanggul raksasa saja, namun juga harus ada langkah lainnya, terutama dengan melibatkan masyarakat secara langsung.
Selain wilayah pesisir DKI Jakarta dan Pantura, ancaman juga sedang mengintai 115 pulau sedang dan kecil yang ada di Indonesia. Pulau-pulau tersebut ada dalam ancaman karena pengaruh naiknya permukaan air laut yang diakibatkan perubahan iklim dan penurunan muka tanah.
Beberapa waktu lalu, Eddy Hermawan mengatakan bahwa pulau-pulau tersebut berlokasi di kawasan pariwisata seperti Bali, dan Nias (Sumatera Utara), serta sepanjang pantai Barat pulau Sumatera. Pulau-pulau tersebut bisa diselamatkan, jika dilakukan langkah mitigasi dan adaptasi secara bersama.
Dalam pandangan dia, para pihak yang terkait harus melaksanakan langkah-langkah antisipasi dengan memprioritaskan kegiatan pelestarian dan keberlanjutan lingkungan. Misalnya saja, penanaman dan penghijauan kembali kawasan mangrove, dan langkah lain yang bisa menghasilkan inovasi, juga solusi.
baca juga : Pantura Jawa Terancam Karam
Dalam kesempatan yang sama, Profesor Riset bidang Geoteknologi – Hidrologi Air Tanah BRIN Robert Delinom juga memberikan penjelasan tentang ancaman hilangnya wilayah pesisir di DKI Jakarta dan kota lain di Jawa.
Dia menyebutkan, penyebab terjadinya penurunan muka tanah di DKI Jakarta adalah karena empat faktor, yakni kompaksi batuan, pengambilan air tanah secara berlebihan, pembeban bangunan, dan aktivitas tektonik.
Keempat faktor tersebut perlu dilakukan penanganan segera oleh para pihak berwenang. Utamanya, melakukan mitigasi dengan membangun pertahanan di garis pantai, di sungai dan bantarannya, dan membuat tempat parkir air untuk antisipasi penurunan muka tanah.
Robert mengungkapkan, untuk mengatasi persoalan tersebut dalam jangka pendek, adalah dengan melakukan sosialiasi kepada masyarakat untuk memberikan pemahaman secara detail. Sementara, untuk jangka panjang, adalah dengan melaksanakan integrasi konsep mitigasi dan adaptasi.
“Zero run off dan no land subsidence city. Sosialisasi kepada warga bertujuan untuk mengubah pola pikir mereka,” tegas dia.
Dari pengamatan yang dilakukan di Jakarta dan Semarang, didapat data bahwa kondisi geologi kedua daerah tersebut sangat dipengaruhi oleh penurunan laju muka tanah. Namun, penurunan terjadi hanya pada lokasi yang dibangun oleh batuan lempung, dan juga batuan muda yang belum terpadatkan, yang diketahui menyebar tidak secara homogen.
baca juga : Wow… Penurunan Muka Air Tanah di Bandung Mencapai 75 Meter. Kenapa?
Berdasarkan data yang dirilis pada 2019, kenaikan muka air laut di Teluk Jakarta sudah mencapai 0,43 cm per tahun, sementara lepas pantai Semarang sudah mencapai 0,53 cm per tahun. Data tersebut menjelaskan bahwa ancaman tenggelam tidak akan berlangsung segera.
“Hanya bagian kota yang terletak dekat ke pantai dan dibangun oleh batuan lempung dan alluvial yang belum terpadatkan yang akan tenggelam,” pungkas dia.
Diketahui, saat ini Pemerintah Pusat bersama Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sedang melaksanakan pembangunan tanggul pengaman pantai (National Capital Integrated Coastal Development/NCICD) di kawasan Muara Baru dan Kali Adem, Jakarta Utara.
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono mengatakan, pembangunan tanggul dilakukan mengikuti garis pantai sepanjang 11,080 km, namun saat ini baru 255 meter yang sudah selesai. Total, ada 2,037 km yang akan dibangun di pesisir Muara Baru.
Kemudian, ada juga pembangunan yang menjadi tanggung jawab Pemprov DKI Jakarta sepanjang 22,468 km. Dari jumlah tersebut, sepanjang 7,074 km ditargetkan bisa dibangun dari 2022 hingga 2026 mendatang.
Sebelumnya, telah ditandatangani kesepakatan bersama pada 6 Agustus 2020 oleh Sekretaris Daerah Provinsi DKI Jakarta dan Direktur Jenderal Sumber daya Air Kementerian PUPR. Salah satu isi kesepakatannya adalah obyek dan lokasi tanggul pengaman pantai dan muara sungai.